MARKET DATA

AS Setuju Kelapa Sawit RI Bebas Tarif: Deretan Emiten Ini Ketawa

Gelson Kurniawan,  CNBC Indonesia
24 December 2025 10:26
Kebun Sawit milik Sampoerna Agro. (Dok sampoerna agro)
Foto: Kebun Sawit milik Sampoerna Agro. (Dok sampoerna agro)

Jakarta, CNBC Indonesia - Kabar kesepakatan dagang antara Indonesia dan Amerika Serikat yang dibawa oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menjadi angin segar penutup tahun bagi sektor agribisnis nasional.

Inti dari kesepakatan yang akan ditandatangani pada Januari 2026 ini sangat spesifik dan berdampak fundamental, yaitu penghapusan tarif resiprokal untuk komoditas Kelapa Sawit dan Kakao.

Selama ini, eksportir Indonesia menghadapi tantangan berat berupa tarif masuk ke Amerika Serikat yang mencapai kisaran 32%. Angka ini membuat produk minyak nabati dan cokelat olahan Indonesia seringkali kalah bersaing dari segi harga dibandingkan produk negara lain.

Namun, dengan tarif kini menjadi nol persen atau pengecualian khusus, struktur biaya ekspor berubah total. Penghematan biaya logistik dan pajak tersebut kini berpotensi beralih menjadi margin laba bersih bagi perusahaan.

Tim Riset CNBC Indonesia membedah enam emiten kunci berdasarkan posisi strategis mereka dalam memanfaatkan momentum ini.

Pertemuan resmi antara Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dengan United States Trade Representative (USTR) Ambassador Jamieson Greer pada Senin (22/12) di Washington D.C. (Dok. ekon.go.id)Foto: Pertemuan resmi antara Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dengan United States Trade Representative (USTR) Ambassador Jamieson Greer pada Senin (22/12) di Washington D.C. (Dok. ekon.go.id)

PT PP London Sumatra Indonesia Tbk (LSIP)

LSIP adalah emiten yang paling relevan dengan sentimen ini karena memiliki kebun sawit dan kakao sekaligus dalam skala komersial. Sebagai pemain hulu atau perkebunan, LSIP tidak perlu repot memikirkan teknis ekspor.

Mekanisme pasar komoditas bersifat global, sehingga ketika pasar Amerika terbuka dan permintaan naik, harga acuan CPO dan biji kakao dunia akan terkerek naik. LSIP secara otomatis akan menikmati kenaikan harga jual rata-rata ini di pasar domestik maupun ekspor.

Kekuatan utama LSIP terletak pada neraca keuangannya yang sangat sehat. Perusahaan ini dikenal tidak memiliki utang bank atau zero debt. Artinya, ketika pendapatan melonjak karena kenaikan harga komoditas, keuntungan tersebut tidak tergerus oleh beban bunga pinjaman.

Kondisi ini menciptakan peluang besar bagi manajemen untuk membagikan dividen yang lebih tinggi kepada pemegang saham di tahun mendatang.

PT Salim Ivomas Pratama Tbk (SIMP)

Sebagai induk usaha LSIP, SIMP memegang peran vital dalam pengolahan dan distribusi. Mereka mengolah CPO menjadi produk bernilai tambah seperti minyak goreng, margarin, dan lemak nabati.

Penghapusan tarif 32% adalah kunci bagi SIMP untuk menembus pasar ritel dan industri makanan Amerika Serikat. Produk minyak goreng Indonesia kini memiliki daya saing harga yang kuat melawan minyak kedelai lokal Amerika.

Laporan perusahaan juga telah mencatat jejak penjualan di benua Amerika, menandakan infrastruktur distribusi mereka sebenarnya sudah siap. Dengan hilangnya hambatan tarif, SIMP memiliki peluang emas untuk menggenjot volume ekspor secara signifikan.

Peningkatan volume penjualan ke pasar dengan daya beli tinggi seperti Amerika tentu akan menjadi mesin pertumbuhan baru bagi pendapatan grup.

PT Wahana Interfood Nusantara Tbk (COCO)

COCO adalah produsen cokelat premium dengan merek Schoko. Selama ini, industri cokelat olahan sulit menembus pasar negara maju karena tarif proteksi yang tinggi. Kebijakan bebas tarif ini ibarat membuka pintu gerbang yang selama ini tertutup bagi perseroan.

