Jakarta, CNBC Indonesia - Tiga bulan bukanlah waktu yang sebentar tetapi juga bukan waktu yang lama untuk melakukan vaksinasi Covid-19 secara massal. Masih banyak tantangan yang harus dihadapi untuk membawa seluruh umat manusia di muka bumi lepas dari jerat pandemi lewat imunisasi.
Baru 132 negara dan teritori di dunia yang sudah mendapatkan jatah pasokan vaksin dan mulai menyuntikkan penangkal virus corona tersebut ke masyarakatnya. Padahal di dunia setidaknya lebih dari 200 negara dan teritori yang terjangkit wabah Covid-19.
Negara-negara kaya dengan pendapatan per kapita yang tinggi seperti Amerika Serikat, Eropa, Inggris, Jepang, Korea Selatan dan Singapura sudah mengamankan sejumlah pasokan vaksin. Namun negara-negara yang tergolong miskin di Benua Afrika justru terancam tak memperoleh suplai yang memadai.
Artinya akses terhadap vaksin belum merata walaupun vaksinasi sudah digeber. Ini menjadi tantangan pertama yang harus dihadapi umat manusia jika ekonomi global ingin kembali bergeliat lagi. Tanpa akses yang merata, rasanya mustahil output perekonomian bakal kembali pulih seperti sediakala dalam waktu dekat.
Sebenarnya pasokan vaksin di negara-negara maju pun belum bisa dibilang mencukupi. Di Negeri Paman Sam misalnya, dengan jumlah penduduk mencapai lebih dari 300 juta jiwa setidaknya membutuhkan 600 juta dosis vaksin jika satu orang butuh dua kali suntik.
Namun nyatanya produksi vaksin di negeri adikuasa tersebut justru gagal memenuhi target. Menurut laporan yang dirilis oleh Kantor Akuntabilitas Pemerintah AS (GAO), target Operation Warp Speed (OWS) untuk menghasilkan 300 juta dosis vaksin Covid-19 pada Januari 2021 tidak terpenuhi.
Perusahaan pengembang yang mendapat izin penggunaan darurat (EUA) saat ini baru memproduksi 63,7 juta dosis (31,8%) pada 31 Januari 2021. Padahal jika mengacu pada kontrak kerja sama yang dibuat antara pengembang dan pemerintah seharusnya para pengembang sudah bisa memproduksi 200 juta dosis akhir Maret ini.
Masalah pasokan tidak hanya disebabkan oleh kapasitas produksinya yang masih terbatas saja tetapi juga dominansi vaksin-vaksin tertentu terutama yang dikembangkan oleh perusahaan farmasi AS, Inggris dan Eropa, seperti Moderna, Oxford/AstraZeneca dan Pfizer/BioNTech.
Berdasarkan catatan Our World in Data, vaksin Pfizer/BioNTech sudah digunakan di 78 negara. Sementara untuk vaksin yang dikembangkan oleh AstraZeneca telah dipakai di 45 negara dan vaksin Moderna juga sudah disuntikkan di 33 negara.
Memang satu negara bisa menggunakan lebih dari satu vaksin. Di AS contohnya, vaksin yang digunakan ada 3 yaitu Johnson&Johnson, Moderna dan Pfizer/BioNTech. Kemudian di Inggris vaksin yang digunakan yaitu produksi Oxford/AstraZeneca dan Pfizer/BioNTech.
Selain tiga pengembang tadi, vaksin lain yang digunakan untuk imunisasi Covid-19 adalah vaksin yang dikembangkan oleh perusahaan China seperti Sinopharm dan Sinovac serta vaksin Rusia yang diberi nama Sputnik V hasil studi Gamaleya Research Institute.
Beberapa vaksin tersebut juga sudah digunakan di Asia seperti di Turki dan Indonesia yang menggunakan Sinovac, kemudian ada Uni Emirat Arab yang juga menggunakan Sputnik V.
Hanya saja, tingkat keampuhan eksperimental (efficacy) yang cenderung beragam berdasarkan analisa interim uji klinis tahap akhir vaksin-vaksin tersebut menunjukkan hal yang beragam.
Apalagi kampanye China dan Rusia termasuk gencar. Hal ini membuat banyak pihak menjadi sanksi atas keampuhan vaksin yang dikembangkan oleh dua negara tersebut. Soal efficacy vaksin yang dikembangkan oleh AS, Inggris dan Eropa memang relatif lebih unggul.
Halaman Selanjutnya --> Tantangan Vaksinasi Covid-19 Global
Melansir tulisan yang dipublikasikan di situs Infectious Disease Advisor, efficacy vaksin Pfizer/BioNTech mencapai 92,6%. Untuk vaksin mRNA yang dikembangkan oleh Moderna, tingkat keampuhan teoritisnya mencapai 92,1%.
Berbicara soal keampuhan vaksin berdasarkan hasil uji klinis memang bisa beragam karena faktor yang mempengaruhi juga banyak. Mulai dari lokasi uji klinis, ras, gender, usia, bahkan hingga populasi sampel.
Lagipula uji klinis adalah sebuah eksperimen yang cenderung terkontrol sehingga dalam kondisi riil keampuhannya bisa lebih rendah dari hasil uji yang dilakukan. Hal ini seharusnya tidak membuat bingung. Selagi tingkat keampuhannya masih di atas standard WHO yaitu 50% maka masih bisa digunakan.
Sebagai informasi tingkat keampuhan 50% berarti kelompok yang divaksin berpotensi terinfeksi Covid-19 50% lebih rendah dari kelompok yang tidak divaksinasi. Untuk kasus vaksin Oxford/AstraZeneca tingkat efficacy-nya juga beragam.
Analisis eksplorasi menunjukkan bahwa efikasi vaksin terhadap gejala primer Covid-19 adalah 55,1% dengan selang waktu kurang dari 6 minggu dan 81,3% dengan interval setidaknya 12 minggu.
Khasiat melawan infeksi tanpa gejala di Inggris menunjukkan hasil yang serupa, dengan peningkatan khasiat yang berkorelasi dengan peningkatan interval.Dosis standar tunggal vaksin terbukti mempertahankan efektivitas 76% terhadap gejala primer Covid-19 dalam 3 bulan pertama setelah vaksinasi.
Berbeda lagi dengan Sinovac, tingkat efficacy di berbagai negara uji cenderung menunjukkan hasil yang berbeda signifikan. Di Turki misalnya tingkat keampuhannya disebut mencapai 91%. Di Indonesia khasiatnya mencapai 65% sementara di Brasil hanya 50%.
Berkat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta urgensi untuk mengembalikan roda perekonomian global, pengembangan vaksin cenderung terjadi secepat kilat. Apabila pada kondisi normal butuh 5-12 tahun untuk vaksin bisa sampai ke publik, akibat Covid-19 waktu yang dibutuhkan pun menjadi sangat singkat.
Hanya butuh satu tahun saja vaksin Covid-19 yang dikembangkan sudah mulai disuntikkan ke masyarakat. Tentu saja kondisi ini ada plus dan minusnya. Namun tetap saja perkembangan yang pesat tidak berarti program vaksinasi harus digeber dengan gegabah.
Bagaimanapun juga dampak vaksin terhadap setiap orang bisa berbeda, sehingga terus dimonitor. Ada yang dampaknya ringan tetapi ada juga di beberapa kasus bisa mengancam nyawa.
Selain pasokan yang masih belum mencukupi, aksesibilitas yang tidak merata, dominansi vaksin tertentu hingga perbedaan khasiatnya, ada faktor lain yang juga harus menjadi perhatian khusus.
Sebenarnya faktor ini juga masih terkait dengan aksesibilitas vaksin. Kendati produksi masih terbatas, untuk meningkatkan output bisa dilakukan dengan memberikan izin kepada negara atau perusahaan lain untuk ikut serta memproduksi vaksin yang sudah terbilang 'dijagokan'.
Namun hal ini dirasa masih tabu. Dalam sebuah tulisan opini oleh Achal Prabhala dan Chee Yoke Ling yang dimuat di The New York Times, negara-negara barat disebut masih enggan memberikan lisensi atau izin bagi negara-negara non-barat untuk memproduksi vaksin yang mereka kembangkan.
Bahkan beberapa negara-negara kaya sampai menolak proposal yang diajukan oleh India dan Afrika Selatan. Hal ini berbeda dengan pengembang vaksin dari China dan Rusia yang selama ini produknya diragukan oleh publik.
Sinovac disebut telah menandatangani kesepakatan untuk mengekspor lebih dari 350 juta dosis vaksinnya ke 12 negara tahun ini. Rekannya yang juga dari China yaitu Sinopharm sepakat untuk mengekspor sekitar 194 juta dosis ke 11 negara. Sementara untuk Sputnik V dari Rusia sekitar 400 juta dosis ke 17 negara.
Ketiga produsen telah menyatakan secara terbuka bahwa mereka akan memiliki kapasitas untuk memproduksi masing-masing hingga 1 miliar dosis pada tahun 2021. Dan ketiganya telah melisensikan vaksin mereka ke produsen lokal di beberapa negara.
Terakhir, laju vaksinasi Covid-19 secara global pun terbilang rendah. Sudah hampir 3 bulan berjalan dosis yang sudah disuntikkan baru 345,3 juta. Padahal populasi manusia di muka bumi mencapai 7,79 miliar. Artinya butuh setidaknya 16 miliar dosis, dengan begitu cakupan vaksinasi yang sekarang sudah dilakukan baru 2,2% saja.
Sampai detik ini vaksin Covid-19 adalah barang langka yang dibutuhkan oleh semua orang. Jika melihat kondisi sekarang fakta-fakta yang sudah dipaparkan di atas memang bikin 'geleng-geleng' karena sangatlah kompleks dan butuh kerjasama serta komitmen yang kuat secara global. Tanpa itu rasanya mustahil hidup normal akan segera terwujud.
TIM RISET CNBC INDONESIA