
Wah, BPS Sebut Netflix Cs Ikut Bikin Ekonomi RI Loyo
Lidya Julita Sembiring, CNBC Indonesia
07 November 2019 13:50

Jakarta, CNBC Indonesia - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi sepanjang kuartal III-2019 sebesar 5,02%. Adapun realisasi ini lebih lambat dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 5,17% (YoY).
Deputi Bidang Neraca dan Analisis Statistik BPS Sri Soelistyowati mengatakan, ekonomi nasional tumbuh melambat karena beberapa motor penggeraknya juga melambat. Salah satu komponen pengeluaran yang melambat secara signifikan adalah pembentukan modal tetap bruto (PMTB) atau investasi. Selama kuartal III 2019, investasi hanya tumbuh 4,21% (YoY).
Dia menjelaskan, salah satu penyebab investasi turun adalah rendahnya investasi kekayaan intelektual. Di mana peranan perangkat lunak atau software di industri film meningkat, sementara film yang lolos sensor di bioskop jumlahnya turun 45%.
"Produk kekayaan intelektual menurun itu terkait software meningkat, tapi film yang lolos sensor mengalami pertumbuhan negatif, turun 45%. Turun lho, bukan melambat," ujarnya saat workshop statistik di Hotel Le Meridien, Jakarta, Kamis (7/11/2019).
Menurutnya, yang masuk dalam penghitungan PMTB hanya film yang lolos sensor dan tayang di bioskop. Sementara film-film melalui perangkat lunak atau aplikasi seperti layanan streaming film (Netflix,Iflix), hingga saat ini belum masuk hitungan BPS.
"Film yang konsep masuk PMTB yang lolos sensor menurun, tapi yang enggak lolos sensor ini meningkat. Jadi ini yang sebabkan investasi intelektual kita terkontraksi," jelasnya.
Dia pun mengakui, bahwa meningkatnya film melalui jaringan streaming ini karena teknologi yang semakin meningkat. Oleh karenanya, BPS berencana untuk bisa menangkap data transaksi digital (e-commerce).
"Ini yang jadi tantangan-tantangan kami ke depan memang. Untuk e-commerce belum bisa kami rilis karena yang belum rampung. Nanti kalau sudah rilis pasti akan kami beritahu," tegasnya.
Netflix memang lagi perhatian pemerintah terutama soal pajaknya. Menteri Keuangan Sri Mulyani Netflix dan perusahaan digital lainnya membayar pajak sesuai dengan bisnis yang mereka dapatkan dari Indonesia.
Sri Mulyani mengatakan pajak Netflix dan perusahaan digital lainnya merupakan pekerjaan rumah Indonesia karena ada perusahaan-perusahaan yang belum memiliki kantor fisik (permanen establishment) atau Badan Usaha Tetap (BUT).
Tidak ada BUT ini membuat pengumpulan penerimaan perpajakan menjadi terhalang oleh undang-undang Indonesia sendiri.
"Oleh karena itu dalam undang-undang yang kita usulkan selesai bahwa konsep mengenai ekonomi digital tidak memiliki BUT tetapi aktivitasnya banyak seperti yang saya sebutkan, maka mereka memiliki kehadiran ekonomis yang signifikan atau economy present yang signifikan. Oleh karena itu wajib membayar Pajak," jelas Sri Mulyani di Jakarta, Selasa (29/10/2019).
Sri Mulyani menambahkan Australia, Singapura sudah menerapkan dan mengutip pajak dari Netflix. Bahkan ada aturan bernama Netflix Tax.
"Jadi pasti kita akan bersungguh-sungguh dengan melihat volume aktivitasnya di sini meskipun belum ada undang-undangnya, tapi kami akan cari cara untuk tetap mendapatkan hak perpajakan kita," tambah Sri Mulyani.
(roy/roy) Next Article Neflix Uji Aturan Baru Streaming Film, Tak Bisa Nobar Lagi?
Deputi Bidang Neraca dan Analisis Statistik BPS Sri Soelistyowati mengatakan, ekonomi nasional tumbuh melambat karena beberapa motor penggeraknya juga melambat. Salah satu komponen pengeluaran yang melambat secara signifikan adalah pembentukan modal tetap bruto (PMTB) atau investasi. Selama kuartal III 2019, investasi hanya tumbuh 4,21% (YoY).
Dia menjelaskan, salah satu penyebab investasi turun adalah rendahnya investasi kekayaan intelektual. Di mana peranan perangkat lunak atau software di industri film meningkat, sementara film yang lolos sensor di bioskop jumlahnya turun 45%.
Menurutnya, yang masuk dalam penghitungan PMTB hanya film yang lolos sensor dan tayang di bioskop. Sementara film-film melalui perangkat lunak atau aplikasi seperti layanan streaming film (Netflix,Iflix), hingga saat ini belum masuk hitungan BPS.
"Film yang konsep masuk PMTB yang lolos sensor menurun, tapi yang enggak lolos sensor ini meningkat. Jadi ini yang sebabkan investasi intelektual kita terkontraksi," jelasnya.
Dia pun mengakui, bahwa meningkatnya film melalui jaringan streaming ini karena teknologi yang semakin meningkat. Oleh karenanya, BPS berencana untuk bisa menangkap data transaksi digital (e-commerce).
"Ini yang jadi tantangan-tantangan kami ke depan memang. Untuk e-commerce belum bisa kami rilis karena yang belum rampung. Nanti kalau sudah rilis pasti akan kami beritahu," tegasnya.
Netflix memang lagi perhatian pemerintah terutama soal pajaknya. Menteri Keuangan Sri Mulyani Netflix dan perusahaan digital lainnya membayar pajak sesuai dengan bisnis yang mereka dapatkan dari Indonesia.
Sri Mulyani mengatakan pajak Netflix dan perusahaan digital lainnya merupakan pekerjaan rumah Indonesia karena ada perusahaan-perusahaan yang belum memiliki kantor fisik (permanen establishment) atau Badan Usaha Tetap (BUT).
Tidak ada BUT ini membuat pengumpulan penerimaan perpajakan menjadi terhalang oleh undang-undang Indonesia sendiri.
"Oleh karena itu dalam undang-undang yang kita usulkan selesai bahwa konsep mengenai ekonomi digital tidak memiliki BUT tetapi aktivitasnya banyak seperti yang saya sebutkan, maka mereka memiliki kehadiran ekonomis yang signifikan atau economy present yang signifikan. Oleh karena itu wajib membayar Pajak," jelas Sri Mulyani di Jakarta, Selasa (29/10/2019).
Sri Mulyani menambahkan Australia, Singapura sudah menerapkan dan mengutip pajak dari Netflix. Bahkan ada aturan bernama Netflix Tax.
"Jadi pasti kita akan bersungguh-sungguh dengan melihat volume aktivitasnya di sini meskipun belum ada undang-undangnya, tapi kami akan cari cara untuk tetap mendapatkan hak perpajakan kita," tambah Sri Mulyani.
(roy/roy) Next Article Neflix Uji Aturan Baru Streaming Film, Tak Bisa Nobar Lagi?
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular