
Pendiri Airbnb Tidak Rekomendasikan Strategi Bisnis Ini
Ester Christine Natalia, CNBC Indonesia
02 April 2018 17:42

Jakarta, CNBC Indonesia - Airbnb mungkin nampak bagai kisah sukses dalam semalam.
Pada tahun 2008, tiga mahasiswa yang baru lulus menyatukan isi kepala mereka di sebuah apartemen di San Francisco, Amerika Serikat (AS), berpikir untuk mengubah total cara masyarakat memandang akomodasi liburan. Hari ini, sepuluh tahun berselang, kanal mereka menampilkan lebih dari 4,5 juta penyewaan properti, mulai dari rumah pohon di negara Skandinavia sampai pulau pribadi di Fiji.
Namun, perjalanan mereka tidaklah mudah. Para pendiri perusahaan bahkan secara gamblang tidak merekomendasikan salah satu langkah yang membuat mereka sampai ke titik ini. Hal tersebut diungkapkan oleh salah satu pendiri Airbnb Joe Gebbia di acara "Managing Asia" CNBC.
Pada masa-masa awal bisnisnya, seraya menghadapi rangkaian penolakan dari para investor termasuk Youtube, Paypal, dan Google, Gebbia dengan mitranya Brian Chesky dan Nathan Blecharczyk memutuskan untuk memilih bentuk pendanaan alternatif: kartu kredit.
Menurut Gebbia, trio itu sempat memasuki "palung penderitaan" dan putus asa untuk meningkatkan pendapatan mereka dari "suramnya" US$200 (Rp 2,7 juta) per bulan yang mereka dapatkan dari basis pelanggan yang dulunya sangat kecil.
"Kami hanya memiliki satu resor saat itu, kami mendapat pendanaan menggunakan [kartu kredit] Visa. Kami menyebutnya 'Visa Round', hanya saja Visa tidak mengetahui [praktik] itu," kata Gebbia, seperti dikutip oleh CNBC International.
"Kami sebenarnya berutang menggunakan satu kartu kredit ke kartu kredit lainnya. Tentu saja kami memaksimalkannya. Saya tidak akan merekomendasikan [cara] itu," tambahnya, merujuk pada pengusaha lain yang mungkin saja terinspirasi dari para pendiri Airbnb.
"[Yang kami rasakan adalah] kecemasan dan stres tinggi. Tagihan kartu kredit terus naik dan kami benar-benar tidak tahu kapan itu semua akan lunas."
Meskipun begitu, kegigihan mereka sukses membuat utang itu terlunasi. Pada akhirnya, mereka mendapatkan tempat di akselerator Sillicon Valley bernama Y Combinator yang memberi mereka akses untuk menanam uang dan jaringan sebagai ganti dari 7% kepemilikan di bisnisnya.
Ketika itu, trio tersebut menerima petuah terbaik dari pendiri Y Combinator Paul Graham, kata Gebbia.
Ia meminta mereka untuk menemui basis pelanggannya, yang saat itu sebagian besar berada di New York, untuk mendapatkan masukan tentang cara mengembangkan dan memperbaiki produk mereka.
"Kami belajar dari awal tentang cara menemui orang, berbicara dengan pelanggan, memperoleh apa yang saya sebut 'empati pencerahan' atau memposisikan diri sebagai pelanggan sedekat yang Anda bisa untuk dapat melihat dari sudut pandang mereka."
Gebbia berkata masukan-masukan itu bisa diserap dan dikombinasikan dengan visi keseluruhan pengusaha untuk menciptakan produk terbaik.
(prm) Next Article Startup Will Smith Ini Sukses Ketika Pandemi, Apa Rahasianya?
Pada tahun 2008, tiga mahasiswa yang baru lulus menyatukan isi kepala mereka di sebuah apartemen di San Francisco, Amerika Serikat (AS), berpikir untuk mengubah total cara masyarakat memandang akomodasi liburan. Hari ini, sepuluh tahun berselang, kanal mereka menampilkan lebih dari 4,5 juta penyewaan properti, mulai dari rumah pohon di negara Skandinavia sampai pulau pribadi di Fiji.
Namun, perjalanan mereka tidaklah mudah. Para pendiri perusahaan bahkan secara gamblang tidak merekomendasikan salah satu langkah yang membuat mereka sampai ke titik ini. Hal tersebut diungkapkan oleh salah satu pendiri Airbnb Joe Gebbia di acara "Managing Asia" CNBC.
Menurut Gebbia, trio itu sempat memasuki "palung penderitaan" dan putus asa untuk meningkatkan pendapatan mereka dari "suramnya" US$200 (Rp 2,7 juta) per bulan yang mereka dapatkan dari basis pelanggan yang dulunya sangat kecil.
"Kami hanya memiliki satu resor saat itu, kami mendapat pendanaan menggunakan [kartu kredit] Visa. Kami menyebutnya 'Visa Round', hanya saja Visa tidak mengetahui [praktik] itu," kata Gebbia, seperti dikutip oleh CNBC International.
"Kami sebenarnya berutang menggunakan satu kartu kredit ke kartu kredit lainnya. Tentu saja kami memaksimalkannya. Saya tidak akan merekomendasikan [cara] itu," tambahnya, merujuk pada pengusaha lain yang mungkin saja terinspirasi dari para pendiri Airbnb.
"[Yang kami rasakan adalah] kecemasan dan stres tinggi. Tagihan kartu kredit terus naik dan kami benar-benar tidak tahu kapan itu semua akan lunas."
Meskipun begitu, kegigihan mereka sukses membuat utang itu terlunasi. Pada akhirnya, mereka mendapatkan tempat di akselerator Sillicon Valley bernama Y Combinator yang memberi mereka akses untuk menanam uang dan jaringan sebagai ganti dari 7% kepemilikan di bisnisnya.
Ketika itu, trio tersebut menerima petuah terbaik dari pendiri Y Combinator Paul Graham, kata Gebbia.
Ia meminta mereka untuk menemui basis pelanggannya, yang saat itu sebagian besar berada di New York, untuk mendapatkan masukan tentang cara mengembangkan dan memperbaiki produk mereka.
"Kami belajar dari awal tentang cara menemui orang, berbicara dengan pelanggan, memperoleh apa yang saya sebut 'empati pencerahan' atau memposisikan diri sebagai pelanggan sedekat yang Anda bisa untuk dapat melihat dari sudut pandang mereka."
Gebbia berkata masukan-masukan itu bisa diserap dan dikombinasikan dengan visi keseluruhan pengusaha untuk menciptakan produk terbaik.
(prm) Next Article Startup Will Smith Ini Sukses Ketika Pandemi, Apa Rahasianya?
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular