
RI Butuh Rp 4.000 Triliun Hadapi Petaka Perubahan Iklim

Jakarta, CNBC Indonesia - Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) menjabarkan strategi pendanaan untuk membantu pemerintah mencapai target pengurangan emisi karbon pada 2030 (NDC 2030). Strategi pendanaan ini amat penting karena upaya penanganan perubahan iklim ditaksir membutuhkan biaya lebih dari Rp 4.000 triliun.
"Kalau kita bicara target pemerintah untuk mencapai NDC 2030 itu membutuhkan biaya yang sangat besar," kata Direktur Utama BPDLH, Joko Tri Haryanto kepada CNBC Indonesia, dikutip Kamis, (28/3/2024).
Joko mengatakan untuk memenuhi pendanaan tersebut pemerintah tak mungkin hanya mengandalkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Di sinilah BPDLH berperan untuk mencari dan mengelola sumber pembiayaan lainnya untuk memenuhi kebutuhan dana tersebut.
Ia menjabarkan berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2018, lembaganya dapat mengelola dana dari berbagai sumber. Dana tersebut dapat bersumber dari internasional baik melalui mekanisme multilateral, baik bilateral maupun development perbankan. Dari dalam negeri, BPDLH juga dapat mengelola dana dari APBN, APBD maupun dana filantropis.
"Dan dana dari institusi lain sesuai dengan regulasi yang ditetapkan," kata dia.
Joko menjelaskan ada 5 sektor yang bisa mendapatkan pembiayaan perubahan iklim dari lembaganya. Sektor itu di antaranya yang berbasis lahan, kehutanan, dan pertanian. Pembiayaan BPDLH juga menyasar pada sektor yang lebih modern, seperti energi, transportasi, industri dan sektor pengelolaan limbah serta sampah.
"Sektor-sektor ini yang menjadi kontributor utama dalam target pencapaian NDC 2030 yang kemudian bisa menjadi bagian dari bisnis proses yang didanai BPDLH," kata Joko.
Sementara itu, Joko juga menjelaskan seluruh pemangku kepentingan bisa menjadi penerima manfaat dari BPDLH. Dia mengatakan BPDLH memiliki fleksibilitas untuk memberikan pembiayaan tersebut.
Joko menjelaskan lembaganya dapat memberikan layanan ke pemerintah pusat maupun daerah hingga tingkat desa. Selain itu, swasta, Non-Goverment Organisation, akademisi, hingga kelompok masyarakat juga dapat mengakses manfaat dari BPDLH baik secara langsung maupun tidak langsung.
Joko menyadari memenuhi pembiayaan untuk target NDC 2030 memiliki sejumlah tantangan dan peluang. Karena itulah, kata dia, BPDLH hadir untuk menjadi solusi pendanaan iklim tersebut.
Dia mengatakan pemanasan global dan perubahan iklim telah menjadi isu global. Maka itu, banyak negara yang menyatakan komitmennya terhadap pembiayaan mengatasi perubahan iklim. Dalam konteks tersebut, kata dia, BPDLH dapat menjadi jembatan untuk menjemput sumber-sumber dana itu untuk kebutuhan pendanaan di Indonesia.
"Komitmen dari global itulah yang menjadi fungsi utama dari BPDLH dalam mentransformasikan dan menghubungkan sumber pendanaan global tadi untuk bisa masuk ke domestik dan membantu pencapaian target NDC," kata dia.
PBB warning kiamat makin dekat
Dalam laporan tahunan keadaan iklim, Organisasi Meteorologi Dunia PBB (WMO), badan dunia itu mengonfirmasi bahwa 2023 adalah tahun terpanas bumi yang pernah tercatat. WMO mengatakan suhu rata-rata di dekat permukaan adalah 1,45 derajat Celcius di atas suhu pra-industri, sangat mendekati ambang batas kritis 1,5 derajat Celcius yang disepakati negara-negara dalam perjanjian iklim Paris (COP) tahun 2015.
"Belum pernah kita sedekat ini... dengan batas bawah Perjanjian Paris sebesar 1,5 derajat Celcius," tegas Ketua WMO Andrea Celeste Saulo memperingatkan.
Ia mengatakan laporan itu harus dilihat sebagai "peringatan merah" bagi dunia. Apalagi trennya rekor temperatur global terus bisa dipecahkan.
"Rekor sekali lagi dipecahkan, dan dalam beberapa kasus dipecahkan ... Ini memberi makna baru yang tidak menyenangkan pada frasa 'di luar grafik," tambahnya.
"Apa yang kita saksikan pada tahun 2023, terutama dengan pemanasan laut yang belum pernah terjadi sebelumnya, penyusutan gletser, dan hilangnya es laut Antartika, menimbulkan kekhawatiran khusus," jelasnya lagi menyinggung "kiamat" perubahan iklim bukan sekadar soal suhu.
Salah satu temuan yang sangat mengkhawatirkan adalah bahwa gelombang panas laut terjadi rata-rata di hampir sepertiga lautan global setiap harinya pada tahun lalu. Dan pada akhir tahun 2023, lebih dari 90% lautan telah mengalami kondisi gelombang panas pada suatu saat sepanjang tahun.
WMO menulis bahwa gelombang panas laut yang lebih sering dan intens akan menimbulkan dampak negatif. Terutama bagi ekosistem laut dan terumbu karang.
Pada saat yang sama, badan itu juga memperingatkan juga bahwa bahwa gletser-gletser utama di seluruh dunia mengalami kehilangan es terbesar sejak pencatatan dimulai pada tahun 1950. Pencairan es yang ekstrem bahkan terjadi di Amerika Utara bagian barat dan Eropa.
Di markas WMO Swiss gletser di Alpen juga telah kehilangan 10% sisa volumenya dalam dua tahun terakhir saja. Luas es laut Antartika juga merupakan "yang terendah yang pernah tercatat."
"Krisis iklim adalah tantangan utama yang dihadapi umat manusia dan terkait erat dengan krisis kesenjangan," kata Saulo.
(dem/dem)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Jangan Lupa Tanda Kiamat Makin Dekat Terlihat di Daun
