Jakarta, CNBC Indonesia- Istilah lahan arabel semakin sering muncul dalam diskusi ketahanan pangan global. Secara sederhana, lahan arabel adalah persentase permukaan negara yang dapat diolah untuk bercocok tanam.
Artinya, semakin besar proporsi lahan arabel di suatu negara, semakin besar pula potensi mereka untuk memenuhi kebutuhan pangan secara mandiri dan bahkan menjadi eksportir. Sebaliknya, negara dengan lahan arabel terbatas cenderung bergantung pada impor pangan, terlepas dari seberapa kaya atau modern perekonomiannya.
Penting dicatat bahwa lahan arabel bukan sekadar soal luas wilayah saja. Kualitas geografis dan iklim juga berpengaruh.
Negara yang besar belum tentu memiliki tanah subur dalam proporsi besar, sementara negara kecil bisa jadi memiliki dominasi lahan siap tanam. Faktor seperti curah hujan, kesuburan tanah, dan sejarah budidaya pertanian memegang peran besar dalam menentukan proporsi lahan arabel suatu negara.
Beberapa negara di Asia Selatan dan Eropa menempati posisi puncak, sedangkan negara-negara di kawasan gurun, tundra, dan hutan tropis berada di posisi bawah. Pola ini menunjukkan bahwa iklim dan formasi tanah masih menjadi penentu utama ekosistem pangan dunia.
Bangladesh menjadi negara dengan persentase lahan arabel terbesar di dunia, yakni 60,628%, menjadikannya salah satu negara paling siap secara struktur agrikultur. Posisi ini disusul Denmark (59,125%), Ukraina (56,824%), Moldova (56,817%), dan India (51,752%). Kelima negara tersebut memiliki karakteristik berbeda, namun sama-sama diuntungkan oleh tanah subur dan tradisi pertanian yang panjang.
Asia Afrika menunjukkan dinamika menarik. Negara seperti Burundi (51,449%) dan Togo (48,722%) masuk sepuluh besar meski bukan negara berpendapatan tinggi. Ini menunjukkan bahwa potensi agrikultur di Afrika bukan rendah, tetapi bergantung pada stabilitas politik, investasi, dan infrastruktur.
Di sisi lain, negara-negara mapan seperti Jerman (33,429%) dan Prancis (31,356%) tetap memiliki porsi lahan arabel besar yang menopang kekuatan industri pangan Uni Eropa.
Negara-negara maju tidak semuanya berada di kelompok atas. Amerika Serikat hanya berada pada 16,569%, Kanada 4,341%, dan Australia bahkan lebih rendah 4,029%.
Meski ketiganya merupakan eksportir pangan besar, kekuatan tersebut banyak ditopang oleh teknologi agrikultur, mekanisasi, dan investasi besar-besaran - bukan semata-mata proporsi lahan subur.
Sebaliknya, wilayah gurun seperti Uni Emirat Arab (0,709%) dan Arab Saudi (1,596%) menunjukkan bahwa kekayaan ekonomi tidak sejalan dengan kapasitas lahan pangan domestik. Ketergantungan impor bukan pilihan, tetapi konsekuensi geografis. Implikasi ketahanan pangan mereka lebih rentan terhadap gejolak harga global dan gangguan rantai pasok.
Lantas bagaimana dengan Indonesia? Indonesia memiliki 9,396% lahan arabel terhadap total luas daratan, menempatkan Indonesia di bagian bawah daftar negara dengan lahan subur dunia jauh di bawah Thailand (30,995%), Vietnam (21,467%), dan Filipina (18,748%). Angka ini menegaskan bahwa Indonesia bukan negara dengan keunggulan lahan subur besar, meski aktivitas pertanian selama ini terlihat dominan pada permukaan.
Posisi Indonesia ini memiliki implikasi strategis. Dengan rasio lahan arabel yang terbatas, upaya memperkuat ketahanan pangan nasional tidak bisa hanya mengandalkan perluasan lahan.
Faktor yang perlu digenjot adalah produktivitas, riset bibit, efisiensi irigasi, agro-industry, dan pengurangan konversi lahan sawah ke non-pertanian. Dependensi pada impor pangan tertentu merupakan konsekuensi logis jika optimalisasi tidak dilakukan.
Kondisi ini juga menjelaskan mengapa kebijakan percepatan food estate beberapa tahun terakhir sering menuai dilema.
Ketersediaan lahan memang menjadi tantangan, tetapi ekosistem pertanian Indonesia lebih ditentukan oleh kualitas lahan daripada kuantitasnya. Dengan catatan rasio lahan arabel hanya 9,396%, Indonesia tidak memiliki ruang eksperimen yang luas ketika terjadi kegagalan budidaya skala besar.
Di kawasan Asia Tenggara, perbandingan memperlihatkan tren serupa. Malaysia hanya memiliki 2,387%, Singapura 0,780%, Brunei 0,759%, dan Laos 5,303% - memperlihatkan bahwa Asia Tenggara secara umum bukan kawasan dengan dominasi lahan arabel. Thailand muncul sebagai anomali positif dengan hampir 31%, menjadikan negara tersebut pemain penting dalam ekspor beras dunia.
CNBC Indonesia Research
(emb/emb)