Pak Jokowi, RI Mau Sukses Vaksinasi Covid, Pertimbangkan Ini!

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
02 October 2020 16:28
A worker inspects vials of SARS CoV-2 Vaccine for COVID-19 produced by SinoVac at its factory in Beijing on Thursday, Sept. 24, 2020. A Chinese health official said Friday, Sept. 25, 2020, that the country's annual production capacity for coronavirus vaccines will top 1 billion doses next year, following an aggressive government support program for construction of new factories. (AP Photo/Ng Han Guan)
Foto: AP/Ng Han Guan

Jakarta, CNBC Indonesia - Sebagai salah satu negara dengan penanganan wabah Covid-19 yang dicap buruk oleh publik global, pemerintah berupaya untuk mendatangkan sebanyak mungkin vaksin ke RI. 

Vaksin sebagai barang keramat ini dinilai menjadi solusi untuk menekan pandemi dan memulihkan perekonomian domestik yang porak-poranda. Setelah sempat absen dan menjadi pergunjingan di jagat dunia maya Tanah Air, Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto akhirnya muncul ke publik.

Kemarin (1/10/2020), mantan Kepala Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat tersebut mengatakan kebutuhan vaksin Indonesia saat ini sebanyak 320 juta dosis. Menggunakan asumsi 1 orang disuntik dua dosis vaksin maka ada 160 juta warga +62 yang ditargetkan untuk vaksinasi. 

Jumlah tersebut setara dengan kurang lebih 59% dari total populasi Indonesia. Menurut laporan McKinsey & Company, kapasitas manufaktur vaksin Covid-19 global diperkirakan bakal mencapai 8,4 miliar di tahun depan. 

Namun tetap saja jumlah tersebut baru perkiraan. Lagipula tidak semua vaksin yang sedang menjalani evaluasi klinis saat ini bakal lolos dan mendapat izin edar dari otoritas medis. 

Artinya ketersediaan vaksin sampai dengan tahun depan masih terbatas. Untuk itu pemerintah melalui Kementerian Luar Negeri, Kementerian BUMN, Kepala BOPM, serta Kepala BNPB berupaya untuk menyediakan vaksin tersebut dengan menjajaki kerja sama dan lobi dengan pihak serta pemerintah luar negeri.

Sebagai informasi, saat ini Indonesia sudah mendapatkan komitmen pengadaan vaksin dari perusahaan farmasi asal China yaitu Sinovac dan G42 dari Abu Dhabi. Dari dalam negeri ada juga konsorsium Eijkman yang tengah mengembangkan vaksin untuk Covid-19 yang dinamai Vaksin Merah Putih guna mengurangi impor.

Selain pasokan vaksin, faktor lain yang juga sedang diupayakan oleh pemerintah RI adalah infrastrukturnya. Agar program vaksinasi masal bisa berjalan maka kunci utama lainnya adalah distribusi. 

Untuk mewujudkannya maka dibutuhkan infrastruktur dan logistik yang memadai. Salah satunya adalah cold chain equipment. Saat ini kapasitas penyimpanan vaksin RI mencapai 123 juta vaksin, sebagaimana disebutkan oleh Wakil Menteri BUMN Budi Gunadi Sadikin.

Melalui kerja sama antar BUMN terutama penghasil obat yaitu PT Bio Farma dan PT Kimia Farma Tbk bakal terlibat dalam pengadaan alat tersebut sehingga bisa memuat sampai 300 juta vaksin.

Namun selain pasokan dan infrastruktur untuk menjalankan program vaksinasi masal, ada hal lain juga yang perlu diperhatikan oleh pemerintah. Pasalnya ada hal yang juga tak kalah fundamentalnya dari dua aspek tadi.

Studi yang dilakukan oleh Sarah M. Bartsch, dkk dari City University of New York (CUNY) menggarisbawahi tiga faktor yang penting agar strategi vaksinasi bisa berhasil untuk mengendalikan pandemi.

Tiga faktor tersebut adalah efektivitas vaksin, jumlah populasi yang terinfeksi dan proporsi dari populasi yang divaksinasi. Menggunakan pemodelan matematika dan studi kasus di AS yang juga populasinya besar, Sarah dan koleganya menemukan suatu formula.

Apabila pandemi ingin ditekan sampai 100%, maka total populasi yang terinfeksi wabah haruslah mendekati nol persen, efektivitas vaksin lebih dari 80% dan tiga perempat dari total populasi harus divaksinasi.

Namun hal itu tentu sangat berat. Untuk aspek efektivitas vaksin akan sangat tergantung dari hasil uji klinis. Secara sederhana jika efektivitas vaksin 80% artinya ketika dari 100 orang yang belum terpapar ke patogen divaksinasi, 80 di antaranya bakal kebal ketika terpapar ke patogen yang dimaksudkan.

Efektivitas vaksin yang lebih rendah bukan berarti vaksinasi adalah hal yang mubadzir. Tetap saja vaksinasi diperlukan sebagai salah satu upaya untuk menjinakkan wabah yang sudah mengglobal ini.

Sementara untuk aspek populasi yang terinfeksi, ini erat kaitannya dengan tes yang dilakukan oleh suatu negara. Semakin banyak tes yang dilakukan di suatu negara maka akan semakin terlihat berapa persen dari total populasi yang terjangkit.

Untuk hal ini ada kendala yang juga harus di atasi. Dalam laporan terbaru Bank Dunia September lalu, Indonesia dikatakan memiliki kapasitas menengah dalam penanganan dan testing jika dibandingkan dengan negara tetangga.

Kendati demikian, jumlah tes yang dilakukan di RI masih tertinggal jauh dari banyak negara di dunia yang populasinya juga besar. Dalam satu hari jumlah orang yang dites bisa mencapai 20-30 ribu orang melalui swab PCR. 

Perlu ada scaling up testing lagi ke depan mengingat sangat mudah menemukan penderita Covid-19 di Indonesia. Banyak juga yang tanpa gejala. Dari total tes yang dilakukan rata-rata positive rate-nya berada di angka 15%. 

Artinya dari setiap 100 orang yang dites, 15 orang dinyatakan positif. Angka ini tentu tergolong tinggi. Menurut WHO, indikator ini bisa digunakan untuk melihat apakah wabah sudah terkendali atau belum. Angka positive rate di bawah 5% baru bisa dikatakan wabah bisa dijinakkan.

Namun untuk meningkatkan kapasitas tes deteksi Covid-19 di dalam negeri bukan hal yang mudah lantaran PCR menelan ongkos yang mahal. Tes Swab PCR memang jadi acuan untuk deteksi Covid-19 karena sensitivitas dan akurasinya. 

Ada juga tes lain yang lebih praktis dan murah, hanya saja sensitivitas dan akurasinya rendah. Tes tersebut di dalam negeri disebut sebagai rapid test antibodi. Jika ingin memperbanyak tes Covid-19 di dalam negeri, tentu pemerintah harus mendesain strateginya secara matang dengan memperhatikan keunggulan dan kelemahan masing-masing serta faktor keterbatasan dan tantangan yang dihadapi.

Kemudian yang ketiga terkait dengan jumlah orang yang divaksinasi. Skenario paling memungkinkan vaksinasi dilakukan adalah dengan mendahulukan masyarakat yang berisiko tinggi dan tenaga medis yang berjuang di garda terdepan. 

Hanya saja menentukan jumlah yang harus divaksinasi juga tidak bisa asal ambil angka saja. Harus ada kalkulasi matang dan pertimbangan epidemiologis yang jelas untuk menentukannya.

Memang konsensus yang secara umum beredar semakin banyak orang yang divaksinasi akan semakin baik. Hanya saja seberapa banyak ini seringkali sangat susah untuk diimplementasikan karena banyak keterbatasannya, salah satunya adalah pendanaan. 

Oleh karena itu perlu ada pertimbangan epidemiologisnya. Sampai saat ini belum ada yang bisa menjelaskan secara pasti sampai berapa lama antibodi dapat melindungi orang yang sembuh Covid-19 dari terjangkit lagi.

Kasus di Hong Kong menjadi contoh bahwa imunitas seseorang yang sembuh dari Covid-19 masih terbilang lemah. Faktor lain yang perlu dipertimbangkan adalah aspek musiman dari wabah.

Sampai saat ini masih belum ada konsensus di kalangan ilmuwan apakah wabah Covid-19 ini tergolong musiman. Wabah yang memiliki faktor musiman berarti termasuk sensitif terhadap perubahan kondisi lingkungan seperti temperatur, kelembaban dan intensitas paparan sinar matahari. 

Dari berbagai penelusuran, jenis virus yang menyerang sistem pernapasan seperti influenza dan Covid-19 termasuk yang sensitif terhadap perubahan lingkungan. Virus ini akan mudah menjangkiti orang ketika musim dingin. 

Hal ini juga terkait dengan tingkat imunitas manusia yang cenderung menurun ketika suhu dingin. Berkaca dari sejarah pun wabah SARS & Covid-19 yang juga merebak di China awalnya bermula saat musim dingin. 

Berdasarkan informasi UK Research & Innovation, karakteristik virus corona lain dan influenza memang akan cenderung merebak di musim dingin. 

Berbagai penelitian yang dimuat di jurnal internasional juga menyebutkan bahwa patogen yang menyerang sistem pernapasan sangat rentan terhadap kondisi hangat dan paparan sinar matahari yang cukup. 

Namun pada kasus Covid-19, musim panas yang sudah hampir berlalu di negara 4 musim maupun 2 musim tak serta merta menekan kasus infeksi Covid-19. Fenomena yang terjadi justru sebaliknya dengan adanya lonjakan kasus yang tinggi.

Hal ini membuktikan masih banyak aspek yang belum diketahui dari Covid-19 itu sendiri. Tentu hal ini juga harus dipertimbangkan. Pasalnya strategi vaksinasi juga harus mempertimbangkan faktor musiman dari wabah itu sendiri agar berjalan efektif dan efisien. 

Jadi mewujudkan program vaksinasi masal bukan perkara mudah. Akan sangat mustahil dampak vaksinasi masal dirasakan bila faktor-faktor di atas tidak dipertimbangkan dengan baik dalam merancang strategi.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(twg/roy)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Perbedaan Gejala Omicron di Orang yang Sudah Vaksin & Belum

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular