
Simak! Bocoran Terbaru BMKG soal 'Panas Mendidih' di RI

Jakarta, CNBC Indonesia - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menemukan bahwa kondisi es di Papua semakin menipis. Hal ini ditunjukkan dalam hasil pemantauan berkala oleh tim BMKG dan PT Freeport Indonesia (PTFI) sejak 2010 hingga 2022.
Temuan tersebut pun semakin diperkuat dengan hasil penelitian BMKG bersama The Ohio State University, Amerika Serikat.
Koordinator Bidang Litbang Klimatologi BMKG, Donaldi S. Permana, mengatakan bahwa selama 2010 hingga 2015, BMKG menemukan es menipis sekitar 5 m dengan laju penipisan 1,05 m per tahun.
Pada November 2015 hingga 2016, penipisan es sangat signifikan hingga 5 m. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh efek El Niño pada 2015 hingga 2016 yang sangat kuat.
Sementara itu, pada awal 2021 foto udara menunjukkan ketebalan es telah berkurang 12,5 m lagi sejak November 2016 atau setara dengan laju penipisan sekitar 2,5 m per tahun.
"Kami menggunakan pemodelan CORDEX-SEA dan data observasi untuk memprediksi hilangnya tutupan es Papua berdasarkan proyeksi iklim di masa depan," kata Donaldi dalam tulisannya di The Conversation.
"Hasilnya, tutupan es di Puncak Jaya diperkirakan hilang pada 2026," sambungnya.
Namun, laju penipisan gletser bisa lebih parah. Gletser dapat habis total paling cepat pada tahun 2024. Risiko ini semakin besar karena El Niño yang membuat iklim bumi lebih hangat-dapat terjadi pada tahun ini.
Data terbaru dari satelit Sentinel-2A juga menunjukkan penyusutan luas tutupan es Papua yang tidak terbendung. Menurut laporan tersebut, penyusutan sebesar 0,27 km persegi terjadi pada Juli 2021 dan 0,23 persegi pada April 2022.
Luas tutupan es salju yang berketinggian 4.884 meter di atas permukaan laut ini menciut sampai 98%, dari 19,3 km persegi pada 1850 menjadi hanya 0,34 km persegi pada 2020.
Sudah Mencair Sejak Revolusi Industri
Gletser Papua sendiri merupakan gletser tropis terakhir yang tersisa di wilayah Pasifik Barat. Puncak Jaya memiliki salju karena di ketinggian tersebut suhu sangat rendah, yakni di bawah 0 derajat Celsius dan kandungan uap air cukup tinggi. Jika kondisi itu terjadi dalam waktu yang lama, salju tersebut akan terakumulasi dan membentuk lapisan es atau gletser.
Gletser Papua diperkirakan sudah mencair sejak revolusi industri atau sekitar 1850. Emisi dari aktivitas industri meningkatkan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer sehingga suhu permukaan bumi meningkat. Tren serupa juga terjadi di gletser tropis lainnya di Amerika Selatan dan Afrika.
Salah satu faktor penyebab pencairan es Papua adalah peningkatan ketinggian lapisan titik beku yang melampaui ketinggian gletser sejak awal 2000 akibat iklim yang berubah. Peningkatan ketinggian lapisan tersebut membuat suhu di sekitar gletser cenderung lebih hangat dari sebelumnya.
Data dari PT Freeport Indonesia 1997-2016 menunjukkan, probabilitas rata-rata suhu harian kurang dari 0 derajat Celcius sangat kecil sejak 1997. Hal ini berakibat pencairan gletser tidak terbendung.
Pencairan es juga dipercepat oleh lebih banyak uap air yang berkondensasi menjadi air hujan dibandingkan menjadi salju. Kemudian, adanya retakan-retakan (crevasses) pada permukaan es akibat pergerakan es sehingga memungkinkan air hujan masuk ke dasar gletser yang juga berperan dalam proses pencairan dasar es (basal melting).
Susutnya luas tutupan es menyebabkan luas batuan berwarna gelap di sekitar es bertambah. Permukaan batuan menyerap lebih banyak panas dari pada permukaan es sehingga turut mempercepat pencairan es dari bagian samping dan dasar es.
(luc/luc)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Panas Mendidih, Ini Pesan Wajib Baca dari BMKG untuk Warga RI
