Terheboh di 2019

Ricuh Tolak Hasil Pemilu, Akses ke WhatsApp & Medsos Dibatasi

Arif Budiansyah, CNBC Indonesia
01 January 2020 16:14
Ricuh Tolak Hasil Pemilu, Akses ke WhatsApp & Medsos Dibatasi
Foto: Demo 22 Mei Ricuh di depan Bawaslu, Rabu (22/5/2019). (Foto: CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pada 22 Mei 2019, pemerintah melakukan pembatasan akses terhadap media sosial seperti Facebook, WhatsApp, dan Instagram. Pembatasan ini bertujuan untuk mencegah penyebaran informasi hoax yang tak terkendali karena aksi massa.

Alasan kuat pemerintah lewat Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) dan Menteri Koordinator Politik Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) yaitu untuk membatasi provokator mem-posting video, meme, dan foto terutama peredaran hoax tentang demonstrasi penolakan atau ketidakpuasan terhadap hasil Pilpres 2019 yang disebarkan melalui Facebook, Instagram, Whatsapp.

"Sementara untuk hindari provokasi kita melakukan pembatasan akses di media tertentu agar tidak diaktifkan. Akses media sosial untuk jaga hal-hal negatif yang disebarkan masyarakat," kata Menkopolhukam saat itu Jenderal TNI (Purn) Wiranto di Jakarta, Rabu (22/5/2019).

"Pembatasan dilakukan hingga 2-3 hari ke depan, artinya bisa sampai tanggal 25 Mei 2019. Jadi berkorban 2-3 hari tidak bisa lihat gambar tidak apa-apa, ini semata untuk keamanan nasional," sambungnya

Menkominfo ketika itu Rudiantara, mengatakan, media sosial dan layanan perpesanan menjadi media utama untuk penyebaran hoax. Modusnya, tak lain adalah postingan tak benar di media sosial.

"Fitur-fitur media sosial tidak semuanya dan messaging system juga. Kita tahu modusnya adalah posting di medsos. FB [Facebook], Instagram dalam bentuk video, meme, foto," papar Rudiantara.

"Kemudian screen capture hoax itu disebarkan melalui WhatsApp. Dan karena viralnya makanya kita batasi," tutur Rudiantara.

Lebih lanjut menurut Menkominfo, pembatasan terhadap akses sosial media akan memperlambat download dan upload video saja, serta pembatasan ini bersifat bertahap dan sementara. 

Menkopolhukam menambahkan bahwa kebijakan ini diambil karena ada skenario untuk melakukan kekacauan, menciptakan antipati kepada pemerintahan yang sah dan menyerang aparat keamanan, sehingga pada akhirnya untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan dan agar masyarakat mendapatkan informasi yang akurat.

Menkopolhukam menjelaskan bahwa tindakan ini berlandaskan Undang-Undang (UU) No 19 tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yaitu untuk meningkatkan literasi masyarakat akan kemampuan teknologi digital serta manajemen konten serta pembatasannya.

[Gambas:Video CNBC]

Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) meminta masyarakat segera menghapus dan tak menyebarluaskan atau memviralkan konten negatif aksi unjuk rasa Rabu, (22/5/2019). 

Hindari untuk menyebarkan video, foto dan gambar aksi kekerasan, kerusuhan hingga hoaks video lama yang diberikan narasi baru berisi ujaran kebencian.

"Imbauan ini dilakukan memperhatikan dampak penyebaran konten berupa foto, gambar atau video yang dapat memberi oksigen bagi tujuan aksi kekerasan, yaitu membuat ketakutan di tengah masyarakat, ujar Plt. Kepala Biro Humas Kominfo Ferdinandus Setu, dalam keterangan resmi, Rabu (22/5/2019).

Imbauan ini dilakukan memperhatikan dampak penyebaran konten berupa foto, gambar atau video yang dapat memberi oksigen bagi tujuan aksi kekerasan, yaitu membuat ketakutan di tengah masyarakat.

Kementerian Kominfo mengimbau semua pihak terutama warganet untuk menyebarkan informasi yang menyebarkan kedamaian serta menghindari penyebaran konten atau informasi yang bisa membuat ketakutan pada masyarakat ataupun berisi provokasi dan ujaran kebencian kepada siapapun.

"Konten video yang mengandung aksi kekerasan, hasutan yang provokatif serta ujaran kebencian berdasarkan suku, agama, ras dan antar-golongan (SARA) merupakan konten yang melanggar ketentuan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik," ujar Ferdinandus Setu.

Kementerian Kominfo terus melakukan pemantauan dan pencarian situs, konten dan akun dengan menggunakan mesin AIS dengan dukungan 100 anggota verifikator. Selain itu, Kementerian Kominfo juga bekerja sama dengan Polri untuk menelusuri dan mengidentifikasi akun-akun yang menyebarkan konten negatif berupa aksi kekerasan dan hasutan yang bersifat provokatif.

Kementerian Kominfo juga mendorong masyarakat untuk melaporkan melalui aduankonten.id atau akun twitter @aduankonten jika menemukan keberadaan konten dalam situs atau media sosial mengenai aksi kekerasan atau kerusuhan di Jakarta.

[Gambas:Video CNBC]

Ketika pembatasan media sosial yang dilakukan pemerintah Indonesia, tagar (tanda pagar) seperti  #whatsappdown dan #instagramdown pun menjadi trending topic worldwide.

Untuk mengatasi masalah sulitnya mengakses layanan ini, sejumlah netizen merekomendasikan penggunaan Virtual Private Network (VPN). Menurut mereka VPN bisa membuat pengguna mengakses media sosial dan layanan perpesanan seperti semula

Pengamat Teknologi, Heru Sutadi, juga mengomentari apa yang yang dilakukan pemerintah tidak efektif, karena memang pembatasan media sosial di internet bisa diakali dengan menggunakan VPN.

"Kalau kita lihat dampaknya tidak efektif," Kata Heru Sutadi, pengamat teknologi pada CNBC Indonesia, Rabu (23/5/2019). "Hal itu karena pengguna kemudian menggunakan VPN, untuk komunikasi ada menggunakan Telegram ketika akses ke WhatsApp dibatasi," tambahnya.

Heru menjelaskan bahwa keputusan ini tak tepat waktu karena mendadak dan berujung pada terhambatnya komunikasi dan transaksi perdagangan. Ia juga menegaskan bahwa pembatasan akses ini seharusnya dievaluasi, dipertimbangkan kembali.

"Jangan sampai sejarah menulis, di bawah Pak Jokowi dan Menkominfo (Menteri Komunikasi dan Informatika) Rudiantara kita memasuki masa kelam membatasi akses ke saluran informasi yang sesungguhnya dijamin UUD 45 Pasal 28 F," tegasnya.

Heru menyarankan jika mau diblokir seharusnya kepada orang yang memprovokasi, menyebar hoaks dan ujaran kebencian saja. Selain itu, pemerintah pun harus menjalankan UU ITE No. 19/2016. Karena pembatasan atau blokir tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan, dilakukan secara transparan dan setelah mendapat masukan yang cukup dari publik dan ahli. 

Kemenkominfo juga disarankan untuk memiliki standar operasional prosedur (SOP) pemblokiran dan pembatasan akses. "Kenapa baru sekarang, padahal kan jelang pemilu harusnya itu dilakukan agar pembelahan tidak kian tajam," ujarnya.

[Gambas:Video CNBC]



Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mengumumkan bahwa penggunaan internet yang sempat dibatasi karena aksi 22 Mei sudah kembali lancar dan tanpa hambatan. 

Menkominfo Rudiantara mengatakan situasi kerusuhan sudah kondusif sehingga pembatasan akses fitur video dan gambar pada media sosial dan instant messaging difungsikan kembali.

"Insya Allah antara jam 14.00-15.00 sudah bisa normal," kata Rudiantara dalam keterangan resmi, Sabtu (25/5), dikutip dari CNNIndonesia.com.
 
Rudiantara mengajak semua masyarakat pengguna media sosial, instant messaging maupun video file sharing untuk senantiasa menjaga dunia maya Indonesia digunakan untuk hal-hal yang positif.

"Ayo kita perangi hoaks, fitnah, informasi-informasi yang memprovokasi seperti yang banyak beredar saat kerusuhan," tambahnya.

Juru Bicara Kominfo Ferdinandus Setu membenarkan bawah penggunaan internet dan media sosial sudah kembali normal karena situasi nasional sudah kembali aman.

"Betul, internet dan medsos sudah kembali normal karena kondisi sudah kondusif dan aman," kata Ferdinandus.

[Gambas:Video CNBC]



Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular