Habiskan Rp 6 Triliun Buat Survei Data Ekonomi, BPS Dikritik DPR

Arrijal Rachman , CNBC Indonesia
Rabu, 27/08/2025 09:45 WIB
Foto: Kepala BPS, Amalia A. Widyasanti dalam Rilis BPS Senin (3/3/2025). (Tangkapan Layar Youtube BPS Statistic)

Jakarta, CNBC Indonesia - Politikus di Komisi X DPR mengkritisi Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti yang meminta tambahan anggaran tatkala polemik data pertumbuhan ekonomi kuartal II-2025 sebesar 5,12% yoy dipertanyakan banyak pihak.

Anggota Komisi X DPR dari Fraksi Gerindra La Tinro La Tunrung bahkan mengaku prihatin dengan mencuatnya keraguan banyak pihak terhadap rilis data pertumbuhan ekonomi oleh BPS tersebut. Sebab, data yang muncul itu tidak mencerminkan kondisi ekonomi yang sedang dirasakan masyarakat dan sangat jauh dari margin of error proyeksi para ekonom.


"Kalau saya mengatakan memang perlu prihatin dan saya mohon maaf ke BPS saya melihat sendiri ada keraguan dari survei yang dilakukan BPS, keraguan ini tentu dengan banyaknya data yang juga bisa kita lihat kondisi-kondisi sekarang," tutur La Tinro saat Rapat Dengar Pendapat Komisi X DPR dengan Kepala BPS di Gedung DPR, Jakarta, Selasa malam (26/8/2025).

La Tinro pun sempat menyinggung besaran anggaran survei yang telah disampaikan Amalia hingga harus menghasilkan data seperti PDB kuartal II-2025.

"Berapa sih biaya yang sudah kita keluarkan? tadi disebutkan Rp 6 triliun, ditambah lagi Rp 1 triliun, menjadi Rp 7 triliun. Kalau hanya menyajikan data yang salah tidak ada guna nya. Saya tidak tertarik membicarakan masalah tambahan anggaran kalau ini sebenarnya belum clear," ujar La Tinro.

Ia pun mengingatkan Kepala BPS efek dari kelirunya penyajian data. Menurutnya, efek turunannya bisa sampai membuat pemerintah salah dalam mengambil kebijakan.

"Jangan sampai karena ada keinginan-keinginan yang lain sehingga terjadilah kesalahan, dan fatalnya pemerintah bisa salah dalam mengambil kebijakan karena data yang salah," ungkapnya.

Pertanyaan serupa juga dilontarkan oleh Anggota Komisi X DPR dari Fraksi Golkar Juliyatmono. Ia menganggap para anggota dewan di Komisi X perlu mendapat penjelasan dari BPS soal polemik data PDB kuartal II-2025 karena memang kenyataannya masyarakat tengah menghadapi ekonomi yang sulit, tapi malah pertumbuhan PDB naik pesat.

"Karena kenyataannya orang merasakan agak susah tapi bertumbuh seperti ini, mungkin bisa dijelaskan ke kami-kami ini tentang metodologi singkat di mana posisi pertumbuhan itu yang paling sentral," ungkapnya.

Anggota Komisi X DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Bonnie Triyana bahkan turut menyinggung laporan salah satu media nasional soal data PDB kuartal II-2025 yang disebut telah diutak-atik.

"Ada tuduhan bahwa BPS disebut oleh Tempo itu mengutak-atik angka pertumbuhan ekonomi," kata Bonnie.

Ia pun meminta penjelasan terkait persoalan itu kepada Amalia termasuk soal metodologi yang digunakan hingga berbeda jauh dari proyeksi konsensus ekonom.

Respons Kepala BPS

Merespons berbagai pertanyaan para anggota dewan di Komisi X DPR itu, Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti mengatakan tugas BPS hingga saat ini adalah mengukur kondisi ekonomi dengan data dan fakta, bukan sebatas proyeksi.

"Kami tidak melakukan proyeksi, dan kami juga tidak menghasilkan statistik ini dengan asumsi dan persepsi. Kami adalah lembaga satu-satunya resmi negara yang menghasilkan data PDB dengan cara mengukur dan mengumpulkan melalui 1.058 variabel yang kami gunakan," kata Amalia.

Pejabat yang akrab disapa Winny itu menegaskan, lembaga-lembaga lain sifatnya sebatas melakukan prediksi atau perkiraan dengan model-model proyeksi, sedangkan BPS mengukur dengan data yang dikumpulkan melalui survei ataupun melalui data-data administrasi.

"Sehingga sekali lagi kami menggunakan sekitar 1.058 variabel, tidak hanya di nasional tapi kami juga mengukur PDRB di tingkat provinsi kabupaten/kota di seluruh Indonesia yang harus konsisten antara agregasi PDRB di 38 provinsi ke tingkat nasional dan kami harus koherensikan dari nasional di disagregasi ulang," ucapnya.

Dalam melakukan pengumpulan data dan perhitungan detail, Winny mengatakan, BPS harus menyelesaikannya hanya dalam waktu 35 hari. "Ini harus dua arah (data PDB-PDRB) berjalan, ini proses yang kami lakukan tidak mudah, kami lakukan ini dalam waktu 35 hari kerja," ujar Winny.

Ia pun memastikan, BPS akan terus menjaga kualitas dan keterbandingan internasional karena BPS juga diawasi berbagai pihak.

"Seperti kami juga selalu menghadiri sidang tahunan komisi statistik PBB, ada forum masyarakat statistik, metodologi BPS juga mengacu pada panduan dari komisi statistik PBB dan lembaga nasional seperti untuk hitung PDB ada rujukannya yaitu sistem of national account," tegasnya.

Tidak hanya aktif terlibat dalam forum statistik PBB, BPS juga ia sebut menjadi bagian dari Committee on Statistics and Statistical Policy (CSSP) OECD.

"Dan bahkan PBB dan komunitas NSO dunia memberikan kepercayaan kepada BPS sebagai tuan rumah UN Regional Hub on Big Data and Data Science for Asia and the Pacific," ungkapnya.

"Ini tidak mudah mendapatkan kepercayaan menjadi UN Regional Hub," kata Winny.

Kepala BPS Minta Tambah Anggaran

Dalam RDPU kemarin malam itu, Winny meminta persetujuan Komisi X DPR untuk menambah anggaran BPS pada 2026 sebesar Rp 1,65 triliun dari pagu awal Rp 6,85 triliun.

Amalia menjelaskan, BPS sangat berharap usulan anggaran itu bisa disetujui karena dengan pagu yang disediakan pemerintah sebesar Rp 6,85 triliun masih ada kegiatan statistik yang belum bisa dipenuhi dana pelaksanaannya.

"Ada beberapa kegiatan yang belum bisa dianggarkan dengan anggaran Rp 6,85 triliun," kata Amalia saat rapat dengar pendapat dengan Komisi X DPR, Jakarta, Selasa malam (26/8/2025).

Kegiatan yang belum bisa dilaksanakan di antaranya sebagian dari kegiatan Sensus Ekonomi 2026. Padahal, Sensus Ekonomi Amalia tegaskan adalah amanat Undang-undang yang harus dipastikan berjalan pada 2026.

Adapula survei perdagangan domestik, statistik e-commerce, konversi gabah ke beras, survei pertanian terintegrasi, dan survei pola barang distribusi. Totalnya ada 10 kegiatan yang belum teranggarkan dari pagu awal yang disediakan, termasuk survei perilaku anti korupsi, survei harga perdagangan internasional, hingga survei barang distribusi.

"Oleh sebab itu apabila berkenan kami mengusulkan dan mengajukan tambahan anggaran sebesar Rp 1,65 triliun sehingga ini dapat memenuhi kebutuhan total kami sekitar Rp 8,5 triliun," ujar Amalia.

Dari total kebutuhan anggaran Rp 8,5 triliun pada 2026, BPS akan membaginya ke dalam dua pos, yaitu Program Penyediaan dan Pelayanan Informasi Statistik (PPIS) sebesar Rp 4,48 triliun dari sebelumnya Rp 3,13 triliun, dan dukungan manajemen Rp 4,02 triliun dari sebelumnya Rp 3,71 triliun.

Adapun anggaran survei yang baru bisa terpenuhi dengan pagu awal, terdiri dari 8 kegiatan utama. Di antaranya Sensus Ekonomi 2026 yang sebesar Rp 2,13 triliun, Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Rp 183,94 miliar, dan Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Rp 77,63 miliar.

Pendataan Statistik Pertanian Tanaman Pangan Terintegrasi Dengan Metode Kerangka Sampel Area Rp 74,90 miliar, Survei Ekonomi Rumah Tangga Triwulanan Rp 50,79 miliar, Survei Tanaman Pangan/Ubinan Rp 33,50 miliar, Survei Bidang Jasa Pariwisata Rp 29,94 miliar, dan 53 Kegiatan Survei Lainnya Rp 543,64 miliar.

Sayangnya, untuk besaran kebutuhan tambahan anggaran untuk program penyediaan dan pelayanan informasi statistik yang anggarannya kurang dengan usulan tambahannya yang disajikan Amalia berbeda, dan sempat mendapat kritikan dari para anggota dewan di Komisi X DPR.

Ia menyebut kegiatan yang perlu usulan tambahan anggaran justru sebanyak 10 aktivitas, seperti Sensus Ekonomi 2026 Rp 1,16 triliun, SPDT NTP Rp 127,30 miliar, Survei Konversi Gabah ke Beras Rp 7,09 miliar, Survei Perilaku Anti Korupsi Rp 1,66 miliar, serta Survei Pertanian Terintegrasi Rp 25,69 miliar.

Lalu, Survei Harga Perdagangan Internasional Rp 1,37 miliar, Survei Perdagangan Antar Domestik Rp 6,27 miliar, Survei Pelaku Usaha E-Commerce Rp 8,35 miliar, Survei Pola Distribusi Rp 899,11 juta, dan Survei Pola Usaha Non Pertanian Rp 1,77 miliar.

Dalam kesimpulan akhir rapat dengan pendapat itu, Komisi X DPR sebatas menyepakati akan melakukan RDP/konsinyasi materi rancangan RKA K/L Tahun 2026 dalam waktu dekat.

Ini karena mereka menganggap masih memerlukan pendalaman terhadap pagu anggaran dan usulan tambahan anggaran BPS pada RAPBN Tahun Anggaran 2026, sebab ada sejumlah catatan.

Catatan itu seperti keharusan menyediakan data statistik yang baik, objektif, representatif, dan dapat divalidasi kebenarannya, dan meningkatkan kolaborasi dengan berbagai pemangku kepentingan sebagai upaya peningkatan akurasi data.

Para anggota dewan juga meminta supaya Kepala BPS bisa memastikan pelaksanaan Sensus Ekonomi 2026 dan kegiatan statistik strategis lainnya dapat berjalan dengan baik, dan mengantisipasi permasalahan yang muncul, sehingga data yang dihasilkan dapat menjadi rujukan utama dalam pengambil kebijakan.

Juga ada catatan tentang perlunya Kepala BPS memberikan penjelasan secara rinci dan komprehensif dalam RDP atau konsinyering, terkait pagu anggaran Rp 6,85 triliun dan usulan tambahan Rp 1,65 triliun, sehingga dapat menjadi argumentasi untuk peningkatan anggaran.

"Komisi X DPR RI dan BPS RI sepakat akan melakukan RDP atau konsinyasi materi rancangan RKA K/L Tahun 2025 dalam waktu dekat," kata Wakil Ketua Komisi X DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Lalu Hadrian Irfani saat membacakan hasil kesimpulan rapat.


(arj/haa)
Saksikan video di bawah ini:

Video: PR "Berat" Bos Asuransi Bikin Orang RI Masuk Asuransi Syariah


Related Articles