Masalah Ini Lebih Horor dari Covid, RI Butuh Dana Rp 3,700 T
Jakarta, CNBC Indonesia - Dunia saat ini bukan hanya menghadapi pandemi Covid-19. Namun ada perubahan iklim yang mengancam, bahkan Indonesia membutuhkan Rp 3.700 triliun untuk mengatasinya hingga 2030 mendatang.
Hal ini dikemukakan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani beberapa waktu lalu. Dia mengatakan cara untuk mendesain peraturan yang bisa dilakukan dan memenuhi komitmen perubahan iklim yang bisa dicapai.
"Bagaimana kita bisa mendesain policy sehingga kerja sama bisa menerjemahkan sehingga financing gap bisa dipenuhi DNA komitmen climate change bisa dicapai. Kalau kita mau menurunkan CO2 40% maka kebutuhan US$ 479 billion. Jadi ini tantangan bagaimana policy kita bisa menghasilkan platform kerja sama yang kredibel," kata Sri Mulyani.
Menurutnya persoalan perubahan iklim adalah nyata dan mulai terasa di berbagai belahan dunia. Sri Mulyani menjelaskan sebelum 2045 akan menghadapi climate change 2030 yang menghasilkan Paris Aggrement, yakni komitmen berbagai negara untuk mengurangi Co2 sebab dunia sudah mulai menghangat.
Dia menyebut berbagai hal yang tak pernah terjadi sebelumnya di sejumlah negara seperti banjir hingga kebakaran hutan karena perubahan iklim ini.
"Banjir yang tidak pernah terjadi, terjadi. Di Jerman sampai terjadi banyak sekali korban. Kebakaran hutan, kekeringan, ada juga turunnya es atau salju di berbagai daerah yang belum menghadapi ini jadi climate change is real karena dunia sudah menghangat di atas 1%. Kita menghindari untuk menghangat."
Tiap negara punya tanggung jawab untuk mengantisipasi perubahan iklim. Ini termasuk Indonesia yang punya pekerjaan yang sama.
Namun sebagai negara berkembang dia mengatakan Indonesia tetap harus mendorong perekonomian, tujuannya mengubah nasib kemiskinan yang masih tinggi.
"Kita memperjuangkan hak negara emerging untuk memperbaiki kemakmuran tanpa terbebani tidak adil. Take and give jadi penting. Komitmen climate change tanpa pendanaan tidak akan bisa dijalankan. Kita akan terus mengakselerasi untuk climate change maupun dalam forum global yang lain," jelasnya.
Sementara itu berdasarkan penelitian terbaru di Amerika Serikat (AS), jika tidak ada pengendalian ketat pada emisi karbon maka pada 2100 mendatang 95% permukaan laut menjadi tak layak huni. Ini melihat dari biota laut, dikutip Nature World News.
Sebagian besar kehidupan laut didukung lingkungan permukaan laut dengan suhu air pemukaan, tingkat keasaman, dan konsentrasi mineral arogonit yang sesuai untuk pembentukan tulang atau cangkang.
Sayangnya peningkatan Co2 atau di atmosfer ada kekhawatiran suhu permukaan laut jadi tidak ramah lingkungan pada spesies yang ada di sana. Sebagai atmosfer meningkatnya karbondioksida terjadi setidaknya dalam tiga juta tahun.
Penulis utama penelitian, Katie Lotterhos mengatakan laut yang lebih panas, asam dan memiliki sedikit mineral bisa membuat laut jadi tak layak huni untuk makhluk hidup di dalamnya.
"Dalam beberapa dekade mendatang, komunitas spesies yang ditemukan di satu wilayah akan terus bergerak dan berubah dengan cepat," kata Katie yang berasal dari Pusat Ilmu Kelautan Universitas Northeastern, dikutip Selasa (12/10/2021).
(roy/roy)