TikTok Ogah Diatur, Ngaku Belum Jadi Raksasa
Jakarta, CNBC Indonesia - TikTok mengikuti langkah Meta untuk menolak status 'gatekeeper' yang diberikan Uni Eropa dalam aturan Digital Markets Act (DMA).
Menurut aturan tersebut, raksasa teknologi masuk kategori 'gatekeeper' ketika memiliki lebih dari 45 juta pengguna aktif bulanan (MAU) dan nilai pasar 75 miliar euro (Rp 1.265 triliun).
Saat masuk kategori 'gatekeeper', perusahaan diwajibkan untuk mematuhi regulasi yang lebih ketat.
Hal ini demi menjaga iklim kompetisi yang sehat, serta memberikan kebebasan bagi pengguna untu beralih dari satu layanan ke layanan lain.
Pada pekan ini, Meta membantah status gatekeeper untuk beberapa anak layanannya. Misalnya saja Messenger dan Marketplace. Meta tak membantah disebut gatekeeper untuk platform Facebook, Instagram, dan WhatsApp.
Sementara itu, TikTok menolak masuk dalam kategori gatekeeper. Menurut perwakilan perusahaan, Uni Eropa mencantumkan status gatekeeper berdasarkan performa bisnis global dari induk perusahaan ByteDance.
"Penolakan kami didasarkan pada keyakinan bahwa penunjukan kami berisiko merusak tujuan DMA dalam melindungi iklim kompetisi antara para gatekeeper dengan pesaing baru seperti TikTok," kata keterangan perusahaan, dikutip dari Reuters, Kamis (16/11/2023).
"Jauh dari gatekeeper, platform kami yang baru beroperasi di Eropa selama lebih dari lima tahun, bisa dibilang merupakan penantang bagi platform yang sudah lebih mengakar selama ini," perusahaan melanjutkan.
TikTok mengatakan layanannya tidak masuk syarat gatekeeper berdasarkan pendapatan di wilayah Eropa sebesar 7,5 miliar euro per tahun.
Uni Eropa sebelumnya telah memilih 22 layanan gatekeeper, 6 di antaranya adalah entitas di sektor teknologi. Antara lain Microsoft, Apple, Alphabet (Google), Amazon, Meta, dan TikTok.
Google dan Amazon menerima status tersebut dan bersedia mengikuti aturan yang lebih ketat. Sementara itu, Apple belum memberikan komentar.
(fab/fab)