Bitcoin Disamakan dengan Emas Digital, Apa Pantas?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
29 April 2021 06:00
bitcoin
Foto: Bitcoin (REUTERS/Benoit Tessier)

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga bitcoin kembali menguat lebih dari 9% dalam 2 hari terakhir, sementara harga emas dunia turun pada hari Senin naik tipis 0,17% dan berbalik melemah 0,2%. Sepanjang tahun ini, kedua aset ini juga menunjukkan kinerja yang berkebalikan.

Harga bitcoin sepanjang tahun ini meroket sekitar 90%, bahkan sempat lebih dari 120% ketika mencapai rekor tertinggi sepanjang masa US$ 64.899,97/BTC pada 14 April lalu. Sementara harga emas dunia turun lebih dari 6%. Harga emas Antam di dalam negeri juga sama turun lebih dari 4%.

Kedua aset ini dibanding-bandingkan sebab bitcoin digadang-gadang akan menjadi emas digital.

Melansir Forbes, Xolali Zigah founder dan chairman Cash Angel, pada pertengahan tahun lalu menyebutkan agar bitcoin bisa disebut sebagai "emas digital" harus juga memiliki atribut seperti emas, kecuali aset berwujud tentunya.

Atribut utama, yakni kelangkaan, baik emas dan bitcoin memiliki supply yang terbatas.
Kemudian ada 3 atribut lainnya.

Yang pertama, sebagai alat pembayaran. Emas maupun bitcoin bisa digunakan sebagai alat pembayaran, keduanya bisa ditukarkan dengan barang maupun jasa.

Yang kedua, unit akun, dimana kedua aset ini bisa dipecah-pecah menjadi ukuran lebih kecil. Emas bisa dipecah menjadi setengah ons, seperempat ons, atau dalam gram. Sementara bitcoin bisa dibagi menjadi 1 satoshi, yang merupakan 1/100.000.000 bitcoin.

Yang ketiga, sebagai penyimpan nilai (store of value), yang dikatakan masih menjadi perdebatan apakah bitcoin memilikinya atau tidak.

Store of value biasanya menunjukkan aset yang akan diburu saat terjadi gejolak perekonomian karena memiliki nilai intrinsik. Dan emas sudah terbukti memilikinya.

Melihat jauh ke belakang, saat krisis minyak mentah tahun 1973 dan 1974, harga emas mencatat kenaikan masing 72% dan 66%. Kemudian saat inflasi tinggi melanda Amerika Serikat (AS) pada 1978 hingga akhirnya mengalami resesi di 1980 harga emas melesat nyaris 180%.

Di era millennium, krisis finansial global yang melanda di tahun 2007 dan 2008 harga emas mencatat kenaikan 36%, bahkan terus menanjak hingga tahun 2012, dan mencatat rekor tertinggi sepanjang masa setahun sebelumnya.

Terbaru pada tahun lalu saat dunia mengalami resesi, harga emas mencatat kenaikan 25% dan mencatat rekor tertinggi sepanjang masa yang baru.

Bitcoin dikatakan belum layak disebut memiliki store of value karena belum terbukti menguat saat terjadi gejolak perekonomian. Memang tahun lalu, bitcoin mampu meroket lebih dari 300%, tetapi hal tersebut masih belum cukup untuk bisa dianggap memiliki store of value. Sebab pada tahun lalu, bitcoin juga sempat merosot mengikuti indeks bursa saham AS.

Alex de Vries, ekonom asal Belanda yang memiliki website Digiconomist mengatakan, pergerakan bitcoin pada tahun lalu mengikuti indeks S&P 300. Dari rekor tertinggi yang dicapai pada 19 Februari 2020 hingga 23 Maret indeks S&P 500 merosot hingga 33%. Bitcoin juga mengalami hal yang sama, nilainya terpangkas hingga sepertiga, dari US$ 9.633/BTC ke US$ 6.416/BTC. Hal tersebut dikatakan menjadi ujian krusial bagi bitcoin apakah bisa dianggap store of value atau tidak.

"Itu adalah ujian yang krusial. Bitcoin 100% terkait dengan anjloknya bursa saham. Itu tidak memberikan proteksi seperti yang diprediksi para penggemarnya," kata Vries, sebagaimana dilansir Fortune, Senin (28/4/2021).

"Bitcoin benar-benar berkorelasi dengan jatuhnya pasar saham dan awal resesi," tambahnya.

Menurut Vries bitcoin justru melihat bitcoin sangat diuntungkan dengan pemulihan ekonomi seperti yang terjadi saat ini. Meski hal tersebut masih dipertanyakan seberapa besar korelasinya.

Sebaliknya, emas tidak diuntungkan saat perekonomian mulai pulih. Sejarah pergerakan emas menunjukkan hal tersebut.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Volatilias Bitcoin Terlalu Tinggi dan Tak Bernilai

Volatilitas tinggi bitcoin menjadikannya kurang bisa diandalkan sebagai store of value. Di awal pekan ini, bitcoin menyentuh level US$ 47.000/BTC, jika dibandingkan dengan rekor tertinggi pada US$ 64.899,97/BTC pada 14 April lalu, artinya bitcoin ambrol lebih dari 26% hanya dalam tempo kurang dari 2 pekan.

Bahkan, 4 hari setelah mencatat rekor tersebut bitcoin sudah merosot lebih dari 20%. Kemudian pada tahun lalu, tepatnya 12 Maret 2020, harga bitcoin ambrol lebih dari 26% dalam sehari.

Sebelum tahun ini, bitcoin pernah mencatat rekor tertinggi sepanjang masa US$ 19.458,19/BTC pada Desember 2017. Tetapi malah ambrol nyaris 80% setahun berselang.

Selain itu yang paling penting adalah bitcoin tidak memiliki nilai intrinsik yang sudah jelas dimiliki oleh emas. Vries mengatakan, 70% emas yang ditambang per tahunnya digunakan sebagai perhiasan, dan 5% digunakan untuk kebutuhan elektronik. Jadi permintaannya akan selalu ada setiap tahunnya.

Selain itu, bitcoin merupakan aset tak berwujud (intangible). Vries mengatakan tidak ada yang tahu seberapa nilainya karena tidak tidak digunakan dalam menghasilkan profit. Dengan kata lain, bitcoin tidak memiliki fundamental.

Vries mencontohkan sebuah perusahaan Tesla milik Elon Musk, salah satu pendukung bitcoin, harga sahamnya bisa diperkirakan melalui seberapa besar profit yang dihasilkan, seberapa besar pangsa pasarnya, dan lain-lain. Sementara bitcoin, tidak ada yang bisa digunakan untuk mengukurnya.

"Tidak ada cash flow atau nilai intrinsik pada bitcoin, jadi secara teknis nilainya adalah nol," kata Vries.

"Tidak mengherankan jika para pecinta bitcoin menyerukan untuk tidak menjual bitcoinnya (Hodl), yakni 'Hold on for dear life' (pertahankan seumur hidup)".

Menurut Vries, ketika orang membeli bitcoin maka orang tersebut harus percaya di masa depan akan ada yang membeli dengan harga yang lebih mahal. Ia menyebut itu sebagai klise di dunia bisnis yang menyatakan harapan bukanlah strategi, dan percaya bukan strategi yang layak.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular