Google 'Ogah' Dipaksa Bayar Konten Berita di Australia, Why?

Yuni Astutik, CNBC Indonesia
17 August 2020 16:15
FILE - Google's headquarters in Mountain View, Calif., is shown Thursday, Jan. 3, 2013. Google has decided that most of its 200,000 employees and contractors should work from home through next June, a sobering assessment of the pandemic's potential staying power from the company providing the answers for the world's most trusted internet search engine. The remote-work order issued Monday, July 27, 2020, by Google CEO Sundar Pichai also affects other companies owned by Google's corporate parent, Alphabet Inc. It marks a six-month extension of Google's previous plan to keep most of its offices closed through the rest of this year.

(AP Photo/Marcio Jose Sanchez, File)
Foto: Google (AP/Marcio Jose Sanchez)

Jakarta, CNBC Indonesia - Alphabet Inc, induk raksasa teknologi asal Amerika Serikat (AS) Google, menyatakan UU Antimonopoli yang diusulkan diĀ Australia akan berdampak buruk kepada content creator dan operator saluran. Diketahui, UU itu memaksa perusahaan teknologi, termasuk Google, membayar berita yang muncul di situs media sosial.

Seperti dilansir Reuters pada Senin (17/8/2020), Google menyatakan, UU yang diusulkan pada bulan lalu itu akan membantu perusahaan media besar secara artifisial menaikkan peringkat pencarian mereka, memikat lebih banyak pemirsa ke platform mereka, dan memberi mereka keuntungan yang tidak adil atas kontributor kecil yang menjalankan situs web atau saluran YouTube milik mereka sendiri.

Layanan video YouTube memungkinkan individu dan perusahaan membuat saluran yang menampilkan iklan yang menghasilkan pendapatan bagi mereka dan YouTube.

Google menyatakan UU itu kemungkinan juga mewajibkan untuk memberikan data rahasia kepada firma berita kelas kakap tentang sistem yang dapat mereka gunakan untuk mencoba meraih peringkat lebih tinggi di YouTube. Hal itu akan berakibat pada lebih sedikit penayangan untuk konten bisnis kecil.



"Undang-undang ini tidak hanya memengaruhi cara Google dan YouTube bekerja dengan bisnis media berita, undang-undang ini juga akan mepengaruhi semua pengguna di Australia," ujar Direktur Pelaksana Google Australia, Mel Silva dalam sebuah artikel berjudul "Surat terbuka untuk warga Australia" sebagaimana dilaporkan Reuters.

Pada akhir bulan lalu, Pemerintah Australia mengungkapkan tujuan dari UU ini adalah mewajibkan perusahaan teknologi seperti Google dan Facebook Inc membayar perusahaan media untuk konten berita.

Seperti diketahui, pendapatan iklan perusahaan media telah anjlok di era internet. Untuk setiap 100 dolar Australia atau setara US$ 71,93 atau setara dengan Rp 1,04 juta yang dihabiskan untuk iklan online di Australia. Nilai itu tidak termasuk iklan baris yang hampir sepertiganya masuk ke Google dan Facebook. Angka ini berdasarkan perkiraan pemerintah.

Hingga berita ini diturunkan, Komisi Persaingan dan Konsumen Australia, otoritas pengawas persaingan di Negeri Kangguru belum menanggapi komentar dari Google.


(miq/miq)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kena Badai Juga, Induk Usaha Google PHK 12 Ribu Karyawan

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular