Uji Vaksin AstraZeneca Disetop & Fakta di Balik Uji Vaksin

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
11 September 2020 14:29
(AP Photo/Kirsty Wigglesworth/FILE)
Foto: (AP Photo/Kirsty Wigglesworth/FILE)

Jakarta, CNBC Indonesia - Kabar kurang baik datang dari salah satu pengembang vaksin Covid-19 asal Inggris, AstraZeneca. Uji klinis tahap akhir (fase III) kandidat vaksin perusahaan tersebut harus dihentikan sementara.

Uji klinis dihentikan sementara setelah seorang relawan asal Inggris dikabarkan mengalami dampak negatif serius pasca kandidat vaksin bernama AZD1222 itu disuntikkan.

Relawan tersebut dilaporkan mengalami gangguan neurologis (saraf) yang langka bernama transversa myelitis atau bahasa awamnya adalah peradangan sumsum tulang belakang yang merupakan bagian dari sistem saraf pusat.

Sampai saat ini belum diketahui pasti kapan uji akan dilakukan lagi. Namun pihak AstraZeneca tetap optimis bahwa vaksin yang mereka kembangkan bisa selesai akhir tahun ini.

Sebagai salah satu pionir dalam pengembangan vaksin Covid-19, AstraZeneca telah mendapat suntikan dana dari Pemerintah AS melalui operasi warp speed sebesar US$ 1,3 miliar (setara dengan Rp 18,85 triliun dengan asumsi kurs Rp 14.500/US$). 

Sebagai gantinya AS meminta jatah vaksin AZD1222 sebanyak 400 juta dosis. Perusahaan yang bekerja sama dengan Oxford University ini juga mendapatkan pendanaan dari Komisi Uni Eropa sebesar US$ 396 juta (Rp 5,74 triliun) dalam bentuk down payment (DP) guna menyelamatkan 300 juta dosis vaksin.

Namun dengan diberhentikannya uji klinis tahap akhir ini bagaimanakah nasib kandidat vaksin ini ke depannya? Berapa chance vaksin ini akan lolos sampai tahap perizinan dari otoritas kesehatan terkait?

Mengukur probabilitas lolosnya suatu kandidat vaksin memang susah. Namun secara historis, peluang vaksin dapat tembus ke pasar hanya 6% saja. Secara sederhananya, dari 170 lebih kandidat vaksin Covid-19 yang ada saat ini, hanya akan ada 10 vaksin saja yang bisa digunakan.

Tentu angka tersebut adalah kalkulasi sederhana yang sangat mungkin error. Namun yang jelas, agar dapat lolos dan digunakan, vaksin harus mengikuti serangkaian pengujian yang panjang dan mahal.

Uji klinis fase tiga merupakan evaluasi pamungkas untuk melihat keampuhan (efficacy) dan keamanan (safety) dari kandidat vaksin. Apabila kandidat vaksin gagal untuk membuktikan keampuhan dan keamanannya, maka jelas tak akan mampu menjangkau konsumen.

Uji klinis juga merupakan hal yang sangat kompleks. Banyak faktor yang mempengaruhi tingkat keberhasilannya.

Dr.David B Fogel dari University California San Diego melakukan literature review terhadap 132 publikasi ilmiah yang dimuat di berbagai jurnal ilmiah internasional dan merangkum ada 10 faktor yang mempengaruhi tingkat keberhasilan pengembangan suatu terapi atau obat.

Tulisan tersebut dimuat di jurnal Elsevier Contemporary Clinical Trials Communication dengan judul 'Factors associated with clinical trials that fail and opportunities for improving the likelihood of success: A review'  yang dipublikasikan 7 Agustus 2018 silam.

Berikut adalah faktor-faktor tersebut yang CNBC Indonesia rangkum untuk pembaca :

1. Kegagalan Membuktikan Keampuhan dan Keamanan

Faktor yang paling signifikan membuat suatu uji klinis gagal adalah suatu kandidat obat atau vaksin/obat tak bisa membuktikan keampuhan dan keamanannya. Studi tersebut mengatakan dari 640 uji klinis tahap III pengembangan suatu teraputik, sebanyak 54% gagal dalam fase pengembangan klinis. 

Sebanyak 57% gagal karena tak terbukti ampuh dan 17% gagal karena tak memenuhi kaidah keamanan yang sudah ditetapkan.

2. Dampak Keuangan

Mengingat waktunya lama dan belum tentu berhasil, kebanyakan uji klinis gagal karena tak mendapatkan cukup pendanaan. Biaya yang dibutuhkan untuk mengembangkan suatu terapi dari tahap penemuan hingga masuk pasar diperkirakan mencapai lebih dari US$ 2,5 miliar (Rp 36,25 triliun).

Sebanyak US$ 1,5 miliar untuk ongkos melakukan uji klinis, dan sisanya berupa kehilangan kesempatan untuk investasi yang lain. Apabila fokus pada uji klinis tahap III, Pharmaceutical Research and Manufacturers of America memperkirakan ongkos uji klinis tahap ini mencapai US$ 42.000 per peserta atau pasien pada 2013.

Dari total 600.000 pasien yang terlibat dalam 1.680 uji klinis tahap tiga di tahun tersebut total dana yang dirogoh mencapai US$ 10 miliar atau setara dengan Rp 145 triliun dengan nilai sekarang. Ini jelas biaya yang besar dengan risiko yang tinggi.

3. Pemilihan Kriteria

Keberhasilan uji klinis obat juga sangat tergantung dari kriteria pemilihan pasien atau relawan. Investigator atau para peneliti harus benar-benar mempertimbangkan kriteria yang dipilih.

Jika pasien atau peserta uji klinis suatu pengobatan memiliki penyakit bawaan (komorbid), maka risiko tingkat keamanannya menjadi tinggi. Sehingga investigator harus memilih peserta yang kondisinya stabil setidaknya untuk 3-4 bulan.

Namun hal ini akan sangat susah karena berarti membatasi populasi sampel menjadi lebih sedikit dan bisa berujung pada konklusi yang tidak representatif maupun komprehensif.

4. Rekrutmen Peserta

Uji klinis membutuhkan banyak partisipasi dari peserta, sehingga proses rekrutmen seringkali menemui kendala. Dalam pengujian obat, calon relawan berharap agar mendapat manfaat berupa kesehatan. 

Namun di sisi lain ini juga menjadi risiko bagi calon relawan jika uji klinis tersebut gagal karena masalah keamanan. Sehingga butuh adanya insentif atau remunerasi. Masalahnya apabila insentif yang ditawarkan terlalu besar, maka calon relawan akan mengasosiasikannya dengan risiko yang tinggi dan menjadi enggan untuk ikut serta.

Sebanyak 25% uji klinis untuk terapi kanker gagal di AS karena tidak memenuhi jumlah sampel. Proses rekrutmen banyak relawan juga membutuhkan waktu yang lama kadang bisa bertahun-tahun sehingga secara normal pengembangan obat atau vaksin kadang bisa sampai puluhan atau belasan tahun.

5. Biaya Lain-lain

Masih seputar rekrutmen, agar rekrutmen berjalan dengan cepat dibutuhkan adanya komunikasi dan informasi yang sifatnya seperti pemasaran. Jelas ini menjadi biaya tambahan selain ongkos set up lokasi pengujian dan tetek bengeknya.

6. Kekhawatiran Peserta

Perekrutan dan retensi pasien dipengaruhi secara negatif ketika pasien khawatir ditempatkan ke kelompok kontrol daripada menerima obat studi aktif. Sebagian dari efek ini mungkin disebabkan oleh pasien yang memiliki pengetahuan yang minim tentang plasebo atau pengobatan spesifik apa yang diberikan pada kelompok kontrol.

Untuk pasien dengan prognosis yang buruk, perhatian mungkin berpusat pada tidak adanya pengobatan yang efektif sama sekali.

7. Proses Rekrutmen yang Buruk & Adanya Dropout

Proses rekrutmen memang jadi faktor penting yang seringkali memiliki banyak permasalahan rumit. Ketika di suatu daerah jumlah sampel yang direkrut terlalu sedikit, maka sponsor atau pengembang obat akan beralih ke lokasi lainnya guna memenuhi kuota atau sampel minimum yang sudah ditetapkan. Tentu saja ini kaitannya dengan ongkos lagi.

8. Penggunaan Pengukuran Kuantitatif

Merumuskan daftar faktor yang perlu dipertimbangkan saat merancang dan melaksanakan uji klinis dapat memberikan dasar untuk hasil yang lebih baik. Namun, tidak semua faktor sama pentingnya.

Kerangka kerja matematika yang terstruktur dengan baik mutlak diperlukan untuk mencapai outcome yang diinginkan. Misalnya, meningkatkan kecepatan pendaftaran mengarah pada jumlah relawan yang dropout menjadi lebih rendah dan berakhir pada kekuatan statistik yang lebih baik, yang ujungnya akan meningkatkan keyakinan terhadap hasil.

Sebaliknya, perekrutan yang lambat secara konsisten dapat menunjukkan masalah dalam kriteria inklusi / eksklusi peserta yang harus ditangani dengan mengubah protokol.

Pendaftaran dapat dipercepat dengan mengeluarkan uang untuk perekrutan, baik untuk iklan maupun dengan menyediakan personel yang ramah. Dengan demikian, ada trade-off langsung antara kecepatan pendaftaran dan biaya pelaksanaan uji coba.

9. Keuangan Peserta

Dalam melaksanakan uji klinis banyak lokasi atau site disediakan. Namun seringkali peserta atau pasien harus mengunjungi lokasi tersebut. Apabila lokasinya jauh dan akses transportasinya bermasalah tentu ini akan jadi faktor yang membebani bagi peserta uji.

10. Permasalahan Waktu Peserta

Uji klinis tak hanya menyita waktu pengembang obat atau vaksin tetapi juga peserta uji. Peserta harus merelakan datang ke lokasi uji dan tidak bekerja. Ini yang juga menjadi faktor pentingnya insentif serta pemilihan lokasi yang tepat agar rekrutmen bisa berjalan cepat serta tidak membebani peserta uji. 

Fokus ulasan literatur di atas memang lebih ke obat. Namun framework tersebut sebenarnya masih relevan digunakan dalam konteks pengembangan dan uji klinis vaksin. Secara umum jika diambil benang merahnya, keberhasilan uji klinis vaksin atau obat akan sangat tergantung pada faktor keampuhan dan keamanan obat itu sendiri, masalah finansial sponsor, desain studi hingga psikologis.

Asumsikan faktor-faktor seperti desain studi hingga permasalahan finansial bisa ditangani, tetap saja ada variabel yang susah untuk dikendalikan seperti efficacy dan safety serta masalah psikologis tadi. Inilah tantangan yang dihadapi AstraZeneca dan juga pengembang vaksin lainnya saat ini. Huft, kompleks ya...

Oleh karena itu, berharap pada vaksin memang sah-sah saja. Namun ada cara lain yang lebih sederhana dan mudah dilakukan untuk menekan pandemi yaitu dengan menggunakan masker di ruang publik, menerapkan pola hidup higienis hingga menjaga jarak aman. 

TIM RISET CNBC INDONESIA


(twg/twg)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Perbedaan Gejala Omicron di Orang yang Sudah Vaksin & Belum

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular