Bikin Vaksin Covid-19 Pakai Cara Lama vs Modern, Untung Mana?

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
04 September 2020 14:54
cover topik/dunia berlomba mencari vaksin virus corona dalam/Aristya Rahadian Krisabella
Foto: cover topik/dunia berlomba mencari vaksin virus corona dalam/Aristya Rahadian Krisabella

Jakarta, CNBC Indonesia - Untuk menyelamatkan umat manusia dari ancaman pandemi Covid-19 dan mengembalikan kehidupan normal seperti sediakala, berbagai jenis vaksin terus dikembangkan baik dengan cara konvensional maupun modern.

Perbedaan vaksin konvensional dan modern terletak pada platform yang digunakan. Sampai saat ini, cara konvensional pengembangan vaksin masih menjadi yang paling umum digunakan di dunia. Vaksin konvensional telah digunakan untuk penyakit mulai dari cacar air hingga kanker.

Mengutip review Debby van Riel dan Emmie de Wit yang dipublikasikan di jurnal ilmiah Nature, vaksin konvensional menggunakan teknologi virus yang dilemahkan hingga produksi protein antigen dari virus.

Sementara vaksin modern yang disebut dalam tulisan tersebut sebagai next generation vaccine platform merupakan vaksin yang dikembangkan menggunakan platform virus yang direkayasa genetik, hingga penggunaan materi genetik seperti DNA dan RNA.

Vaksin konvensional yang menggunakan virus atau patogen yang telah dilemahkan sudah tidak dapat lagi memperbanyak diri di dalam tubuh inang sehingga tidak mampu menimbulkan infeksi. Hanya saja untuk mendapatkan respons imun yang diinginkan membutuhkan semacam booster yang disebut sebagai adjuvant.

Berbeda dengan virus inaktif sebagai vaksin, live-attenuated virus masih mampu menginfeksi inang tetapi dengan kondisi ringan. Live attenuated virus dapat diproduksi dengan melakukan kultur virus berulang-ulang hingga agen penyebab penyakit itu kehilangan kemampuan menimbulkan penyakitnya.

Pada prinsipnya virus ini akan dikenali oleh tubuh sebagai benda asing. Ketika ada invasi benda asing ke dalam tubuh, maka respons imun akan bangkit dan antibodi serta respons kekebalan tubuh lainnya dapat aktif sehingga segera dapat memerangi patogen.

Konsep ini diadopsi dalam vaksinasi. Jadi virus yang dilemahkan tadi diberikan kepada seseorang sehingga ketika orang tersebut terpapar ke patogen yang sama, sistem kekebalan tubuhnya sudah siap dan bisa terhindar dari penyakit.

Namun dalam perkembangannya, vaksin tidak semuanya dibuat dengan virus atau patogen utuh. Tak jarang vaksin juga dikembangkan dengan hanya mengambil bagian dari virus yang disebut antigen sebagai pemicu penyakit. 

Antigen ini biasanya berupa protein dari virus atau bentuk lain yang menyerupai virus tetapi tidak mengalami replikasi (virus like particles). Karena tidak bisa menginfeksi penggunaan protein antigen ini baik yang dimurnikan dari virus maupun diproduksi dengan rekayasa genetika mampu menghasilkan respons kekebalan tubuh yang dimau dan aman.

Kelemahan dari penggunaan vaksin konvensional adalah vaksin harus diproduksi dengan fasilitas laboratorium yang tingkat keamanannya tinggi yakni Basic Safety Level 3 (BSL 3) terutama jika menggunakan virus utuh sebagai vaksin.

Sehingga dalam proses produksi harus diuji keamanannya secara berlapis untuk memastikan bahwa virus yang sudah dilemahkan tadi kembali memiliki kemampuan untuk menginfeksi. Namun teknologi ini cenderung sudah well established dan telah digunakan sejak lama.

Untuk vaksin yang menggunakan platform protein antigen seringkali membutuhkan adjuvant untuk meningkatkan respons kekebalan tubuh sesuai yang diharapkan. Oleh karena itu secara ongkos untuk melakukan imunisasinya tentu berbeda.

van Riel & de Wit.(2020).Sumber : van Riel & de Wit.(2020)."Next-generation vaccine platforms for COVID-19".Nature

Berbeda dengan platform konvensional, vaksin modern banyak menggunakan teknologi yang lebih canggih dan modern seperti rekayasa genetika. Pada beberapa kasus vaksin yang menggunakan virus yang telah direkayasa juga digunakan.

Virus tersebut bukanlah patogen penyebab penyakit yang ingin dicegah, melainkan jenis virus lain yang didesain sebagai vektor atau pembawa materi genetik virus penyebab penyakit.

Kemudian ketika diinjeksi virus tersebut akan menuju sel target dan materi genetik yang dibawanya akan dibentuk menjadi protein antigen. Selanjutnya antigen ini akan memicu respons kekebalan tubuh orang yang divaksinasi.

Platform ini disebut juga dengan viral vector. Berdasarkan review Debby van Riel dan Emmie de Wit, viral vector ada dua jenis yaitu ada yang bisa bereplikasi dan ada yang tidak bisa bereplikasi atau memperbanyak diri.

Pada kasus vaksinasi dilakukan menggunakan vektor replicating viral vector, dosis tunggal diharapkan mampu memicu respons kekebalan tubuh yang mencukupi lantaran setelah virus tersebut dirakit kembali di dalam sel inang dan membawa materi genetik patogen tersebut akan menginfeksi sel tetangganya sehingga produksi antigen jadi lebih banyak.

Dalam kasus pengembangan vaksin Covid-19, platform asam nukleat berupa DNA dan RNA juga digunakan dan menjadi salah satu kandidat vaksin yang paling awal diuji klinis ke manusia. 

Vaksin DNA atau RNA biasanya tidak diinjeksikan secara 'telanjang' melainkan diselubungi dengan semacam 'kapsul' yang berukuran nano (ultra mikroskopik) dari jenis lemak tertentu sehingga sering disebut sebagai Lipid Nano Particle (LNP).

Setelah orang diimunisasi dengan vaksin ini, biasanya DNA atau RNA yang membawa kode genetik berupa antigen tersebut 'diterjemahkan' menjadi protein antigen yang bisa memicu respons kekebalan tubuh.

Platform ini memiliki keunggulan karena hanya membutuhkan sekuens atau urutan DNA/RNA dari gen pengkode protein antigen target. Selain itu waktu produksinya juga bisa dipercepat, berbeda dengan produksi vaksin yang menggunakan virus utuh karena harus membiakkan virus dalam kultur sel.

Meski memiliki keunggulan, platform vaksin DNA/RNA juga punya kelemahan seperti pada tahapan untuk produksi skala masif yang membutuhkan infrastruktur produksi dan distribusi yang mahal seperti cold storage chain untuk menjaga stabilitas vaksin terutama DNA atau RNA karena harus dipreservasi pada suhu tertentu dan biasanya di bawah nol derajat celcius.

Beberapa kandidat vaksin yang saat ini tengah diuji klinis menggunakan platform konvensional adalah kandidat vaksin Sinovac yang menggunakan virus inaktif. Sementara untuk kandidat vaksin AstraZeneca yang menggunakan viral vector serta Moderna yang menggunakan RNA keduanya tergolong kandidat vaksin dengan platform modern.

Pada akhirnya setiap platform baik konvensional maupun modern memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing. Namun terlepas dari platform mana yang harus dipilih yang lebih utama adalah vaksin tersebut terbukti efektif dan aman serta bisa memberikan perlindungan dalam waktu lama.

Soal vaksinasi yang dilakukan untuk menciptakan herd immunity ketika suatu populasi menjadi kebal terhadap penyakit, strategi pemilihan vaksin haruslah didasarkan pada banyak hal dan tak melupakan caranya dengan vaksinasi masal.

Vaksinasi masal ini dapat diwujudkan dengan melakukan kolaborasi dengan berbagai pihak mulai dari pemerintah, swasta, investor, institusi riset hingga akademisi seperti yang sudah dilakukan selama pandemi Covid-19 berlangsung.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(twg/roy)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Heboh Vaksin AstraZeneca: 6 Negara Setop Pakai, Pembelaan WHO

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular