
Maaf, Lab yang Cuma Periksa 100-200 Spesimen Lebih Baik Tutup

Jakarta, CNBC Indonesia - Kepala Pusat Laboratorium Diagnostik dan Riset Penyakit Infeksi Universitas Andalas Andani Eka Putra memiliki penilaian tersendiri terhadap laboratorium yang berperan dalam pemeriksaan spesimen dengan metode PCR. Menurut dia, ada sejumlah masalah dalam pemeriksaan spesimen dengan metode tersebut.
"Kalau ada yang cuma periksa 100-200 (spesimen) mending tutup saja karena harus ada komitmen laboratorium yang dibangun untuk masyarakat. Saya bilang pada Pak Doni (Ketua Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo) 100-200 (spesimen) mending merger saja. Yang parah lagi quality control-nya banyak yang tidak mengerti," kata Andani dalam Podcast Energi DI's Way milik Dahlan Iskan, Sabtu (18/07/2020).
Ia menjelaskan, satu alat PCR bisa memeriksa hingga 770 spesimen per 14 jam dalam satu hari dengan dua orang operator dan satu orang operator cadangan. Jumlah ini bisa lebih banyak jika ada penambahan jam operasional. Alat PCR bisa mengeluarkan hasil dengan perkiraan waktu 1,5 jam. Tahapan yang membutuhkan waktu lama adalah isolasi untuk RNA.
Untuk meningkatkan kapasitas bukan hanya dibutuhkan jumlah alat PCR yang banyak, melainkan juga ruang yang luas karena laboratorium terbagi dalam dua bagian.
Laboratorium Diagnostik dan Riset Penyakit Infeksi di Universitas Andalas menjadi salah satu laboratorium yang berhasil melakukan pemeriksaan secara masif menggunakan PCR dan tidak mengandalkan rapid test. Rapid test tidak diandalkan karena hasilnya kurang akurat. Bahkan saat ini laboratorium Universitas Andalas bisa memeriksa hingga 3.000 spesimen dalam satu hari.
"Pesantren menelpon saya, tanya biayanya dan saya bilang gratis. Kemudian 1.000 orang dari pesantren itu dilakukan swab, bagi kita 1.000 gak masalah, sebenarnya bisa saja 2.500 tidak masalah," kata Andani.
Bahkan baru-baru ini, laboratorium yang dikomandoinya membantu beberapa provinsi lain seperti 1.000 sampel dari Kalimantan Selatan yang bisa diselesaikan dalam satu hari. Selain Kalsel, dia juga membantu pemeriksaan spesimen di Sumatra Utara, Jambi, dan Sulawesi Tenggara.
"Kita bekerja di laboratorium saya sampaikan ini untuk kemanusiaan dan bagian dari jihad. Yang penting alur berpikir, reward juga harus diberikan pada pekerja laboratorium, dan saya berikan honor saya ke dia, honor pribadi untuk yang bekerja," ujar Andani.
Ia mengatakan solusi dalam menghadapi Covid-19 ini hanyalah memutuskan rantai penularan. Ada dua cara yang bisa dilakukan. Pertama, edukasi. Kedua, pemeriksaan masif. Namun kenyataannya, protokol Covid-19 sulit diterapkan. Masyarakat, menurut dia, banyak yang tidak patuh dan seringkali gagal paham.
Soal rapid test

Sumbar menjadi salah satu provinsi yang berhasil melakukan pemeriksaan secara masif menggunakan PCR dan tidak mengandalkan rapid test karena hasilnya kurang akurat.
"Tanggal 25 maret saya diminta rekomendasi oleh pak gubernur (Gubernur Sumbar Irwan Prayitno) terkait rapid test. Saya bilang tidak merekomendasikan rapid test dan pak gubernur setuju. Argumennya, tidak ada data independen tentang validitas rapid test," kata Andani.
Ia menjelaskan rapid test tidak bisa mendeteksi virus corona baru penyebab Covid-19 pada satu minggu pertama dan tingkat akurasinya hanya 20%. Sehingga jika ada 10 orang melakukan tes di minggu pertama, hasilnya pasti negatif. Ini yang justru berbahaya. Rapid test merupakan deteksi antibodi, tetapi bisa saja protein virus ini mirip dengan antibodi yang diproduksi manusia.
Hal itu bisa menyebabkan reaksi silang sehingga hasilnya pisa positif palsu ataupun negatif palsu. Sementara untuk minggu kedua, tingkat akurasi hanya 60%, jika ada 10 orang positif hanya enam yang positif, maka empat orang lainnya lolos. Yang berbahaya jika yang negatif palsu ini dilepaskan padahal sudah terkena, dan malah menjadi sumber penularan. Di masa pandemi ini dibutuhkan diagnosa akurat untuk penanganan yang tepat.
"Kalau satu pemerintah daerah mau berhasil jalan yang instan adalah PCR dan buang rapid test. Karena ada risiko lolos tadi, rapid test idealnya dua kali periksa tapi kalau sudah sekali mana mau mereka tes lagi?," ujarnya.
(miq/miq)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Sering Disepelekan, Covid-19 Omicron Berbahaya Bagi Orang Ini