Gunung Berapi RI Bangkit Setelah Lama Tertidur, Pakar ITB Beri Warning
Jakarta, CNBC Indonesia - Dunia vulkanologi dikejutkan oleh letusan Gunung Hayli Gubbi di Ethiopia yang kembali aktif setelah tertidur lebih dari 12.000 tahun.
Fenomena langka ini kemudian menarik perhatian peneliti ITB, Mirzam Abdurrachman.
Dosen Kelompok Keahlian Petrologi, Vulkanologi, dan Geokimia FITB ITB itu memberikan penjelasan mengenai klasifikasi gunung api serta potensi ancaman gunung api dormant di Indonesia.
Mirzam menjelaskan secara umum gunung api dibagi menjadi tiga kategori, yakni aktif, dormant, dan padam (extinct). Namun, ia menekankan bahwa batasan ketiganya tidak selalu mudah ditentukan.
"Klasifikasi ini kadang membingungkan dan tidak mudah dipahami secara tegas, terutama terkait batasan waktunya," jelas Mirzam dikutop dari situs resmi ITB, Rabu (10/12/2025).
Gunung api disebut aktif apabila pernah meletus sejak periode Holosen, sekitar 11.650 tahun terakhir.
"Ini tidak berarti gunung api tersebut harus meletus sekarang, tetapi menunjukkan bahwa sistem magmanya masih relatif aktif dan berpotensi menghasilkan erupsi," terangnya.
Kategori kedua adalah gunung api dormant, yakni gunung yang tidak meletus selama ribuan tahun tetapi masih memiliki potensi untuk kembali bangkit.
"Dormant digunakan untuk menyebut gunungapi yang beristirahat, meski tidak lebih dari 11.650 tahun yang lalu," kata Dr. Mirzam.
Ia kemudian mencontohkan dua kasus penting. Pertama, Gunung Sinabung yang kembali aktif pada 2010 setelah tidur lebih dari 400 tahun. Kedua, Gunung Hayli Gubbi di Ethiopia yang meletus setelah lebih dari 12.000 tahun dormansi.
"Keduanya menunjukkan bahwa gunungapi dormant dapat kembali meletus setelah istirahat panjang," ujarnya.
Dalam kategori dormant, terdapat subjenis yang perlu diperhatikan, yaitu restless volcano, atau gunung api yang tampak tenang tetapi memperlihatkan aktivitas magmatik di bawah permukaan.
"Kelompok ini menunjukkan tanda-tanda pergerakan magma di bawah permukaan meskipun tidak sedang meletus," jelasnya.
Di Indonesia, subkelompok ini dikenal sebagai gunungapi tipe B, dan jumlahnya cukup banyak.
Ia menjelaskan, setidaknya terdapat 30 gunungapi tipe B yang tersebar di Sumatra, Jawa, Bali-Nusa Tenggara, dan Maluku.
Kategori terakhir adalah extinct, yaitu gunung api yang sudah tidak memiliki pasokan magma aktif.
"Gunungapi extinct merupakan gunungapi yang sistem magmanya telah padam atau berakhir," jelas Mirzam.
Contoh gunungapi kategori ini antara lain Gunung Thielsen di Oregon dan Gunung Baluran di ujung timur Pulau Jawa.
Ia mengatakan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara dengan gunungapi terbanyak di dunia.
"Sekitar 16% gunungapi dunia, atau 127 gunungapi, berada di Indonesia," uja Mirzam yang juga menjabat sebagai Scientific Advisor Global Volcano Risk Alliance.
Besarnya jumlah penduduk yang tinggal di lereng gunungapi ikut menambah kerentanan. Lebih dari 350 juta orang di dunia hidup dalam radius 30 km dari gunungapi aktif atau berpotensi aktif, dan 29 juta di antaranya berada kurang dari 10 km dari kawah.
Ia juga menyoroti minimnya sistem pemantauan global. Menurutnya, kurang dari 50% gunungapi di dunia dilengkapi dengan pemantauan yang memadai.
Kasus letusan dahsyat El Chichón di Meksiko pada 1982 serta kebangkitan Sinabung menjadi pengingat bahwa gunungapi dormant pun dapat menimbulkan bahaya besar.
Mirzam menekankan pentingnya meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai dinamika gunung api. Sebab itu adalah cara terbaik untuk hidup harmonis bagi masyarakat yang tinggal di kawasan ring of fire.
"Belajar, memahami, dan mengenal gunung api adalah cara terbaik untuk hidup harmonis bagi kita yang tinggal di kawasan ring of fire," pungkasnya.
(fab/fab)