Ini Sosok CEO Intel yang Dipaksa Trump Mengundurkan Diri
Jakarta, CNBC Indonesia - Belum ada setahun memimpin Intel, CEO Lip-Bu Tan sudah dipaksa mundur oleh Presiden AS Donald Trump. Pasalnya, Tan dinilai memiliki konflik kepentingan dengan perusahaan-perusahaan China.
Sebagai informasi, Tan baru menjabat sebagai CEO Intel pada Maret 2025 lalu. Ia menggantikan posisi Pat Gelsinger yang dipecat pada Desember 2024 karena dinilai tidak mampu membawa perubahan pada bisnis Intel yang kian tergerus persaingan.
Pada April 2025, Reuters melaporkan bahwa Tan menginvestasikan uang sekitar US$200 juta ke ratusan perusahaan dan manufaktur chip China. Beberapa di antaranya terkait langsung dengan militer China.
"CEO Intel memiliki konflik kepentingan dan harus mengundurkan diri sesegera mungkin. Tak ada solusi lain atas masalah ini," kata Trump melalui media sosial Truth Social miliknya, dikutip dari Reuters, Jumat (8/8/2025).
Saham Intel anjlok 3% pada Kamis (7/8) waktu setempat, pasca perintah langsung dari Trump diungkap ke publik.
Sosok Lip-Bu Tan
Sebelum menjabat sebagai CEO Intel, Tan pernah bergabung di dewan direksi Intel. Namun, ia mengundurkan diri pada Agustus 2024. Tak dinyana, beberapa bulan setelahnya ia menerima tawaran sebagai nakhoda Intel yang tengah terguncang.
Dalam keterangannya pasca ditunjuk CEO Intel, Tan mengatakan merasa terhormat. Ia juga menambahkan melihat peluang mengubah bisnis perusahaan untuk melayani pelanggan dengan lebih baik dan menciptakan nilai pada para pemegang saham.
"Intel memiliki platform komputasi yang kuat dan berbeda, basis pelanggan luas dan manufaktur yang kuat setiap harinya saat kami membangun kembali peta jalan teknologi kami," tuturnya kala itu.
Penunjukkan Tan sebagai CEO Intel langsung disambut meriah oleh investor kala itu, dengan saham Intel naik hampir 15%. Hal ini menandai optimisme pasar terhadap masa depan Intel di tangan Tan.
Tan telah bekerja di bidang teknologi selama lebih dari 20 tahun. Dia pernah menjabat sebagai CEO Cadence Design System dari 2009 hingga 2021.
Selama masa jabatannya itu, ia memimpin transformasi budaya berbasis pada inovasi yang berpusat pada pelanggan.
Tan juga berhasil meningkatkan pendapatan perusahaan lebih dari dua kali lipat dan memperluas margin operasi. Selain itu, ia membawa harga saham perusahaan melonjal lebih dari 3.200%.
Tan lahir di Malaysia, besar di Singapura, dan kini sudah menjadi Warga Negara (WN) AS. Tan datang ke AS untuk mengenyam pendidikan nuklir di universitas kawakan MIT.
Selanjutnya, ia pindah ke California untuk melanjutkan sekolah bisnis dan mendirikan firma modal ventura Walden International pada 1987. Tan percaya startup berskala kecil dengan ide rancangan chip yang baik akan berhasil berkompetisi melawan raksasa chip.
Ia menggelontorkan banyak uang untuk mendanai ratusan startup. Beberapa contoh startup yang ia danai dan akhirnya berkembang pesat adalah Annapurna Labs. Saat ini Annapurna Labs telah diakuisisi Amazon dengan nilai US$370 juta.
Amazon mengatakan Annapurna kini menjadi 'jantung' pengembangan chip in-house perusahaan. Raksasa AS itu mengatakan sekarang sudah lebih banyak menggunakan chip buatan Annapurna ketimbang Intel.
Tan juga berinvestasi pada Nuvia yang telah dibeli Qualcomm senilai US$1,4 miliar pada 2021. Nuvia menjadi kekuatan baru Qualcomm untuk bersaing melawan Intel di pasar chip laptop dan PC.
Tan masih aktif berhubungan dengan startup-startup yang ia danai. Ke depan, bisa jadi startup-startup itu menjadi kompetitor atau target akuisisi Intel. Sebagai contoh, Tan menggelontorkan dana ke startup Celestial AI yang juga dibekingi AMD yang merupakan salah satu rival Intel.
Investasi Besar-besaran ke China
Pada April lalu, Reuters melaporkan bahwa Tan menggelontorkan investasi sekitar US$200 juta ke beberapa perusahaan dan manufaktur chip China pada periode 2012-2024.
Seorang sumber yang mengetahui masalah tersebut saat itu mengatakan kepada Reuters bahwa Tan telah melepas jabatannya di berbagai entitas di China, tanpa memberikan detail lebih lanjut.
Namun, basis data China yang ditinjau Reuters saat itu mencatat banyak investasinya masih berstatus aktif. Reuters saat itu tidak dapat memastikan seberapa jauh pelepasannya.
Menurut laporan CNBC International, warga negara AS tidak melanggar hukum untuk memiliki saham di perusahaan China, bahkan yang memiliki hubungan dengan militer China.
Yang dilarang adalah jika perusahaan tersebut telah ditambahkan ke Daftar Perusahaan Kompleks Industri-Militer China milik Departemen Keuangan AS, yang secara eksplisit melarang investasi semacam itu.
Reuters pada bulan April tidak menemukan bukti bahwa Tan pada saat itu berinvestasi langsung di perusahaan mana pun dalam daftar Departemen Keuangan AS.
Mantan Perusahaan Bermasalah
Terpisah, pekan lalu Cadence Design yang merupakan mantan perusahaan Tan setuju untuk mengaku bersalah dan membayar lebih dari US$140 juta untuk menyelesaikan tuntutan atas penjualan produk software desain chip-nya ke sebuah universitas militer China, menurut laporan Reuters. Lembaga tersebut diyakini terlibat dalam simulasi ledakan nuklir.
Dalam sebuah pengajuan kepada Komisi Sekuritas dan Bursa, Cadence mengatakan pihaknya senang telah mencapai kesepakatan dengan Departemen Kehakiman dan Perdagangan AS.
Penjualan software desain chip Cadence ke China terjadi di bawah kepemimpinan Tan di perusahaan tersebut. Cadence merupakan perusahaan yang membuat software desain dan peralatan lain yang digunakan untuk membuat chip.
(fab/fab)