Mayday! Mayday! Harga Minyak Jatuh ke Level US$50-an, Terendah 4 Tahun
Jakarta, CNBC Indonesia- Harga minyak dunia kembali tergelincir pada perdagangan hari ini Selasa (16/12/2025). Selain reaksi harian, pelemahan ini nampaknya merupakan sinyal bahwa pasar mulai mengubah cara pandangnya terhadap keseimbangan energi global.
Data Refinitiv mencatat harga minyak brent pada Selasa pukul 18.19 WIB ada di posisi US$ 59,59 per barel sementara jenis WTI ada di US$ 55,84 per barel.
Level ini menempatkan harga minyak ada di titik terendah sejak Februari 2021 atau lebih dari empat tahun terakhir.
Harga minyak sudah ambruk dalam tiga hari beruntun. Dalam satu pekan, harganya sudah ambruk 4% dan jeblok 20% lebih sejak awal tahun.
Mengapa Harga Minyak Babak Belur?
Pasar membaca penurunan ini sebagai refleksi dari melemahnya premi risiko geopolitik.
Konflik Rusia-Ukraina yang selama ini menjadi penopang harga perlahan kehilangan daya dorongnya, seiring menguatnya ekspektasi bahwa jalur diplomasi mulai terbuka.
Optimisme tersebut menguat setelah Amerika Serikat dilaporkan menawarkan jaminan keamanan bergaya NATO kepada Ukraina dalam pertemuan tingkat tinggi di Berlin. Sinyal politik ini dinilai pasar sebagai indikasi bahwa perang tidak lagi bergerak ke arah eskalasi, melainkan menuju negosiasi.
Bagi pasar minyak, jika konflik mereda, ruang pelonggaran sanksi terhadap Rusia terbuka, dan barel minyak yang selama ini terhambat berpotensi kembali ke pasar global. Dalam kondisi pasokan yang sudah longgar, tambahan suplai ini menjadi tekanan nyata bagi harga.
Tekanan dari sisi permintaan datang hampir bersamaan, terutama dari China. Data ekonomi terbaru menunjukkan aktivitas industri dan konsumsi melemah. Output pabrik China pada November tumbuh paling lambat dalam 15 bulan, sementara penjualan ritel mencatat laju terendah sejak akhir 2022.
Pasar menilai perlambatan ini sebagai sinyal bahwa mesin permintaan energi terbesar dunia sedang kehilangan momentum. Ketika China melambat, pasar minyak global nyaris kehilangan jangkar permintaannya.
Menurut analis pasar IG Tony Sycamore, lemahnya data China memperkuat keyakinan bahwa pertumbuhan permintaan belum cukup kuat untuk menyerap tambahan pasokan yang terus mengalir. Akibatnya, keseimbangan pasar semakin berat ke arah surplus.
Kondisi ini diperparah oleh perubahan struktural di China sendiri. Peningkatan adopsi kendaraan listrik dan efisiensi energi membuat pertumbuhan konsumsi bahan bakar fosil tidak lagi seagresif satu dekade lalu, bahkan ketika ekonomi mulai pulih.
Di sisi lain, risiko pasokan global justru semakin kehilangan pengaruhnya. Penyitaan kapal tanker minyak Venezuela oleh Amerika Serikat tidak mampu mengangkat harga, karena pasar menilai stok minyak di laut dan kapasitas produksi global masih lebih dari cukup.
Lonjakan pembelian minyak Venezuela oleh China sebagai langkah antisipasi sanksi juga membantu menjaga aliran pasokan tetap lancar. Dengan kata lain, gangguan suplai kini tidak lagi otomatis diterjemahkan pasar sebagai ancaman serius.
Kesimpulannya, pelemahan harga minyak saat ini mencerminkan perubahan persepsi pasar. Dunia sedang menghadapi fase kelebihan minyak. Selama permintaan global belum menunjukkan pemulihan yang meyakinkan, tekanan pada harga minyak berpotensi bertahan lebih lama.
Rusia Paling Terpukul?
Tekanan terhadap sektor energi Rusia kian nyata. Harga minyak mentah andalan Rusia, Urals, terperosok ke level US$37 per barel, terendah sejak 2020. Kombinasi sanksi Amerika Serikat dan persaingan harga yang makin brutal di pasar Asia menjadi faktor utama yang menyeret harga jatuh lebih dalam.
Analis dari Reflex, konsultan energi terkemuka asal Polandia, menilai penurunan harga minyak Rusia mengalami akselerasi signifikan sejak sanksi baru AS mulai berlaku pada akhir November. Sanksi tersebut dijatuhkan setelah Presiden Rusia Vladimir Putin tetap menolak tekanan internasional untuk menghentikan perang di Ukraina.
"Penurunan harga minyak Rusia jelas semakin cepat setelah Departemen Keuangan AS menjatuhkan sanksi terhadap Rosneft, Lukoil, anak-anak usahanya, serta Gazprombank," tulis Reflex dalam laporannya, dikutip dari Reuters.
Secara tahunan, harga minyak Urals tercatat telah anjlok US$25,78 per barel, jauh lebih dalam dibandingkan penurunan harga Brent yang hanya US$11,53 per barel pada periode yang sama.
Saat ini, minyak Urals diperdagangkan dengan diskon ekstrem, sekitar US$25 per barel lebih murah dari brent. Bahkan sejak 21 November, ketika sanksi mulai efektif, harga Urals sudah turun US$13,10 per barel, sementara Brent hanya terkoreksi tipis US$0,30 per barel.
Tekanan tidak hanya datang dari Barat. Pasar Asia, yang menyerap lebih dari 85% ekspor minyak Rusia, kini semakin kompetitif. Reflex mencatat Arab Saudi ikut memperketat persaingan dengan menurunkan harga jual minyaknya ke pembeli Asia, mempersempit ruang gerak Rusia untuk mempertahankan pangsa pasar.
Sektor energi merupakan tulang punggung keuangan Kremlin, menyumbang sekitar 25% dari total penerimaan anggaran federal, sekaligus menjadi sumber utama pembiayaan invasi militer ke Ukraina.
Situasi diperburuk oleh serangan Ukraina terhadap infrastruktur energi Rusia, yang menyebabkan penurunan 20% kapasitas pengolahan minyak sepanjang tahun ini. Meski Rusia masih mengandalkan kapasitas kilang cadangan untuk meredam dampak, tekanan struktural terhadap sektor energi semakin sulit dihindari.
Kepala Strategi Komoditas ING Warren Patterson dan analis Ewa Manthey menegaskan bahwa risiko pasokan akibat sanksi Rusia tetap menjadi fokus utama pelaku pasar.
"Ekspor minyak Rusia lewat jalur laut memang masih bertahan, tetapi minyak tersebut semakin sulit menemukan pembeli. Akibatnya, volume minyak Rusia yang mengapung di laut terus meningkat," ujar mereka.
Di sisi lain, data ekonomi China yang melemah turut menambah tekanan, memicu kekhawatiran perlambatan permintaan dari importir minyak terbesar dunia. Kombinasi risiko geopolitik, sanksi, dan permintaan global yang melemah membuat pasar kini semakin khawatir akan oversupply minyak global.
CNBC Indonesia Research
(emb/emb)