Produk bahan baku cokelat seperti bubuk kakao dan lemak kakao buatan COCO kini bisa masuk ke industri makanan Amerika dengan harga yang jauh lebih kompetitif.

Jika manajemen berhasil mengamankan kontrak suplai jangka panjang dengan pabrik makanan di Amerika Serikat, pendapatan COCO berpotensi tumbuh signifikan.

Mengingat basis pendapatan COCO yang masih relatif kecil dibandingkan emiten sawit raksasa, setiap kontrak ekspor baru akan memberikan dampak persentase pertumbuhan laba yang eksplosif bagi valuasi perusahaan.

Ilustrasi kelapa sawit. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)Foto: Ilustrasi kelapa sawit. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

PT Sinar Mas Agro Resources and Technology Tbk (SMAR)

SMAR memiliki profil pendapatan yang sangat berbeda dibandingkan emiten perkebunan hulu. Berdasarkan Laporan Tahunan 2024, perseroan mencatatkan penjualan ekspor mencapai Rp 33,1 triliun, yang berkontribusi sekitar 42% dari total pendapatan perusahaan.

Angka ini menegaskan posisi SMAR sebagai emiten dengan eksposur pasar global terbesar di sektornya, sehingga kebijakan tarif internasional memiliki dampak langsung (direct impact) yang paling signifikan terhadap kinerja keuangannya.

Penghapusan tarif masuk ke Amerika Serikat dari 32% menjadi 0% menjadi katalis laba yang masif bagi SMAR. Dengan porsi ekspor yang mencapai hampir separuh total omzet, hilangnya beban tarif ini membuat produk turunan sawit SMAR (seperti olein dan stearin) menjadi jauh lebih kompetitif di pasar Amerika.

SMAR memiliki fleksibilitas untuk melakukan arbitrase, yaitu mengalihkan alokasi ekspor dari pasar tradisional dengan margin tipis ke pasar Amerika Serikat yang kini menawarkan margin lebih tebal tanpa potongan pajak.

Selain itu, sebagai pemain hilir yang terintegrasi, SMAR didukung oleh kapasitas pabrik penyulingan (refinery) yang besar dan jaringan logistik global.

Kesiapan infrastruktur ini memastikan perseroan dapat merespons lonjakan permintaan dari pembeli di Amerika Serikat lebih cepat dibandingkan kompetitornya, segera setelah kesepakatan dagang berlaku efektif pada Januari 2026.

Ilustrasi buah coklat. (REUTERS/Luc Gnago/File Photo)Foto: Ilustrasi buah coklat. (REUTERS/Luc Gnago/File Photo)

Ekspor CPO ke Amerika

Menurut United States Department of Agriculture (USDA), terlihat jelas dominasi Indonesia di pasar tropical oil AS. Pada 2023, nilai ekspor tropical oil Indonesia ke AS mencapai US$2,13 miliar jauh di atas Filipina (US$359,9 juta) dan Malaysia (US$258,9 juta).

Indonesia bahkan menguasai lebih dari 70% total impor AS untuk minyak tropis. Ini adalah rekor tertinggi sejak 2010 dan lonjakan drastis dibanding 2020 saat nilai ekspor RI ke AS hanya US$945 juta.

Tropical oil mengacu pada minyak nabati dari wilayah tropis terutama minyak sawit (palm oil) dan minyak kelapa (coconut oil). Kedua komoditas ini masuk dalam kategori strategis karena dibutuhkan di lebih dari 50% produk rumah tangga, dari biskuit, sabun, hingga biodiesel.

Tidak seperti minyak nabati lain seperti kedelai atau canola, minyak tropis punya profil lemak jenuh yang lebih stabil, ideal untuk makanan olahan dan kebutuhan industri dengan siklus panas tinggi. Bagi AS, ini essential input untuk sektor pangan dan energi.

Lonjakan nilai ekspor Indonesia ke AS dari minyak tropis bersifat struktural, bukan sementara. Pada 2010, ekspor tropical oil RI ke AS masih di bawah US$110 juta. Tapi dalam 13 tahun terakhir, lonjakannya mencapai hampir 20 kali lipat. Bahkan, dalam tiga tahun terakhir, ekspor RI ke AS naik dari US$945 juta (2020) menjadi US$2,13 miliar (2023).

Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(gls/gls)



Most Popular