Cryptocurrency

Berisiko Tinggi, BI Awasi Semua Lokasi Transaksi Bitcoin

Arys Aditya, CNBC Indonesia
15 January 2018 12:21
hasil kajian BI menunjukkan karakteristik (cryptocurrency) memberikan resiko yang sangat tinggi bagi masyarakat Indonesia.
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Luthfi Rahman
Jakarta, CNBC Indonesia -- Bank Indonesia menyatakan telah melakukan pengawasan di semua wilayah yang diduga menjadi lokasi transaksi bitcoin dan mata uang digital lainnya.

Gubernur Bank Indonesia Agus D.W. Martowardoyo mengungkapkan hasil kajian BI menunjukkan karakteristik (cryptocurrency) memberikan resiko yang sangat tinggi bagi masyarakat Indonesia.

"Kami sudah melakukan pengawasan di seluruh titik. Maka tidak diperbolehkan perusahaan jasa pembayaran atau teknologi finansial di bawah supervisi BI untuk melakukan perdagangan dan transaksi bitcoin atau mata uang kripto lainnya," ujar Gubernur BI usai rapat dengan Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan, Senin (15/1).

Mantan menteri keuangan ini menyatakan karakter cryptocurrency yang tanpa otoritas sentral dan tanpa underlying dalam transaksinya tidak dapat diterima oleh BI.


Terkait dengan hal ini, bank sentral hingga kini telah melansir Peraturan Bank Indonesia (PBI) tentang Pemrosesan Teknologi Pembayaran dan PBI tentang Teknologi Finansial.

Agus menuturkan BI tidak berencana menerbitkan PBI tentang mata uang digital karena posisi bank sentral yang tidak mengakui bitcoin dan sejenisnya sebagai alat pembayaran yang sah dan diperbolehkan di wilayah RI.

"Kami justru menyatakan bahwa bitcoin adalah bukan alat pembayaran yang sah. Kami gak bikin aturan untuk itu. Kami menegaskan kalau itu tidak sah dan dilarang."

Akhir pekan lalu, Bank Indonesia kembali melansir pelarangan terhadap mata uang digital (cryptocurrency). Hal ini membuat Indonesia mengikuti sejumlah negara lain yang secara resmi melarang peredaran bitcoin dan mata uang digital lainnya.

"Hal tersebut sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang No. 7 tahun 2011 tentang Mata Uang bahwa segala pembayaran wajib menggunakan rupiah," ujar BI melalui Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Agusman.

Bank sentral memaparkan pemilikan virtual currency sangat berisiko dan sarat akan spekulasi karena tidak ada otoritas yang bertanggung jawab atau administrator resmi.

Selain itu, mata uang digital dianggap tidak memiliki underlying asset yang mendasari harga virtual currency dan nilai perdagangan sangat fluktuatif sehingga rentan terhadap risiko penggelembungan (bubble).

"Virtual currency rawan digunakan sebagai sarana pencucian uang dan pendanaan terorisme, sehingga dapat mempengaruhi kestabilan sistem keuangan dan merugikan masyarakat," kata siaran pers BI.

(roy) Next Article Jangan Iri, Investor Bitcoin Cuan Rp 34 Juta Dalam Sebulan

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular