
Asing Sorot Malaysia Kebanjiran Dolar, Indonesia Cuma Diperas

Jakarta, CNBC Indonesia - Malaysia ramai-ramai dilirik raksasa teknologi dunia sebagai untuk membangun fasilitas pusat data (data center) di kawasan Asia Tenggara bernilai miliaran dolar AS.
Padahal, Indonesia memiliki potensi pasar yang sangat tinggi dengan populasi terbesar di regional. Namun, nyatanya perusahaan-perusahaan seperti Google, Microsoft, hingga ByteDance lebih memilih negara tetangga ketimbang Indonesia.
Fenomena Malaysia sebagai hub pusat data turut disorot media asing. CNBC International menulis artikel berjudul "Malaysia is emerging as a data center powerhouse amid booming demand from AI".
CNBC International mengatakan kebayakan investasi raksasa dunia terpusat di kota kecil Johor Bahru yang berbatasan dengan Singapura.
"Sepertinya dalam beberapa tahun ke depan, [Johor Bahru] sendiri akan menggeser Singapura sebagai pasar terbesar di Asia Tenggara dari nol besar pada 2 tahun lalu," kata Director APAC DC Byte, James Murphy, dikutip dari CNBC International, Rabu (19/6/2024).
DC Byte merupakan perusahaan data center intelligence. Dalam laporan perusahaan, Joho Bahru dinobatkan sebagai kota dengan pertumbuhan pasar terbesar di Asia Tenggara.
Laporan tersebut mengatakan Johor Bahru memiliki kapasitas suplai 1,6 gigawatt untuk data center yang sedang dibangun. Kapasitas data center biasanya diukur dari konsumsi listriknya.
Ke depan, Malaysia digadang-gadang akan mengalahkan kapasitas data center di negara-negara lebih besar seperti Jepang dan India.
Hingga kini, Jepang diikuti Singapura masih menjadi penyedia kapasitas data center terbesar yang sudah online.
Jepang, Singapura, dan Hong Kong memang menjadi negara-negara yang memiliki infrastruktur data center paling mumpuni saat ini. Kendati demikian, pandemi global yang meningkatkan adopsi cloud membuat banyak permintaan kapasitas ke pasar-pasar yang tengah bertumbuh seperti Malaysia dan India.
"Permintaan lebih besar untuk streaming video, penyimpanan data, dan berbagai kegiatan di internet, berarti akan lebih banyak kebutuhan untuk data center," kata Murphy.
Terlebih lagi, layanan AI yang tengah booming membutuhkan syarat dan ketentuan data center yang lebih spesifik dan mampu melayani pengolahan data lebih besar.
Menurut Murphy, negara-negara dengan pasar yang sedang berkembang menjadi menarik bagi investasi data center dengan karakteristik khusus.
Data center AI membutuhkan ruang lebih besar, begitu juga energi yang digunakan dan volume air sebagai sistem pendingin. Untuk itu, negara berkembang seperti Malaysia yang memiliki kekayaan energi dan lahan akan menjadi tujuan para investor dunia.
Alasan Asing Serbu Malaysia
CNBC International juga menyorot mudahnya iklim investasi data center yang berlaku di Malaysia menjadi alasan negara tersebut ramai dilirik.
Hal ini juga sempat diutarakan Ketua Asosiasi Data Center Indonesia (IDPRO) Hendra Suryakusuma, beberapa saat lalu. Ia menyebut Malaysia memberikan banyak insentif untuk pelaku data center. Bahkan, untuk perusahaan yang menggunakan teknologi green, insentif yang diberikan lebih banyak.
"Kalau di Indonesia, ini memang belum terjadi tapi kalau pemerintah lewat RUU EBT (Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan) yang saat ini sedang digodok di Komisi VII DPR RI berhasil memberikan tambahan insentif dari sisi green initiative, itu akan sangat mendorong tumbuhnya industri data center di Indonesia yang saat ini tumbuh 20-30 persen per tahunnya," kata Hendra dalam Profit di CNBC Indonesia, beberapa saat lalu.
Malaysia juga melakukan pemangkasan birokrasi yang memudahkan investasi bisnis saat masuk ke negaranya.
Di Malaysia, perusahaan asing bisa hanya menggunakan high level design untuk mendapatkan izin membangun. Sementara di Indonesia harus sampe ke detil engineering design, yang artinya memakan waktu dan biaya yang tidak murah.
Di sisi lain, kalau saja Indonesia juga fokus dengan renewable energy, banyak sekali perusahaan yang berbasis di Amerika Utara dan Eropa Barat yang bersedia untuk melakukan kerjasama pembangunan data center.
Karena negara-negara tersebut fokus ke ESG (Environmental, Social and Governance), dan mereka ada komitmen Paris Accord. Jadi hal-hal yang berkaitan dengan energi terbarukan, bisa mendorong tumbuh kembangnya industri data center.
"Banyak investor di Amerika Utama dan Eropa Barat fokus terkait ESG nya jadi mereka juga fokus bagaimana energy yang di supply di data center ini didapat dari sumber yang green atau less emissions karbonnya," jelasnya.
Selama investor melihat negara stabil secara politik, juga mendukung industrinya untuk bisa bertumbuh seperti lewat insentif pajak, kemudian ada green initiative insentif, akan mendorong mereka untuk masuk ke negara tertentu.
Masalah Sumber Dolar Baru Malaysia
Meski booming data center membantu ekonomi Malaysia, tetapi ada hal lain yang menjadi kekhawatiran. Antara lain terkait kapasitas energi dan air di negara tersebut.
Riset Bank Investasi Kenanga memprediksi kebutuhan listrik dari data center di Malaysia akan mencapai 5 gigawatt pada 2035.
Saat ini, kapasitas listrik yang diinstal untuk keseluruhan Malaysia 'hanya' 27 gigawatt, menurut perusahaan listrik Malaysia Tenaga Nasional Berhad.
Otoritas lokal sudah mengemukakan kekhawatiran mereka tentang penggunaan listrik tersebut, menurut laporan The Straits Times.
Walikota Johor Bahru Mohd Noorazam Osman dilaporkan mengatakan investasi data center tak boleh mengesampingkan kebutuhan sumber daya bagi masyarakat sekitar. Apalagi kota tersebut menghadapi tantangan sumber daya air dan listrik.
Sementara itu, pejabat Komite Investasi, Perdagangan, dan Konsumen Johor Bahru mengatakan pemerintah harus memberikan panduan yang jelas terkait implementasi penggunaan data center energi hijau pada Juni mendatang.
(fab/fab)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Malaysia Diserbu Asing, Pengusaha RI Ungkap Pentingnya Kedaulatan Data
