Jakarta, CNBC Indonesia - Selama hampir 16 tahun sejak didirikan, Twitter memiliki reputasi sebagai perusahaan yang tidak pernah memenuhi potensinya yang sangat besar. Bagi banyak investor dan analis, teka-teki Twitter adalah bahwa perusahaan itu dikenal secara luas tetapi tidak digunakan secara masif, sukses secara finansial tetapi angkanya segitu-segitu saja, dikelola dengan kompeten tetapi juga kerap tersandung kontroversi, serta punya berpengaruh yang besar baik itu secara positif maupun negatif.
Awal Februari lalu, Twitter mengumumkan perolehan laba bersih yang lebih rendah dari perkiraan karena kenaikan biaya operasional, tetapi mengaku mampu menghindari dampak perubahan privasi Apple yang berdampak sangat buruk bagi rival bisnisnya, Facebook.
Twitter membukukan laba bersih US$182 juta atau setara dengan Rp 2,61 triliun (asumsi kurs Rp 14.350/US$) pada kuartal keempat tahun 2021, turun 18% dari US$222 juta (Rp 3,18 triliun) setahun sebelumnya. Angka tersebut sangat jauh dari perkiraan analis yang mengharapkan Twitter mampu membukukan laba bersih US$ 290 juta.
Pendapatan Twitter mencapai US$1,57 miliar (Rp 22,53 triliun) pada kuartal tersebut, naik 22% dari US$ 1,29 miliar (Rp 18,51 triliun) dari periode yang sama tahun sebelumnya. Angka ini sejalan dengan perkiraan analis sebesar US$1,58 miliar.
Pengeluaran pada kuartal tersebut naik drastis, tumbuh hingga 35% dibandingkan dengan tahun sebelumnya, menjadi US$ 1,4 miliar (Rp 20,09 triliun). Twitter menyebut bahwa total biaya dan pengeluaran tumbuh sebagai akibat dari peningkatan jumlah karyawan, biaya terkait penjualan yang lebih tinggi, biaya infrastruktur dan peningkatan biaya pemasaran.
Tahun lalu, para eksekutif Twitter menetapkan tujuan ambisius untuk perusahaan mereka, dengan harapan menarik lebih dari 100 juta pengguna baru dan menggandakan pendapatan pada tahun 2023. Namun, kinerja kuartal terakhir tahun 2021 menunjukkan banyak tantangan yang harus diatasi perusahaan sebelum dapat mencapai tujuan tersebut.
Twitter mengatakan perusahaan berencana untuk tumbuh pesat selama dua tahun ke depan, mencapai 315 juta pengguna aktif harian dan pendapatan tahunan US$7,5 miliar pada akhir 2023.
Pada kuartal IV-2021 perusahaan menambahkan satu juta pengguna aktif harian di Amerika Serikaat dan lima juta pengguna secara global. Twitter mengatakan basis pengguna hariannya naik 2,84% dari kuartal sebelumnya menjadi 217 juta, sedikit di bawah harapan analis sebesar 218 juta pengguna.
Sementara itu total pendapatannya pada tahun 2021 adalah US$5,08 miliar, meningkat 37% dari tahun sebelumnya.
Dalam earning call yang sama Februari lalu, Twitter juga menyebut bahwa perusahaan memperkirakan kinerja keuangan baru tertekan pada kuartal pertama tahun ini, tetapi percaya diri pengguna baru bertambah.
Kinerja keuangan Twitter dijadwalkan akan diumumkan pada hari Kamis pekan ini, tanggal 28 April 2021.
Bisnis media sosial makin hari makin ketat, dengan pemain lama yang makin mumpuni secara teknologi dan pendatang baru yang tak kalah agresif menyikat pangsa pasar.
Selain pertumbuhan pengguna, memperoleh keuntungan yang menarik bagi investor juga sama beratnya. Facebook yang didirikan tahun 2004, baru mencetak keuntungan bersih pada 2012 setelah memiliki 300 juta pengguna, sekarang jumlahnya telah lebih dari 2 miliar.
Sementara itu, pertama kalinya bottom line Twitter membuat investor tersenyum baru terjadi pada 2018, lebih dari satu dekade sejak didirikan.
Bahkan, masih ada beberapa perusahaan teknologi yang kesulitan memonetisasi platform raksasa mereka. Aplikasi pesan singkat milik Meta, Whatsapp, hingga saat ini masih belum menemukan formula yang tepat untuk menguangkan bisnis yang bagi banyak orang sudah terintegrasi penuh dan susah ditinggalkan. Rencana awal untuk menjadikan Whatsapp sebagai tambang iklan terbentur masalah privasi, membuat Zuckerberg membatalkan misi tersebut. Terbaru, Whatsapp mulai memperkenalkan Communities, fitur yang diharapkan mampu menghasilkan pundi-pundi tambahan bagi Meta.
Senada, Twitter juga berusaha keras untuk meningkatkan profitabilitas perusahaan, baik itu dengan mengganti arah haluan bisnis maupun dengan memperkenalkan fitur-fitur unggulan terbaru.
Bisnis Berlangganan
Awal tahun ini, Twitter mengatakan pada bahwa mereka akan mengubah nama segmen bisnis 'Lisensi Data dan Pendapatan Lainnya' menjadi 'Langganan dan Pendapatan Lainnya' dimulai dengan kuartal pertama tahun ini.
Langkah ini mencerminkan penjualan US$1,05 miliar dari perusahaan iklan seluler MoPub kepada AppLovin Corp. Penjualan itu diumumkan pada bulan Oktober, dan ditutup pada awal Januari lalu.
Branding ulang segmen ini akan mencakup pendapatan dari layanan berlangganan bulanan Blue yang diluncurkan tahun 2021 lalu. Twitter Blue menawarkan pelanggan akses ke fitur eksklusif dan eksperimental, termasuk kemampuan untuk menggunakan token yang tidak dapat dipertukarkan (NFT) sebagai gambar profil mereka.
Blue tersedia untuk pengguna di AS, Kanada, Selandia Baru, dan Australia. Meskipun perusahaan belum mengatakan berapa banyak pelanggan layanan tersebut, eksekutif Twitter mengatakan bahwa perusahaan "sangat senang dengan apa yang dilihat sejauh ini."
Twitter juga agresif memperkenalkan fitur baru, setelah gagal menyalin kesuksesan Instagram yang sukses meniru story dari Snapchat lewat fitur fleet, Twitter mulai mencoba terjun di segmen konten audio melalui space yang menawarkan pengalaman yang sama seperti Clubhouse - yang namanya mulai pudar - secara lebih demokratis.
Saat ini, selain perusahaan teknologi dan sosial media utama seperti Meta dan Google, Twitter mendapat penantang baru, dua di antaranya adalah Snap dan TikTok. Kedua aplikasi ini sangat dekat dengan generasi yang lebih muda dan memiliki basis pertumbuhan pengguna yang lebih tinggi dari Twitter.
ByteDance, induk TikTok yang bukan merupakan perusahaan publik tidak wajib melaporkan kinerja keuangannya secara luas. Akan tetapi, sumber Reuters menyebut bahwa, aplikasi yang baru dirilis tahun 2016 ini mencatatkan total pendapatan US$58 miliar tahun lalu, naik 70% secara tahunan. Angka tersebut US$53 miliar lebih banyak dari yang dihasilkan Twitter.
ByteDance adalah salah satu perusahaan teknologi swasta terbesar di dunia dengan perdagangan baru-baru ini di pasar sekunder ekuitas swasta bernilai sekitar US$300 miliar, menurut laporan Reuters.
Selain TikTok, aplikasi ByteDance lainnya termasuk Douyin yang merupakan TikTok versi China, agregator berita Jinri Toutiao, dan platform streaming video Xigua.
Khusus untuk TikTok sendiri, pendapatan iklan aplikasi berbagi video TikTok diperkirakan meningkat tiga kali lipat pada tahun 2022 menjadi lebih dari US$11 miliar. Angka tersebut melebihi penjualan gabungan dari saingannya Twitter dan Snap menurut perusahaan riset Insider Intelligence.
Kondisi suboptimal tersebut juga membuat saham Twitter susah terangkat. Tercatat saham Twitter hanya dua kali mengalami kenaikan signifikan, yakni ketika awal Ipo tahun 2013 dan saat reli era pandemi buah dari kebijakan 'uang murah'. Saat ini saham Twitter diperdagangkan di kisaran yang dekat dengan saat awal IPO, atau tumbuh kurang dari 9% sejak awal diperdagangkan secara publik.
Baru-baru ini, orang terkaya dunia menyampaikan keinginannya untuk mengakuisisi Twitter secara utuh, setelah sebelumnya secara tiba-tiba mengungkapkan bahwa ia telah membeli 9,2% saham Twitter.
Hidup dengan masa depan yang tidak pasti bukanlah hal baru bagi Twitter. Media sosial ini terus-menerus diisukan akan diakuisisi, tetapi orang-orang dan perusahaan yang telah melakukan pendekatan untuk membeli Twitter sebagian berbalik arah.
Pada tahun 2016, Disney membatalkan godaannya dengan membeli Twitter karena para eksekutif khawatir akan merusak citra "ramah keluarga" jika perusahaan memiliki aplikasi media sosial tersebut. Bos Salesforce, Marc Benioff, berubah pikiran ketika investor Salesforce membenci gagasan tersebut.
Otoritas pemerintah kemungkinan besar tidak akan mengizinkan perusahaan yang punya bisnis selaras dengan Twitter, termasuk Google dan Facebook, untuk membelinya karena masalah antimonopoli.
Twitter terus-menerus diisukan akan diakuisisi sebagian karena alasan teknis. Tidak seperti beberapa perusahaan teknologi seperti Google dan Facebook, Twitter tidak memiliki jenis saham berjenjang yang memberikan sebagian pemegang saham kekuatan lebih besar.
Kala IPO, Twitter hanya menerbitkan satu jenis saham, berbeda dengan Facebook yang memiliki dua jenis saham, yang memberikan Mark Zuckerbeg saham Kelas B dengan hak voting 10 kali lipat dari saham Kelas A. Dari dalam negeri hak suara multipel baru diperkenalkan tahun ini dengan GoTo menjadi perusahaan pertama yang menerapkan, sehingga pada pendiri menguasai kepemilikan saham seri B dengan hak voting 30 kali lebih besar.
Twitter bisa lebih besar
Meski banyak rintangan bisnis, ada juga kepercayaan bahwa Twitter hanya kekurangan satu ide besar untuk menjadi luar biasa. Anggapan ini telah membuat banyak orang berpikir untuk membeli perusahaan agar lebih bersinar.
Banyak penggiat yang percaya bahwa semua kebutuhan Twitter adalah lewat perbaikan, baik itu urusan sepele maupun fundamental, beberapa di antaranya termasuk: fitur edit; manajemen yang berbeda; jenis backbone teknologi baru; perubahan strategi periklanan; biaya yang lebih rendah dan tweak aplikasi; hingga aturan kebebasan berekspresi yang lebih longgar, seperti yang diinginkan oleh Elon Musk.
Politisi dan banyak orang berpengaruh lainnya secara konstan mengeluh bahwa Twitter menyensor terlalu banyak atau kadang terlalu sedikit, tergantung sayap mana pandangan politik yang dimiliki.
Meskipun basis pengguna hanya satu per dua puluhnya Facebook, secara relevansi Twitter dapat dikatakan sama besarnya dengan Facebook. Hal ini tentu membuat para analis dan investor bertanya-tanya, apa yang salah dengan Twitter.
Elon Musk mungkin salah satu dari sedikit orang di dunia yang cukup berani (atau naif) untuk ingin memiliki Twitter dan benar-benar melakukannya. Mungkin juga, Elon Musk-lah yang pada akhirnya bisa mengeluarkan potensi Twitter yang seutuhnya. Atau mungkin dia hanya akan berakhir di daftar panjang orang-orang yang pernah percaya bahwa mereka bisa merevolusi Twitter.
TIM RISET CNBC INDONESIA