Jakarta, CNBC Indonesia - Mayoritas mata uang Asia kompak menguat terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Selasa (25/11/2025), seiring dengan meningkatnya ekspektasi pasar akan pemangkasan suku bunga Bank Sentral AS (The Fed) di Desember mendatang.
Melansir data Refinitiv, pada pukul 09.15 WIB, penguatan terbesar dicatatkan oleh ringgit Malaysia yang menguat 0,27% ke level MYR 4,128/US$. Disusul oleh yen Jepang yang menguat 0,18% ke JPY 156,61/US$, serta diikuti oleh won Korea Selatan yang terapresiasi 0,15% ke KRW 1,472,46/US$.
Sementara itu, rupiah sendiri turut mengalami penguatan sebesar 0,12% ke posisi Rp16.670/US$ dan terparkir sebagai mata uang nomor empat dengan penguatan terbesar di Asia.
Sementara itu, mata uang Asia lain yang menguat antara lain baht Thailand (THB) naik 0,09%, yuan China (CNY) menguat 0,07%, dolar Singapura (SGD) dan rupee India (INR) masing-masing menguat 0,06%, serta dolar Taiwan (TWD) naik 0,05%. Peso Filipina (PHP) juga mencatat penguatan tipis 0,02%.
Satu-satunya mata uang yang melemah adalah dong Vietnam yang turun 0,08% atau terdepresiasi ke posisi VND 26.371/US$.
Adapun indeks dolar AS (DXY) yang mengukur kekuatan dolar terhadap enam mata uang utama dunia ini justru bergerak sedikit melemah 0,01% ke posisi 100,150, mencerminkan penurunan permintaan terhadap aset dolar.
Sentimen utama yang mendorong penguatan mata uang Asia hari ini berasal dari meningkatnya keyakinan pasar bahwa The Fed akan memangkas suku bunga pada pertemuan bulan depan.
Dolar AS bergerak stabil cenderung melemah karena pelaku pasar mulai mengurangi kepemilikan dolar dan beralih ke aset berisiko, termasuk mata uang emerging markets.
Ekspektasi pemangkasan suku bunga menguat setelah pernyataan dovish Gubernur The Fed Christopher Waller yang menyebut bahwa kondisi pasar tenaga kerja AS kini cukup melemah sehingga layak untuk dilakukan pemangkasan suku bunga seperempat poin pada Desember.
Komentar ini mempertegas sinyal serupa dari Presiden The Fed New York John Williams.
Berdasarkan CME FedWatch, probabilitas pemangkasan suku bunga melonjak tajam menjadi 81%, dari hanya 42% pada pekan sebelumnya. Lonjakan ekspektasi ini membuat dolar kehilangan sebagian daya tariknya, sehingga memperkuat mata uang Asia.
Meskipun demikian, internal The Fed masih terbelah karena bank sentral belum memiliki data ekonomi lengkap akibat backlog pasca shutdown pemerintah AS selama 43 hari.
Namun bagi pasar, ketidakpastian ini justru meningkatkan spekulasi bahwa The Fed akan memilih langkah "aman" dengan memangkas suku bunga untuk merespon pelemahan tenaga kerja dan turunnya ekspektasi inflasi.
Di sisi lain, penguatan mata uang Asia juga didukung oleh tanda-tanda mencairnya hubungan AS-China. Presiden Donald Trump menyebut hubungan kedua negara kini sangat kuat setelah melakukan panggilan telepon dengan Presiden Xi Jinping, memperkuat harapan stabilitas hubungan perdagangan kedua negara.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(evw/evw)