Jakarta, CNBC Indonesia - Dunia digital semakin berkembang setelah dunia metaverse dikembangkan tahun lalu, yang memungkinkan teknologi augmented reality (AR) dan realitas virtual (virtual reality/VR) digabungkan untuk menghubungkan dalam dunia maya dengan dunia keseharian kita.
Di kala teknologi digital tumbuh semakin pesat, peran produsen smartphone pun mulai mendapat pesaing yang amat ketat, karena jika produsen smartphone tidak dapat beradaptasi dengan kemajuan teknologi, maka hal itu dapat ditinggalkan oleh penggunanya.
Namun dengan semakin berkembangnya teknologi AR dan VR serta dunia metaverse, akankah peranan smartphone di masa depan akan tergantikan?
Jawabannya masih mendua: mungkin saja iya, tetapi bisa juga tidak.
Perangkat baru ini mungkin mulai bersaing untuk waktu yang dihabiskan menjelang akhir periode 2024. Ada kemungkinan bahwa selama lima hingga 10 tahun ke depan, mereka akan kehilangan pangsa pasarnya jika tidak mampu beradaptasi dan bahkan mengadopsi teknologi dan perangkat VR/AR.
Namun sebaliknya, jika para produsen smartphone mampu beradaptasi, baik dengan melakukan penambahan kompabilitas perangkat yang mendukung teknologi AR, VR, dan metaverse, maka ponsel pintar pun masih akan relevan digunakan.
Para produsen ponsel pintar juga dapat melakukan penelitian agar nantinya ponsel yang diproduksinya dapat terhubung secara langsung dengan teknologi AR dan VR.
Di akhir 2023, Insider Intelligence memperkirakan bahwa basis pengguna AR, utamanya di Amerika Serikat (AS) akan jauh meningkat menjadi 97,1 juta. Namun, sebagian besar pengguna baru akan bergabung melalui smartphone, bukan perangkat AR khusus, karena semakin banyak orang yang menggunakan teknologi melalui berbagai aplikasi seluler.
AR yang dapat diakses melalui smartphone juga akan berkontribusi pada peningkatan waktu yang dihabiskan dengan teknologi tersebut.
 Sumber: eMarketer (Insider Intelligence)Pengguna AR di Amerika Serikat |
Di lain sisi, media sosial diprediksi masih menjadi pendorong utama adopsi teknologi AR dan VR, karena mayoritas pengguna AR menikmati konten tersebut melalui media sosial pada tahun ini. Adapun pengguna mayoritas AR di tahun 2022 diprediksi mencapai 62,6%.
"Media sosial ke depannya masih menjadi media penghubung antara dunia virtual dengan dunia nyata," kata riset dari Insider Intelligence.
Dengan ini, pengguna akan menghabiskan waktu yang dimilikinya untuk menggunakan jejaring sosial di smartphone dan dalam kategori "perangkat terhubung lainnya", yang mencakup perangkat yang dapat dikenakan.
Saat platform metaverse makin berkembang, aplikasi baru untuk teknologi ini akan membawa lebih banyak pengguna merasakan dunia virtual yang tadinya hanya sebagai impian belaka.
Meski tren dunia virtual melalui metaverse semakin berkembang, tetapi masih ada ancaman dari regulator yang dapat memperlambat perkembangan dunia virtual.
Masalah privasi hingga persaingan dapat memengaruhi adopsi perangkat dan waktu yang dihabiskan pengguna untuk menggunakan perangkat pendukung dunia virtual. Undang-undang tentang privasi pun dapat membatasi pertumbuhan dunia metaverse yang kini semakin berkembang.
Untuk mengatasi hal-hal yang tidak diinginkan, pengembang aplikasi dan pengontrol data lainnya harus memperketat prosedur mereka. Di AS sendiri, mungkin perlu mengadopsi praktik seperti di Uni Eropa, di mana mereka mempekerjakan petugas perlindungan data (data protection officers /DPO) saat penegakan peraturan ini dimulai.
Selain kebijakan privasi penggunanya, regulasi dari sisi persaingan usaha dan transparansi juga mempengaruhi dunia virtual. Di AS, Undang-Undang Persaingan dan Transparansi dalam Periklanan Digital yang baru-baru ini diperkenalkan ditujukan untuk memulihkan dan melindungi persaingan dalam periklanan digital dengan menghilangkan konflik kepentingan.
Jika disahkan, maka undang-undang tersebut kemungkinan akan memaksa Google untuk melepaskan sebagian besar bisnis iklan online-nya, karena peraturan tersebut akan melarang pertukaran iklan besar dari juga mengoperasikan teknologi penerbitan.
Rancangan Undang-undang (RUU) tersebut kemungkinan juga akan memengaruhi Meta dan dapat membahayakan Amazon dan Apple.
Di lain sisi, regulasi terkait penggunaan oleh anak-anak juga perlu dipertimbangkan mengingat dunia virtual bisa diakses oleh siapa saja, asalkan penggunannya paham dengan teknologi AR dan VR. Atas dasar itu, di AS, Undang-Undang Keamanan Daring Anak-Anak sudah diajukan pada Februari lalu.
Meskipun perkiraan bahwa pengguna dapat mengakses terkait dunia metaverse bagi orang yang sudah berusia 18 tahun ke atas, mereka juga harus mempertimbangkan pengguna yang lebih muda.
RUU ini akan menciptakan tanggung jawab eksplisit bagi perusahaan teknologi seputar penanganan konten yang melibatkan gangguan makan, alkohol, bunuh diri, dan topik sensitif lainnya.
Dalam beberapa bulan terakhir, Kongres AS telah memanggil para eksekutif perusahaan media sosial terkemuka untuk bersaksi tentang keselamatan anak-anak secara online dan jelas akan ada peningkatan pengawasan ke depan.
Sementara itu, ketegangan antara Rusia-Ukraina yang hingga kini masih terjadi juga dapat memengaruhi tren metaverse dalam jangka panjang.
Perang Rusia-Ukraina dan meningkatnya ketegangan China-Taiwan dapat memperpanjang masalah rantai pasokan semikonduktor. Jika rantai pasokan semikonduktor semakin 'mandek' maka potensi kenaikan harga perangkat terbuka dan penggunanya cenderung enggan membeli perangkat tersebut karena dinilai harganya tidak wajar alias terlalu tinggi.
Pada pertemuan tahun ini, Dewan Perdagangan dan Teknologi AS-UE menyimpulkan bahwa lembaga pemerintah dan pemimpin industri harus dapat menekan harga semikonduktor, membuat distribusi pengiriman semakin lancar, dan meningkatkan investasi dalam penelitian serta pengembangannya.
TIM RISET CNBC INDONESIA