MARKET DATA

Uang Panas Selamatkan Asia di 2025, Rasa Sakit Datang 2026

Gelson Kurniawan,  CNBC Indonesia
22 December 2025 13:56
Gedung BI
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Luthfi Rahman

Jakarta, CNBC Indonesia - Tahun 2025 hampir berakhir, dan konsensus pasar sepakat yaitu ini bukan tahun yang gemilang bagi ekonomi Asia. Meskipun inflasi cukup rendah untuk memungkinkan pemangkasan suku bunga, pertumbuhan di kawasan ini tetap lambat.

Laporan terbaru dari menyoroti bahwa rasa krisis akibat penerapan tarif impor Amerika Serikat (AS) pada bulan April lalu memang telah mereda, namun dampak riil dari kebijakan proteksionis Gedung Putih diprediksi baru akan benar-benar terasa "menyakitkan" pada tahun 2026.

Berikut adalah rangkuman mengenai dinamika ekonomi Asia, mulai dari China hingga manuver Bank Indonesia (BI).

China yang Masih Membingungkan

Para forecaster ekonomi global kembali dibuat kecewa oleh ekonomi terbesar kedua di dunia ini. China memang diprediksi akan mencapai target pertumbuhan 5% Beijing, namun angka itu dicapai dengan upaya keras.

Negara ini nyaris masuk ke jurang deflasi, sektor properti masih meninggalkan luka bagi ekonomi, dan investasi modal anjlok. Kekecewaan terbesar datang dari respon kebijakan. People's Bank of China (PBOC) mengejutkan pasar dengan hampir tidak melakukan apa-apa.

Berlawanan dengan ekspektasi stimulus agresif, PBOC hanya melakukan satu kali pemangkasan sebesar 10 basis poin (bps). Tanpa transparansi rapat dewan gubernur, pesan dari Beijing jelas: jangan berharap ada bailing out besar-besaran.

Indonesia: Politik & "All-in" Gubernur BI

Rupiah menjadi salah satu mata uangterlemahdi Asia tahun ini, memaksa Bank Indonesia (BI) untuk terus melakukan intervensi pasar guna menahan kejatuhan nilai tukar.

Bank Indonesia memangkas suku bunga dan secara terbuka menyatakan dukungan penuh (all-in) terhadap agenda pertumbuhan PresidenPrabowoSubianto
Bank Indonesia (BI) terlihat mengubah haluan dengan "all in" memangkas suku bunga secara agresif. BI sudah memangkas suku bunga sebesar 175 bps sepanjang tahun ini, seagresif pada pandemi Covid di 2020.

Jepang Melawan Arus, Thailand "Wait and See"

Di sisi lain Asia, Jepang justru menjadi anomali. Bank of Japan (BOJ) pekan lalu menaikkan suku bunga utamanya sebesar 25 bps menjadi 0,75%.

Gubernur Kazuo Ueda memanfaatkan momentum ekonomi global yang lolos dari resesi untuk menormalisasi kebijakan, menjadikannya satu-satunya bos BOJ di era modern yang meninggalkan suku bunga lebih tinggi daripada saat ia menjabat.

Sementara itu di Thailand, meski ada tekanan politik untuk memangkas bunga secara agresif, Gubernur baru Vitai Ratanakorn memilih langkah hati-hati dengan menahan suku bunga di 1,5% demi menjaga kredibilitas, mengecewakan spekulan yang bertaruh pada pelonggaran kebijakan.

Australia: Bahaya Forward Guidance

Pelajaran penting datang dari Australia. Gubernur Reserve Bank of Australia (RBA), Michele Bullock, menolak memberikan forward guidance setelah tiga kali pemangkasan suku bunga tahun ini.

Keputusan ini terbukti bijak. Dengan inflasi yang kembali menggeliat dan ekonomi yang memanas, para trader kini justru memprediksi kenaikan suku bunga (hike). Jika RBA sebelumnya menjanjikan bunga rendah, kredibilitas mereka pasti sudah hancur saat ini.

Outlook 2026: Waspada Badai Lanjutan

Kesimpulannya, para pemimpin Asia berhasil menegosiasikan tarif AS ke tingkat yang "tidak nyaman tapi tidak mematikan" di 2025. Namun, PR sesungguhnya menanti di 2026.

Pertanyaan besarnya adalah seberapa kuat ekonomi Asia menahan hantaman lanjutan dari hambatan perdagangan global dan volatilitas mata uang?

Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(gls/gls)



Most Popular