
Startup
OJK & Asosiasi Bentuk 'BI Checking' Fintech, Buat Apa?
Bernhart Farras, CNBC Indonesia
07 February 2019 11:56

Jakarta, CNBC Indonesia - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) akan rilis pusat data fintech lending (Pusdafil).
Ini adalah upaya untuk memangkas tingkat penipuan, di mana cara kerjanya seperti Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) yang dahulu disebut BI Checking.
Wakil Ketua AFPI Sunu Widyatmoko menjelaskan Pusdafil masih dalam proses pengembangan yang kemungkinan prototipenya akan dirilis pada tahun ini. Mereka berharap seluruh perusahaan peer-to-peer lending (P2P lending) yang sudah terdaftar di OJK akan ikut untuk berkontribusi dan memanfaatkan layanan tersebut.
"Secara konsep mirip SLIK tapi ini khusus fintech lending. Prototipe sederhana [Pusdafil] mestinya bisa [dirilis pada tahun ini]. Nanti kontrolnya ada di AFPI dan OJK," kata Sunu ketika di konfirmasi oleh CNBC Indonesia melalui pesan singkat.
Sistem kerja Pusdafil: OJK akan menarik seluruh data transaksi dari semua penyelenggara fintech yang terdaftar. Setelah itu melalui sebuah wadah sistem informasi, OJK mengolah data tersebut dan mengirim informasi ke AFPI. Di mana anggota AFPI dapat mengakses pusat data tersebut untuk mengecek apakah calon peminjam bersangkutan memiliki indikasi penipuan, gagal bayar, atau sedang meminjam di lebih dari satu perusahaan.
Sunu mengatakan ada 3 hal utama dalam manajemen risiko penyaluran pinjaman Pusdafil:
Pertama, indikasi penipuan (fraud). Fraud yang dimaksud adalah transaksi pinjaman yang belum terjadi. Akan tetapi ada upaya pengajuan dengan menggunakan KTP yang terbukti tidak terdaftar di Ditjen Dukcapil.
Pada aplikasi Pusdafil, OJK dan AFPI dapat mengawasi apakah calon peminjam memiliki sejarah melakukan fraud atau tidak. Jika pernah, maka calon tidak akan diberi pinjaman.
"Bagaimana kita mengumpulkan informasi yang ada dari semua platform untuk menghindari adanya orang yang mencoba berhbohong dan upaya penipuan, sebab fraud menjadi masalah yang relatif tinggi," ujarnya.
Kedua, daftar hitam peminjam atau biasa disebut blaclist sharing. Ini mendata pengguna yang tidak membayar pinjamannya lebih dari 90 hari. Meskipun begitu, peminjam bisa keluar dari daftar tersebut apabila melunasi hutangnya. Ini akan di proses oleh AFPI saja.
Ketiga, memeriksa peminjam yang melakukan pinjaman di lebih dari 1 fintech lending. Data tersebut menjadi pertimbangan perusahaan untuk meloloskan pengajuan pinjaman dari calon peminjam. Hal ini diasari oleh analisa bahwa peminjam yang meminjam di lebih dari satu perusahaan dapat meningkatkan risiko penyaluran pinjaman.
[Gambas:Video CNBC]
(roy/roy) Next Article 90 Hari Nunggak, Fintech Tak Boleh Lagi Tagih Nasabah
Ini adalah upaya untuk memangkas tingkat penipuan, di mana cara kerjanya seperti Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) yang dahulu disebut BI Checking.
Wakil Ketua AFPI Sunu Widyatmoko menjelaskan Pusdafil masih dalam proses pengembangan yang kemungkinan prototipenya akan dirilis pada tahun ini. Mereka berharap seluruh perusahaan peer-to-peer lending (P2P lending) yang sudah terdaftar di OJK akan ikut untuk berkontribusi dan memanfaatkan layanan tersebut.
Sistem kerja Pusdafil: OJK akan menarik seluruh data transaksi dari semua penyelenggara fintech yang terdaftar. Setelah itu melalui sebuah wadah sistem informasi, OJK mengolah data tersebut dan mengirim informasi ke AFPI. Di mana anggota AFPI dapat mengakses pusat data tersebut untuk mengecek apakah calon peminjam bersangkutan memiliki indikasi penipuan, gagal bayar, atau sedang meminjam di lebih dari satu perusahaan.
Sunu mengatakan ada 3 hal utama dalam manajemen risiko penyaluran pinjaman Pusdafil:
Pertama, indikasi penipuan (fraud). Fraud yang dimaksud adalah transaksi pinjaman yang belum terjadi. Akan tetapi ada upaya pengajuan dengan menggunakan KTP yang terbukti tidak terdaftar di Ditjen Dukcapil.
Pada aplikasi Pusdafil, OJK dan AFPI dapat mengawasi apakah calon peminjam memiliki sejarah melakukan fraud atau tidak. Jika pernah, maka calon tidak akan diberi pinjaman.
"Bagaimana kita mengumpulkan informasi yang ada dari semua platform untuk menghindari adanya orang yang mencoba berhbohong dan upaya penipuan, sebab fraud menjadi masalah yang relatif tinggi," ujarnya.
Kedua, daftar hitam peminjam atau biasa disebut blaclist sharing. Ini mendata pengguna yang tidak membayar pinjamannya lebih dari 90 hari. Meskipun begitu, peminjam bisa keluar dari daftar tersebut apabila melunasi hutangnya. Ini akan di proses oleh AFPI saja.
Ketiga, memeriksa peminjam yang melakukan pinjaman di lebih dari 1 fintech lending. Data tersebut menjadi pertimbangan perusahaan untuk meloloskan pengajuan pinjaman dari calon peminjam. Hal ini diasari oleh analisa bahwa peminjam yang meminjam di lebih dari satu perusahaan dapat meningkatkan risiko penyaluran pinjaman.
[Gambas:Video CNBC]
(roy/roy) Next Article 90 Hari Nunggak, Fintech Tak Boleh Lagi Tagih Nasabah
Most Popular