'Marah Gegara Sri Mulyani Pajaki Netflix Cs, AS Lebay!'

Lidya Julita S, CNBC Indonesia
03 June 2020 15:13
Presiden Donald Trump berjalan dari gerbang Gedung Putih untuk mengunjungi Gereja St. John di seberang Taman Lafayette.  (Foto AP / Patrick Semansky)
Foto: Presiden Donald Trump berjalan dari gerbang Gedung Putih untuk mengunjungi Gereja St. John di seberang Taman Lafayette. (Foto AP / Patrick Semansky)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah secara resmi akan melakukan penarikan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 10% kepada perusahaan digital yang beroperasi di Indonesia. Ini sejalan dengan dirilisnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 48 tahun 2020 yang mulai berlaku pada 1 Juli 2020.

Dengan demikian, maka pemerintah akan memiliki kewenangan untuk menarik pajak perusahaan over the top seperti Facebook, Netflix hingga Zoom.

Ternyata, langkah Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati tersebut mendapatkan protes dari Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR) menuliskan bahwa Trump marah dengan rencana tersebut dan tidak segan-segan memberikan hukuman jika tetap melakukan.

Direktur Eksekutif MUC Tax Research Institute Wahyu Nuryanto mengatakan, pernyataan yang diberikan oleh AS tersebut terlalu berlebihan. Sebab, ia menilai pemajakan atas transaksi elektronik merupakan isu lama yang tidak hanya menjadi perhatian Indonesia tapi banyak negara di dunia.

"Sektor digital adalah sektor yang sangat potensial untuk dipajaki karena justru booming di tengah pembatasan sosial. Jadi AS terlalu lebay, menurut saya," ujarnya kepada CNBC Indonesia, Rabu (3/6/2020).

"Jadi terlalu kerdil jika kemudian AS menganggap kebijakan ini mendiskriminasi para pelaku usahanya, yang memang mayoritas OTT dari sana. Apalagi kalau sampai mengancam untuk membalas dengan mengenakan tarif pajak baru atas komoditas dari negara-negara yang menerapkan pajak digital, itu reaksi yang berlebihan yang dapat memperparah perang dagang," tambahnya.

Menurutnya, OECD memang menganjurkan untuk tidak mengenakan PPh atas transaksi digital sebelum konsensus global dicapai, tetapi juga tidak melarang setiap negara untuk menerapkan temporary measures misalnya dengan pengenaan digital service tax atau pun PPN.

"Jadi tidak masalah sebenarnya Indonesia mengenakan PPN atau Pajak Transaksi Elektronik (PTE) seperti yang juga diterapkan di banyak negara, seperti India, Inggris, Australia, Jepang, Korea dan lain-lain," jelasnya.

Apalagi, di tengah kondisi saat ini perusahaan digital tidak terpukul seperti perusahaan konvensional lainnya yang juga berpengaruh ke penurunan pendapatan negara. Terutama saat ada kebijakan pembatasan sosial dan work from home (WFH) yang mengharuskan kerja dari rumah sehingga produk digital menjadi pilihan.

"Jadi wajar kalau kemudian pemerintah mencari sumber-sumber pajak baru di sektor-sektor ekonomi yang memang selama ini belum terjamah oleh sistem perpajakan. Yang potensial tentu saja sektor ICT (information, communication, and Technology) atau yang karakteristik bisnisnya mengandalkan akses digital atau daring," tegasnya.

(dru) Next Article Tanpa Lelah! Sri Mulyani Kejar Terus Pajak Netflix-Spotify

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular