Pay Later Jadi Bisnis Bernilai US$ 100 miliar, Kok Bisa?

Jakarta, CNBC Indonesia - Jutaan pengguna platform belanja online kini tidak asing dengan fitur beli sekarang, bayar nanti, atau BNPL (buy now, pay later) untuk membiayai pembelian mereka. Bahkan kini, pilihan layanan Pay Later sangat bervariasi dibandingkan sebelumnya, seperti Klarna, Affirm, dan Afterpay.
Dikutip dari CNBC International, Kamis (23/9/2021), kini perusahaan besar pun ikut-ikutan terjun ke bisnis Pay Later. Sebut saja PayPal yang meluncurkan produknya sendiri, Amazon dan Apple bermitra dengan Affirm, dan Square setuju untuk membeli Afterpay dalam kesepakatan US$ 29 miliar. Perusahaan penyedia BNPL pun dengan bangga memuji layanan mereka sebagai alternatif kartu kredit yang lebih baik.
Meski demikian kemudahan ini juga dibanjiri kritik dan kekhawatiran akan banyaknya orang yang menghabiskan lebih dari yang mereka mampu. Sebagian pengguna Pay Later pun mungkin tidak menyadari bahwa mereka berhutang.
Pandemi Covid-19 diperkirakan menjadi salah satu pendorong maraknya penggunaan Pay Later dan membuat bisnis BNPL makin subur. Pasalnya, fitur ini memungkinkan pembeli membayar barang-barang mereka selama periode cicilan. Konsepnya bukanlah hal baru, rencana cicilan telah ada selama bertahun-tahun, yang dikenal sebagai "layaway" di AS, atau "lay-by" di Australia.
Perjanjian ini memungkinkan orang menyebarkan biaya barang selama jangka waktu tertentu. BNPL serupa dalam hal konsumen mendapatkan produk di muka dan membayarnya dalam jumlah tambahan, seringkali tanpa bunga. Pembeli dapat memilih untuk menggunakan layanan BNPL saat check out online hanya dengan beberapa klik. Mereka biasanya membayar angsuran pertama kemudian, dan mendapatkan tagihan jumlah yang tersisa selama periode tiga sampai empat bulan.
Untuk meningkatkan penggunaannya, penyedia Pay Later seringkali menambahkan tombol checkout ke situs web penjual dan kemudian mengambil potongan dari pedagang pada setiap transaksi. Para ahli mengatakan penjual diberi insentif untuk menyetujui ini karena meningkatkan jumlah penjualan.
Beberapa perusahaan Pay Later juga memperoleh pendapatan dari biaya keterlambatan pembayaran dan bunga atas rencana angsuran jangka panjang. Sementara Keuntungan bagi pembeli adalah mereka dapat membeli barang yang lebih mahal daripada yang biasanya dapat mereka bayar sekaligus.
Pandemi Covid-19 mengakibatkan banyak usaha tutup sementara dan melihat konsumen menghabiskan lebih banyak waktu mereka di rumah. Hal Ini pun mempercepat pertumbuhan belanja online dan penggunaan Pay Later.
Menurut laporan dari Worldpay, perusahaan pemrosesan pembayaran yang dimiliki oleh FIS, mencatat transaksi e-commerce global mencapai US$4,6 triliun tahun lalu, naik 19% dari 2019. Pay Later menyumbang 2,1%, atau sekitar US$97 miliar dari jumlah itu. Angka ini diperkirakan akan berlipat ganda menjadi 4,2% pada 2024
Perubahan kebiasaan belanja konsumen dan lonjakan adopsi e-commerce memberi pasar dorongan yang signifikan. Itu merupakan keuntungan bagi sejumlah perusahaan, seperti Klarna yang mencapai valuasi US$46 miliar dalam putaran penggalangan dana pribadi baru-baru ini. PayPal mengakuisisi perusahaan Jepang Paidy seharga US$ 2,7 miliar dan Square mengambil alih Afterpay.
Salah satu kritik utama pada bisnis BNPL adalah bisa mendorong pembeli untuk membelanjakan lebih dari yang mereka mampu. Apalagi kini Pay Later sangat populer di kalangan pembeli milenial dan Gen Z. Sebuah kelompok advokasi konsumen di Inggris, mengatakan telah melakukan penyelidikan yang menemukan bahwa hampir seperempat dari pengguna BNPL menghabiskan lebih dari yang mereka mampu karena besarnya layanan tersedia.
Selain itu, ada juga ketakutan tentang betapa mudahnya orang berutang, terkadang tanpa disadari, karena tidak ada pemeriksaan kredit yang sulit seperti produk lainnya.
[Gambas:Video CNBC]
Market E-Commerce di RI Tembus US$ 43,35 M di 2021
(rah/roy)