
Habis Rp 222 T Beli GPU, Penambang Kripto Terancam Nganggur

Jakarta, CNBC Indonesia - Sejak akhir 2020, cryptocurrency mengalami kenaikan harga yang drastis. Ini menyebabkan jutaan orang membeli kartu grafis secara eceran untuk menambang Ethereum, tujuannya untuk menghasilkan uang dengan cara cepat.
Pada saat yang sama, AMD dan Nvidia meluncurkan GPU generasi baru mereka, yang menampilkan peningkatan kinerja yang sangat besar dibandingkan dengan dengan pendahulunya, membuat banyak gamer ingin melakukan upgrade.
![]() |
Permintaan jauh melebihi pasokan dan membuat harga meroket, dengan calo perangkat keras yang malah memperburuk keadaan. Menurut Jon Peddie Research, harga jual rata-rata kartu grafis tambahan melonjak dari lebih dari US$400 pada tahun 2019 menjadi hampir US$800 tahun lalu.
Sebuah laporan menyebutkan penambang Ethereum telah menghabiskan sekitar US$15 miliar (sekitar Rp Rp 222 triliun) untuk GPU selama 1,5 tahun terakhir.
Angka itu tidak termasuk biaya CPU, motherboard, PSU, dan komponen lain yang diperlukan untuk rig penambangan, demikian dikutip dari Techspot, Rabu (22/6/2022)
Data tersebut berasal dari Bitpro Consulting, sebuah perusahaan yang berspesialisasi dalam pembelian dan perbaikan perangkat keras penambangan kripto.
Orang-orang yang terjun menjadi penambang sejak dini mendapat untung besar dari investasi mereka. Namun, Ethereum telah turun nilainya lebih dari 80 persen sejak puncaknya tahun lalu.
Selain itu, setelah Ethereum beralih ke model validasi, para pembeli GPU tidak lagi dapat menambang Ether. Langkah itu akan dimulai pada Agustus, meskipun ada kemungkinan tertunda.
![]() Cover Topik, Fokus Chaos Pasar Kripto |
Dikabarkan sebelumnya, pada awal bulan ini Ethereum baru saja menyelesikan gladi resik besar pertamanya untuk perombakan besar pada mata uang digital itu. Akhir tahun, Ethereum diharapkan bisa menjalani transisi resmi dari metode proof-of-work menjadi proof-of-stake.
Dalam metode proof-of-work, tiap penambahan blok baru atau tiap transaksi, para penambang kripto berlomba menjadi validator dengan menyelesaikan permasalahan matematika kompleks menggunakan sumber daya komputasi milik mereka.
Setelah beralih ke proof-of-stake, pihak yang melakukan validasi akan ditetapkan secara acak, dengan persyaratan mereka memarkir sebagian Ether milik mereka sebagai "stake".
Peralihan ini mengharuskan pengguna memanfaatkan cache Ether yang ada sebagai sarana, yakni dalam rangka melakukan verifikasi transaksi dan mencetak token baru.
Dengan cara ini, verifikasi membutuhkan daya yang lebih sedikit, apabila dibandingkan dengan menambang. Serta juga akan membuat transaksi jauh lebih cepat, dikutip dari CNBC Internasional.
Transisi ini sudah akan dilakukan beberapa waktu lalu, tapi akhirnya ditunda karena ada kelemahan pada implementasi. Uji coba yang dilakukan pada Rabu (8/6), menurut para pengembang berjalan lancar.
Pada pengujian menunjukkan proses validasi bukti kepemilikan saham secara substansial mengurangi energi yang diperlukan dalam verifikasi transaksi. Ini membuktikan jika proses penggabungan yang dilakukan telah berhasil.
(dem/dem)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Penambang Kripto Obral Bitcoin untuk Bayar Listrik