CNBC Indonesia Research

Ramai Bandar 'Nyolong' Kripto Nasabah, Kok Gampang Banget?

Chandra Dwi, CNBC Indonesia
13 January 2023 15:25
Ilustrasi Cryptocurrency (Photo by Pierre Borthiry on Unsplash)
Foto: Ilustrasi Cryptocurrency (Photo by Pierre Borthiry on Unsplash)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar kripto hingga kini masih belum sepenuhnya pulih seperti pada tahun 2021, karena tren investasi kripto cenderung meredup sejak banyaknya kasus yang membuat jatuh.

Meski pada perdagangan Jumat (13/1/2023) hari ini pergerakan cenderung cerah, tetapi masih cukup jauh untuk menggapai posisi psikologis pada awal tahun 2022.

Di Bitcoin saja, yang merupakan kripto terbesar di dunia, pada hari ini berhasil rebound ke level psikologis US$ 18.000, setelah bertahan cukup lama di level psikologis US$ 16.000, yakni sepanjang Desember 2022.

Meski sudah menguat, tetapi Bitcoin hingga kini belum mampu kembali ke level psikologis US$ 20.000.

Tak hanya Bitcoin saja, Ethereum, koin digital (token) terbesar kedua juga mulai pulih, meski masih cukup jauh untuk menggapai level psikologis US$ 2.000.

Sepanjang Desember 2022, Ethereum bertahan di kisaran level US$ 1.200. Adapun Ethereum menyentuh level psikologis US$ 2.000 terakhir di Mei 2022.

Pada tahun 2022, bisa dikatakan merupakan periode pembalikan arah bagi kripto setelah pada tahun 2021 menjadi tahun yang paling baik bagi aset digital tersebut.

Di tahun 2021, Bitcoin dan Ethereum untuk pertama kalinya mencetak rekor tertinggi sepanjang sejarahnya dua kali hanya dalam setahun saja, yakni pada Mei 2021 dan November 2021.

Namun memasuki tahun 2022, pergerakan Bitcoin, Ethereum, dan kripto lainnya mulai lesu setelah bank sentral Amerika Serikat (AS), Federal Reserve (The Fed) mengindikasikan bahwa mereka akan mengubah kebijakan easy money menjadi hard money.

The Fed yang sebelumnya sempat bersikap dovish selama pandemi Covid-19 berlangsung, pada tahun 2022 mulai bersikap hawkish. Hal ini sebagai niat The Fed untuk memerangi inflasi yang mulai meninggi di 2022.

Pada awal tahun 2022, kripto sejatinya sudah membentuk tren bearish, meski saat itu koreksinya masih belum terlalu parah.

Kemudian pada Februari 2022, terjadilah konflik antara Rusia-Ukraina yang membuat kripto semakin memburuk, karena aset kripto cenderung mudah terpengaruh dengan kondisi global.

Pada 20 Februari 2022, menjadi titik awal panasnya kedua negara tersebut. Alasannya yakni Rusia tidak terima jika Ukraina bergabung dengan NATO.

Alhasil, kripto semakin merana dengan panasnya situasi di Rusia-Ukraina.

Dengan makin merananya kripto, banyak orang yang mulai khawatir bahwa eksistensi kripto mulai redup. Mereka mulai melakukan aksi pelepasan kripto sebagai bentuk kekhawatiran dari makin panasnya geopolitik Rusia-Ukraina saat itu.

Beberapa bulan kemudian, tepatnya pada Mei lalu, aksi lepas investor kripto pun mulai memakan korban, di mana salah satu developer kripto yakni Terraform Labs dihadapkan dengan kondisi yang sulit, di mana dua koin digital (token) besutannya yakni TerraUSD (UST) dan Terra Luna (LUNA) secara bersamaan ambruk dari level tertingginya menjadi level terendah sepanjang masanya.

Alhasil, kejatuhan UST dan LUNA pun membuat aset kripto semakin merana dan disinilah 'kehancuran' kripto dimulai.

Setelah kejatuhan LUNA dan UST, banyak perusahaan kripto yang mulai terdampak, terutama perusahaan yang memiliki eksposur kedua token tersebut.

Sekitar satu bulan setelah kejadian LUNA dan UST, mulai ada kejadian di mana beberapa perusahaan kripto besar dilanda krisis keuangan yang menyebabkan perusahaan tersebut terancam bangkrut.

Adapun perusahaan tersebut yakni Celsius Networks dan Three Arrows Capital (3AC). Keduanya merupakan perusahaan kripto dengan jenis usaha yang berbeda, tetapi juga melayani usaha yang sama yakni peminjaman kripto.

Celsius merupakan perusahaan crypto landing yang berbasis di New Jersey, Amerika Serikat (AS). Celsius membuat heboh dunia kripto setelah pihaknya membekukan penarikan dan transfer antar akun investor dengan alasan untuk menstabilkan likuiditas.

Sedangkan 3AC (Three Arrows Capital) merupakan salah satu perusahaan dana lindung nilai kripto (crypto hedge fund) terbesar di dunia. 3AC bermarkas di Singapura.

Krisis yang menimpa Celsius dan 3AC membuat banyak perusahaan kripto ikut terdampak krisis tersebut, seperti Voyager Digital, BlockFi, FTX, dan lain-lainnya.

Beberapa hari setelah Celsius dan 3AC mengalami krisis likuiditas, akhirnya keduanya resmi mengajukan kebangkrutan Chapter 11 di AS.

Kemudian, beberapa bulan setelah kejadian Celsius dan 3AC, cobaan di kripto belum berakhir, pada awal hingga pertengahan November 2022, bursa kripto terbesar kedua di dunia yakni FTX pun tak luput dari krisis keuangan.

Awal mula krisis likuiditas yang membuat heboh dikalangan investor adalah berasal dari situs berita kripto, CoinDesk pada 2 November lalu melaporkan adanya kebocoran balance sheet Alameda Research, perusahaan afiliasi FTX yang sangat bergantung pada token utilitas FTX, yakni FTX Token (FTT).

Alameda tidak hanya memiliki banyak FTT di neraca, tetapi juga telah menggunakan FTT sebagai jaminan pinjaman. Namun, manajemen FTX menyangkal hal ini.

Alhasil, krisis FTX ini membuat bursa kripto terbesar kedua di dunia tersebut pun akhirnya terancam bangkrut, di mana manajemen FTX pun telah mengajukan Kebangkrutan Chapter 11 pada Desember 2022.

Aset kripto menggunakan sistem desentralisasi, di mana sistem ini tidak ada otoritas pusat yang memiliki kekuatan berlebih yang dapat mempengaruhi harga, sehingga semua orang dapat menjadi market movers atau penggerak kripto.

Di blockchain, sejatinya dikembangkan untuk sistem penyimpanan digital sendiri merupakan rantai blok urut yang kemudian dirangkai lalu didistribusikan bersama-sama.

Masing-masing blok terdiri atas buku besar (ledger) dan 3 elemen yaitu data, hash serta hash dari blok sebelumnya. Sementara jenis data yang ada pada teknologi blockchain disesuaikan dengan tujuannya, misalnya detail transaksi yang meliputi jumlah koin, pengirim, dan penerimanya.

Namun, layaknya suatu sistem, tentunya mempunyai kelemahan, di mana kripto juga tidak luput dari sasaran kejahatan seperti pencurian, peretasan, atau lainnya.

Bahkan, kelemahan sistem ini dapat dimanfaatkan oleh sang developer kripto yang tidak bertanggung jawab, di mana sang developer dapat saja menggunakan dana investor untuk sekadar memperkaya dirinya sendiri, bukan untuk kepentingan bersama. Hal ini sudah terjadi di Terra dan FTX.

Alhasil, kejatuhan Terra dan FTX membuat pamor kripto di dunia cenderung menurun.

Di Indonesia, Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) mencatat total pelanggan terdaftar aset kripto naik dari 11,2 juta pada 2021 menjadi 16,55 juta pada 2022.

Tetapi, nilai transaksi aset kripto pada 2022 kian menurun. Sepanjang Januari hingga November 2022, nilai transaksi aset kripto mencapai Rp 296,66 triliun. Angka tersebut turun dari Rp 859,4 triliun pada 2021.

"Artinya ada penurunan yang lebih dari 50 persen," ujar Kepala Bappebti, Didid Noordiatmoko.

Hal ini tentunya berbanding terbalik dengan nilai transaksi di saham RI pada tahun 2022. Berdasarkan data dari Bursa Efek Indonesia (BEI), Rata - Rata Nilai Transaksi Harian (RNTH) tercatat Rp 14,7 triliun, naik 10% dibandingkan posisi akhir tahun lalu yakni Rp13,4 triliun.

Selain nilai transaksi, popularitas aset kripto juga menurun. Bahkan ia memprediksi pada 2023 akan terjadi crypto winter yang luar biasa. Didi merujuk pada data dari Statista Global Consumer Survey.

Berdasarkan survei tersebut, jumlah penduduk Amerika Serikat (AS) yang sudah berinvestasi pada aset kripto sebanyak 18%, namun total penduduk yang berencana melanjutkan investasinya hanya 15%. Padahal sebelumnya pada tahun 2020, popularitas pemilik aset kripto naik, dari 8% menjadi 11%.

Kasus kejatuhan Terra hingga kegagalan FTX telah membuat banyak pihak percaya bahwa aset kripto memiliki tingkat risiko yang jauh lebih besar dibandingkan dengan jenis investasi lainnya, sehingga harus diatur oleh regulator untuk menjamin keamanan dana nasabah.

Meski banyak yang menginginkan kripto perlu diawasi, tetapi bagi mereka yang menjadi penganut 'garis keras' kripto, tidak setuju kripto perlu diawasi. Hal ini karena mereka khawatir bahwa otoritas nantinya dapat mengintervensi kripto itu sendiri.

Terlepas dari perdebatan tersebut, sejatinya banyak pihak, terutama investor institusi yang ingin berinvestasi di kripto beranggapan bahwa kripto juga perlu ada lembaga kustodian. Diketahui bahwa banyak sekali investor institusi yang cukup berminat untuk berinvestasi di bisnis kripto.

Namun, mereka terpaksa masih harus menahan diri lantaran sejumlah infrastruktur di dalam industrinya dinilai belum memadai, sehingga kurang memenuhi azas prudensialitas sebuah aktivitas investasi. Salah satunya adalah dengan belum adanya fungsi kustodian dalam aktivitas berinvestasi kripto.

Sebagai informasi saja, kustodian atau bank kustodian adalah sebuah lembaga yang bertanggung jawab untuk mengamankan aset keuangan dari satu perusahaan atau perorangan.

Kustodian ini akan bertindak sebagai tempat penitipan kolektif aset perusahaan seperti saham, obligasi, dan lain-lain.

Oleh karena itu, kustodian juga perlu ada di kripto agar menciptakan keamanan dalam perdagangan aset kripto. Sehingga investor tidak khawatir jika di portofolio kriptonya akan hilang akibat adanya peretasan atau tindak kejahatan lainnya, karena sudah tersimpan beberapa di kustodian.

Di Indonesia, Bappebti hingga kini terus mengebut pembentukan bursa kripto, lembaga kustodian, dan lembaga kliring yang dipercaya akan memperkuat ekosistem aset digital di Tanah Air.

Adapun rencana pembentukan ketiga entitas baru yang akan menaungi pelaku usaha di bidang aset digital ini dimaksudkan untuk memberikan kenyamanan dan keamanan bagi investor saat bertransaksi aset digital.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular