
Startup
Telkom Garap Cloud Gaming Lewat GameQoo, Mirip Google Stadia
Bernhart Farras, CNBC Indonesia
09 April 2019 16:37

Jakarta, CNBC Indonesia - Cloud gaming memang bukan hal baru dalam industri game. Produsen GPU (Graphical Processing Unit) Nvidia sudah lebih dulu menawarkannya melalui NVidoa RTX.
Namun, cloud gaming kembali hangat jadi pembicaraan ketika Google meluncurkan Stadia. Kemunculan ini membuat 'panas' Microsoft yang akan segera meluncurkan cloud gaming di acara E3 San Francisco pertengahan tahun ini. Tencent juga diisukan sedang menggarap bisnis cloud gaming.
Ternyata startup asal Indonesia juga sudah masuk dalam bisnis ini. Startup tersebut bernama GameQoo yang sebelumnya dikenal bernama Emago Cloud Gaming. Perusahaan ini didirikan tahun 2017.
GameQoo adalah sebuah produk yang dioperasikan di bawah Telkom yang memudahkan gamer bermain gime tanpa install di PC, tanpa membeli gime, dan tidak membutuhkan device khusus.
Produk ini dikembangkan oleh Izzuddin Al Azzam yang bertindak sebagai chief executive offiercer (CEO), Tesar Dayansah yang kini menjabat sebagai chief operations officer (COO), Anita Rahmawati yang menduduki posisi chief marketing officer (CMO) dan Nugroho Budi Wicaksono sebagai chief technology officer (CTO).
Izzuddin Al Azzam mengatakan pembentukan GameQoo berawal dari kesenangan dirinya bermain game. Waktu itu dia merupakan karyawan Telkom Serang. Untuk mengeksekusi ide cloud gaming dia mengajak Nugroho Budi Wicaksono. Dia bertemu Nugroho di Telkom Jakarta sebulan sebelum Telkom mengadakan Program Finding Founders untuk menumbuhkan corporate innovation.
"Berawal dari Saya pengen bisa main gim di IndiHome, ga cuma nonton tv dan dengerin musik," kata Azzam, di kantor GameQoo, Telkom Landmark Tower Jumat (5/4/2019). "Dulu Saya pakai internet IndiHome di kosan cuma buat main gim. Dengan GameQoo itu instan, ga perlu ribet-ribet lagi beli laptop mahal. Sekarang pakai laptop apa saja bisa."
Indihome adalah layanan Triple Play dari Telkom yang terdiri dari Telepon Rumah, Internet on Fiber (up to 100 Mbps) dan Interactive TV.
Program Finding Founders saat ini telah berubah menjadi Digital Amoeba. Program ini cukup unik dalam menjaring startup. Biasanya, startup jebolan venture capital, terdiri dari 2 sampai 3 orang penemu yang sudah memiliki kepemilikan dan wajib memiliki Minimum Viable Product (MVP) serta memperlihatkan potensi skalabilitas.
Sekarang Program Funding Founders telah berubah menjadi Digital Amoeba. Dengan bekal tersebut, para co-founder dapat mengirimkan profil startup ke venture capital dan menunggu balasan untuk kerja sama dalam pendanaan.
Jika sukses untuk di investasi berkisar dari pendanaan US$50.000 (Rp 702 juta) pada fase seed funding hingga US$5 juta pada fase early funding (Seri A/B), biasanya 5% - 20% kepemilikan saham startup akan diserahkan untuk investor pada setiap rondenya.
Bisnis cloud gaming memang cukup menjanjikan. Anita menjelaskan bahwa terdapat pasar 40-60 juta gamer dari 2017 hingga 2019. 3 tahun beroperasi, perusahaan telah memiliki 14 orang karyawan dan memiliki 6 rak server yang terdiri dari 3 rak server lama dan 3 rak server yang diperbaharui pada 2018, per server terdiri 5-9 server.
Hingga saat ini GameQoo telah berhasil menjaring 40 ribu dari HSI dan 17-18 ribu dengan total pengguna sebanyak 58 ribu yang terdaftar. Gim yang tersedia di playground gameQoo sudah lebih dari 47 dan akan bertambah 1 game setiap minggunya.
Namun, mengembangkan bisnis bisnis cloud gaming ternyata tak murah. Butuh peralatan tim, server, data center, software, network, bandwitch, lisensi gim dari publisher, pajak, dan kondisi infrasuktur serta edukasi terhadap target pasar. Manajemen mengaku sudah menghabiskan dana miliran rupiah untuk bisnis ini.
Secara umum, Azzam menjelaskan bahwa cloud gaming terbagi menjadi 2 jenis. Pertama yang seperti GameQoo yang menyediakan virtual machine dan gim yang tidak perlu di install gim. Kedua yang hanya menyediakan virtual machine dan gim nya harus tetap dibeli terlebih dahulu.
Saat ini, GameQoo secara garis besar memiliki 3 jenis paket harga untuk customer: yaitu Rp 50.000, Rp 100.000 dan dan 150.000 (premium).
Lalu bagaimana cara bisnis ini mendapatkan kuntungan? Ada beberapa pihak yang mendapat keuntungan dalam model bisnis GameQoo yaitu penyedia server (intel), data center (telkom) dan publisher gim. Untuk pembagian kepada publisher gim terbagi menjadi 2 bagian yaitu pembagian fixed dan bonus. Bonus dihitung dari waktu yang dihabuskan pengguna di gim tersebut.
Ditanya tentang Google Stadia, Azzam mengatakan ini jelas sebuah tantangan. "Namun ketika dia muncul Saya lihat mereka live di daerah mana, apakah mereka mengincar Asia? Ternyata saat ini cuma di Eropa dan AS saja."
"Saya sudah tahu kalau Google, Microsoft, dan Tencent mengembangkan ini sejak lama," kata Azzam. "Tapi kita pede karena kerjasama dengan Intel dari server dan Telkom dari segi network."
"Selain itu Google Stadia persyaratan (internet minimal) nya kan 20 mbps, sedangkan kita 4 mbps," tambahnya . "Karena kita gim-nya lebih dedicated dan bisa setting bandwidth. Jadi yang penting spesifikasi bandwith internet yang menentukan low atau high setting."
Hingga saat ini Google juga belum mengumumkan secara lengkap mulai dari harga hingga spesifikasi detil tentang platform gamingnya tersebut.
"Kita sudah cek semua provider di semua daerah di Indonesia pada fase 1 dan 2. Rata-rata provider internet menyediakan minimal 10 mbps," kata Anita. "Kita maksimum 16 mbps itu untuk full HD dan 60 fps"
Ia menjelaskan bahwa pemasukkan gim mayoritas lari ke luar negeri.
"Apa yang masuk ke kita? Hampir tidak ada," ujarnya.
"Cloud gaming harus ada di Indonesia. Karena revenue gim cuma 1,8% yang masuk Indonesia," kata Azzam. "Karena server gim ga ada yang di Indonesia, publisher gim luar negeri semua karena orang kita ga berani buat bikin gim AAA (gim spesifikasi tinggi), steam dan walletnya juga di luar semua."
Banyak nya justru income game dari iklan saja," kata Anita. "Banyak developer mobile (Indonesia) hidupnya hanya dari iklan."
(roy/roy) Next Article Bedah Kontribusi Startup di Masa Pandemi COVID-19
Namun, cloud gaming kembali hangat jadi pembicaraan ketika Google meluncurkan Stadia. Kemunculan ini membuat 'panas' Microsoft yang akan segera meluncurkan cloud gaming di acara E3 San Francisco pertengahan tahun ini. Tencent juga diisukan sedang menggarap bisnis cloud gaming.
Ternyata startup asal Indonesia juga sudah masuk dalam bisnis ini. Startup tersebut bernama GameQoo yang sebelumnya dikenal bernama Emago Cloud Gaming. Perusahaan ini didirikan tahun 2017.
Produk ini dikembangkan oleh Izzuddin Al Azzam yang bertindak sebagai chief executive offiercer (CEO), Tesar Dayansah yang kini menjabat sebagai chief operations officer (COO), Anita Rahmawati yang menduduki posisi chief marketing officer (CMO) dan Nugroho Budi Wicaksono sebagai chief technology officer (CTO).
Izzuddin Al Azzam mengatakan pembentukan GameQoo berawal dari kesenangan dirinya bermain game. Waktu itu dia merupakan karyawan Telkom Serang. Untuk mengeksekusi ide cloud gaming dia mengajak Nugroho Budi Wicaksono. Dia bertemu Nugroho di Telkom Jakarta sebulan sebelum Telkom mengadakan Program Finding Founders untuk menumbuhkan corporate innovation.
"Berawal dari Saya pengen bisa main gim di IndiHome, ga cuma nonton tv dan dengerin musik," kata Azzam, di kantor GameQoo, Telkom Landmark Tower Jumat (5/4/2019). "Dulu Saya pakai internet IndiHome di kosan cuma buat main gim. Dengan GameQoo itu instan, ga perlu ribet-ribet lagi beli laptop mahal. Sekarang pakai laptop apa saja bisa."
Indihome adalah layanan Triple Play dari Telkom yang terdiri dari Telepon Rumah, Internet on Fiber (up to 100 Mbps) dan Interactive TV.
Program Finding Founders saat ini telah berubah menjadi Digital Amoeba. Program ini cukup unik dalam menjaring startup. Biasanya, startup jebolan venture capital, terdiri dari 2 sampai 3 orang penemu yang sudah memiliki kepemilikan dan wajib memiliki Minimum Viable Product (MVP) serta memperlihatkan potensi skalabilitas.
Sekarang Program Funding Founders telah berubah menjadi Digital Amoeba. Dengan bekal tersebut, para co-founder dapat mengirimkan profil startup ke venture capital dan menunggu balasan untuk kerja sama dalam pendanaan.
Jika sukses untuk di investasi berkisar dari pendanaan US$50.000 (Rp 702 juta) pada fase seed funding hingga US$5 juta pada fase early funding (Seri A/B), biasanya 5% - 20% kepemilikan saham startup akan diserahkan untuk investor pada setiap rondenya.
Bisnis cloud gaming memang cukup menjanjikan. Anita menjelaskan bahwa terdapat pasar 40-60 juta gamer dari 2017 hingga 2019. 3 tahun beroperasi, perusahaan telah memiliki 14 orang karyawan dan memiliki 6 rak server yang terdiri dari 3 rak server lama dan 3 rak server yang diperbaharui pada 2018, per server terdiri 5-9 server.
Hingga saat ini GameQoo telah berhasil menjaring 40 ribu dari HSI dan 17-18 ribu dengan total pengguna sebanyak 58 ribu yang terdaftar. Gim yang tersedia di playground gameQoo sudah lebih dari 47 dan akan bertambah 1 game setiap minggunya.
Namun, mengembangkan bisnis bisnis cloud gaming ternyata tak murah. Butuh peralatan tim, server, data center, software, network, bandwitch, lisensi gim dari publisher, pajak, dan kondisi infrasuktur serta edukasi terhadap target pasar. Manajemen mengaku sudah menghabiskan dana miliran rupiah untuk bisnis ini.
Secara umum, Azzam menjelaskan bahwa cloud gaming terbagi menjadi 2 jenis. Pertama yang seperti GameQoo yang menyediakan virtual machine dan gim yang tidak perlu di install gim. Kedua yang hanya menyediakan virtual machine dan gim nya harus tetap dibeli terlebih dahulu.
Saat ini, GameQoo secara garis besar memiliki 3 jenis paket harga untuk customer: yaitu Rp 50.000, Rp 100.000 dan dan 150.000 (premium).
Lalu bagaimana cara bisnis ini mendapatkan kuntungan? Ada beberapa pihak yang mendapat keuntungan dalam model bisnis GameQoo yaitu penyedia server (intel), data center (telkom) dan publisher gim. Untuk pembagian kepada publisher gim terbagi menjadi 2 bagian yaitu pembagian fixed dan bonus. Bonus dihitung dari waktu yang dihabuskan pengguna di gim tersebut.
Ditanya tentang Google Stadia, Azzam mengatakan ini jelas sebuah tantangan. "Namun ketika dia muncul Saya lihat mereka live di daerah mana, apakah mereka mengincar Asia? Ternyata saat ini cuma di Eropa dan AS saja."
"Saya sudah tahu kalau Google, Microsoft, dan Tencent mengembangkan ini sejak lama," kata Azzam. "Tapi kita pede karena kerjasama dengan Intel dari server dan Telkom dari segi network."
"Selain itu Google Stadia persyaratan (internet minimal) nya kan 20 mbps, sedangkan kita 4 mbps," tambahnya . "Karena kita gim-nya lebih dedicated dan bisa setting bandwidth. Jadi yang penting spesifikasi bandwith internet yang menentukan low atau high setting."
Hingga saat ini Google juga belum mengumumkan secara lengkap mulai dari harga hingga spesifikasi detil tentang platform gamingnya tersebut.
"Kita sudah cek semua provider di semua daerah di Indonesia pada fase 1 dan 2. Rata-rata provider internet menyediakan minimal 10 mbps," kata Anita. "Kita maksimum 16 mbps itu untuk full HD dan 60 fps"
Ia menjelaskan bahwa pemasukkan gim mayoritas lari ke luar negeri.
"Apa yang masuk ke kita? Hampir tidak ada," ujarnya.
"Cloud gaming harus ada di Indonesia. Karena revenue gim cuma 1,8% yang masuk Indonesia," kata Azzam. "Karena server gim ga ada yang di Indonesia, publisher gim luar negeri semua karena orang kita ga berani buat bikin gim AAA (gim spesifikasi tinggi), steam dan walletnya juga di luar semua."
Banyak nya justru income game dari iklan saja," kata Anita. "Banyak developer mobile (Indonesia) hidupnya hanya dari iklan."
(roy/roy) Next Article Bedah Kontribusi Startup di Masa Pandemi COVID-19
Most Popular