
Keamanan Siber
Indonesia Perlu Anggaran Lebih untuk Keamanan Siber
Ester Christine Natalia, CNBC Indonesia
24 January 2018 06:50

Jakarta, CNBC Indonesia -- Seiring dengan perkembangan ekonomi digital, maka perusahaan yang bergantung pada sistem teknologi akan semakin rentan terhadap berbagai ancaman piranti lunak perusak atau malware.
Anggaran yang cukup tinggi pun dibutuhkan untuk membentengi diri dengan proteksi keamanan siber yang maksimal.
Sayangnya, masih banyak negara di Asia Tenggara (ASEAN) yang belum menyediakan porsi besar untuk anggaran khusus keamanan siber, salah satunya Indonesia.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh A. T. Kearney, perusahaan konsultan manajemen global, Indonesia termasuk dalam daftar negara berkembang di Asean yang sangat tertinggal dalam hal keamanan siber.
Germaine Hoe, manajer praktisi komunikasi, media dan teknologi dari A. T. Kearney, mengatakan penyebabnya adalah alokasi anggaran dari perusahaan dan pemerintah Indonesia untuk keamanan siber masih sangat sedikit jika dibandingkan dengan negara maju seperti Amerika Serikat atau, negara tetangga, Singapura.
"Indonesia hanya menyisihkan sekitar 0,03% dari Produk Domestik Bruto (GDP) di tahun 2017. Sementara, pasar yang matang seperti Amerika Serikat, Inggris, Jerman dan Singapura telah menyisihkan rata-rata sekitar 0,16% dari GDP untuk keamanan siber. Dari sini kita bisa melihat kesenjangan keamanan siber di Indonesia," kata Germaine saat memaparkan hasil penelitiannya di Jakarta, Senin (23/1/2018).
Padahal, Germaine mengatakan kurangnya anggaran akan berdampak pada lemahnya keamanan siber sehingga sistem informasi-teknologi (IT) dapat semakin rentan terhadap malware.
Germaine menilai langkah pemerintah dalam mendirikan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) sebagai usaha awal yang menjanjikan untuk keamanan siber yang lebih baik. Namun, tahap-tahap lebih lanjut dibutuhkan agar badan negara tersebut dapat bekerja dengan optimal.
"[BSSN] seharusnya bisa menjadi badan koordinasi untuk mengatur undang-undang tentang keamanan siber dan kejahatan siber, serta memastikan adanya dialog untuk meningkatkan keamanan dengan sektor-sektor terkait. Selain itu, tenaga-tenaga ahli di bidang keamanan siber juga perlu dipersiapkan untuk memberi layanan terbaik," kata Germaine.
Naveen Menon, presiden Cisco untuk Asia Tenggara, yang turut hadir dalam acara tersebut juga mengatakan bahwa pembentukan badan tersebut adalah hal yang sangat baik. Namun, jumlah anggaran yang ditetapkan untuk badan tersebut masih simpang siur.
"Pembentukan BSSN sangat baik, tapi saya pikir pendanaan untuk badan tersebut juga harus dipikirkan dengan serius. Pemerintah harus mengalokasikan anggaran yang cukup untuk keamanan siber karena Indonesia sudah tertinggal saat ini," kata Naveen.
(roy/roy) Next Article Agar Aman, Semua Fintech Wajib Mendaftar ke Regulator
Anggaran yang cukup tinggi pun dibutuhkan untuk membentengi diri dengan proteksi keamanan siber yang maksimal.
Sayangnya, masih banyak negara di Asia Tenggara (ASEAN) yang belum menyediakan porsi besar untuk anggaran khusus keamanan siber, salah satunya Indonesia.
Germaine Hoe, manajer praktisi komunikasi, media dan teknologi dari A. T. Kearney, mengatakan penyebabnya adalah alokasi anggaran dari perusahaan dan pemerintah Indonesia untuk keamanan siber masih sangat sedikit jika dibandingkan dengan negara maju seperti Amerika Serikat atau, negara tetangga, Singapura.
"Indonesia hanya menyisihkan sekitar 0,03% dari Produk Domestik Bruto (GDP) di tahun 2017. Sementara, pasar yang matang seperti Amerika Serikat, Inggris, Jerman dan Singapura telah menyisihkan rata-rata sekitar 0,16% dari GDP untuk keamanan siber. Dari sini kita bisa melihat kesenjangan keamanan siber di Indonesia," kata Germaine saat memaparkan hasil penelitiannya di Jakarta, Senin (23/1/2018).
Padahal, Germaine mengatakan kurangnya anggaran akan berdampak pada lemahnya keamanan siber sehingga sistem informasi-teknologi (IT) dapat semakin rentan terhadap malware.
Germaine menilai langkah pemerintah dalam mendirikan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) sebagai usaha awal yang menjanjikan untuk keamanan siber yang lebih baik. Namun, tahap-tahap lebih lanjut dibutuhkan agar badan negara tersebut dapat bekerja dengan optimal.
"[BSSN] seharusnya bisa menjadi badan koordinasi untuk mengatur undang-undang tentang keamanan siber dan kejahatan siber, serta memastikan adanya dialog untuk meningkatkan keamanan dengan sektor-sektor terkait. Selain itu, tenaga-tenaga ahli di bidang keamanan siber juga perlu dipersiapkan untuk memberi layanan terbaik," kata Germaine.
Naveen Menon, presiden Cisco untuk Asia Tenggara, yang turut hadir dalam acara tersebut juga mengatakan bahwa pembentukan badan tersebut adalah hal yang sangat baik. Namun, jumlah anggaran yang ditetapkan untuk badan tersebut masih simpang siur.
"Pembentukan BSSN sangat baik, tapi saya pikir pendanaan untuk badan tersebut juga harus dipikirkan dengan serius. Pemerintah harus mengalokasikan anggaran yang cukup untuk keamanan siber karena Indonesia sudah tertinggal saat ini," kata Naveen.
(roy/roy) Next Article Agar Aman, Semua Fintech Wajib Mendaftar ke Regulator
Most Popular