
Drama Twitter: Kinerja Keuangan, Saham, hingga Elon Musk

Baru-baru ini, orang terkaya dunia menyampaikan keinginannya untuk mengakuisisi Twitter secara utuh, setelah sebelumnya secara tiba-tiba mengungkapkan bahwa ia telah membeli 9,2% saham Twitter.
Hidup dengan masa depan yang tidak pasti bukanlah hal baru bagi Twitter. Media sosial ini terus-menerus diisukan akan diakuisisi, tetapi orang-orang dan perusahaan yang telah melakukan pendekatan untuk membeli Twitter sebagian berbalik arah.
Pada tahun 2016, Disney membatalkan godaannya dengan membeli Twitter karena para eksekutif khawatir akan merusak citra "ramah keluarga" jika perusahaan memiliki aplikasi media sosial tersebut. Bos Salesforce, Marc Benioff, berubah pikiran ketika investor Salesforce membenci gagasan tersebut.
Otoritas pemerintah kemungkinan besar tidak akan mengizinkan perusahaan yang punya bisnis selaras dengan Twitter, termasuk Google dan Facebook, untuk membelinya karena masalah antimonopoli.
Twitter terus-menerus diisukan akan diakuisisi sebagian karena alasan teknis. Tidak seperti beberapa perusahaan teknologi seperti Google dan Facebook, Twitter tidak memiliki jenis saham berjenjang yang memberikan sebagian pemegang saham kekuatan lebih besar.
Kala IPO, Twitter hanya menerbitkan satu jenis saham, berbeda dengan Facebook yang memiliki dua jenis saham, yang memberikan Mark Zuckerbeg saham Kelas B dengan hak voting 10 kali lipat dari saham Kelas A. Dari dalam negeri hak suara multipel baru diperkenalkan tahun ini dengan GoTo menjadi perusahaan pertama yang menerapkan, sehingga pada pendiri menguasai kepemilikan saham seri B dengan hak voting 30 kali lebih besar.
Twitter bisa lebih besar
Meski banyak rintangan bisnis, ada juga kepercayaan bahwa Twitter hanya kekurangan satu ide besar untuk menjadi luar biasa. Anggapan ini telah membuat banyak orang berpikir untuk membeli perusahaan agar lebih bersinar.
Banyak penggiat yang percaya bahwa semua kebutuhan Twitter adalah lewat perbaikan, baik itu urusan sepele maupun fundamental, beberapa di antaranya termasuk: fitur edit; manajemen yang berbeda; jenis backbone teknologi baru; perubahan strategi periklanan; biaya yang lebih rendah dan tweak aplikasi; hingga aturan kebebasan berekspresi yang lebih longgar, seperti yang diinginkan oleh Elon Musk.
Politisi dan banyak orang berpengaruh lainnya secara konstan mengeluh bahwa Twitter menyensor terlalu banyak atau kadang terlalu sedikit, tergantung sayap mana pandangan politik yang dimiliki.
Meskipun basis pengguna hanya satu per dua puluhnya Facebook, secara relevansi Twitter dapat dikatakan sama besarnya dengan Facebook. Hal ini tentu membuat para analis dan investor bertanya-tanya, apa yang salah dengan Twitter.
Elon Musk mungkin salah satu dari sedikit orang di dunia yang cukup berani (atau naif) untuk ingin memiliki Twitter dan benar-benar melakukannya. Mungkin juga, Elon Musk-lah yang pada akhirnya bisa mengeluarkan potensi Twitter yang seutuhnya. Atau mungkin dia hanya akan berakhir di daftar panjang orang-orang yang pernah percaya bahwa mereka bisa merevolusi Twitter.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(fsd)
[Gambas:Video CNBC]