MARKET DATA

Tumbuh Liar di RI, Tanaman Ini Jadi Rebutan AS & China Buat Obat

Emanuella Bungasmara Ega Tirta,  CNBC Indonesia
20 November 2025 18:30
Daun Saga. (Dok. unu-ntb)
Foto: Daun . (Dok. unu-ntb)

Jakarta, CNBC Indonesia - Daun saga (Abrus precatorius) dulu hanya dianggap obat rumahan untuk batuk dan sariawan. Namun dunia berubah cepat, industri farmasi dan kosmetik global sedang mengalihkan miliaran dolar dari bahan sintetis ke ekstrak herbal, dan saga diam-diam masuk daftar incaran investor kesehatan alami.

Ironisnya, saat dunia baru melirik, performa ekspor saga Indonesia justru tersungkur.

Secara ilmiah, tanaman ini menyimpan senyawa bioaktif kelas berat flavonoid, saponin, triterpenoid, hingga alkaloid yang dalam literatur fitofarmakologis terbukti memiliki efek antiinflamasi, antidiabetik, antibakteri, analgesik hingga imunomodulator. Soal manfaat, saga kandidat bahan aktif bernilai tinggi untuk suplemen imunitas, skincare antiinflamasi, obat flu, bahkan terapi antidiabetes berbasis herbal.

Masyarakat Indonesia mengenalnya sebagai obat keluarga, daun saga sering digunakan untuk meredakan gangguan pencernaan, demam, batuk, flu, iritasi kulit, hingga pembengkakan sendi. Dalam pemakaian luar, tumbukan daunnya mempercepat pemulihan luka ringan berkat sifat antiseptik dan antiinflamasi. Pemakaian dalam pun membantu pencernaan dan imunitas tubuh.

Artinya saga punya dua wajah, tradisional dan ilmiah dan keduanya sama-sama kuat dan dunia juga menyadarinya. Dalam perdagangan global, saga diekspor sebagai bagian dari kelompok HS 12119099 - kategori eksklusif tanaman dan bagian tanaman untuk industri parfum, farmasi, pestisida alami, hingga kosmetik premium.

Industri yang membeli HS ini biasanya industri multinasional, pabrik ekstrak farmasi, hingga perusahaan R&D kosmetik.

Tapi sayangnya, justru di titik peluang sebesar ini, Indonesia sedang goyah. Nilai ekspor kategori HS 12119099 pada periode September 2024 - September 2025 hanya US$ 11,66 juta, anjlok 47,64% secara tahunan. India masih menjadi pasar terbesar, tetapi pembeliannya menurun tajam.

Amerika Serikat ikut melemah. Yang justru agresif adalah China nilai pembeliannya melonjak ratusan persen, membuatnya pasar paling progresif dalam satu tahun terakhir.

Permintaan dunia tidak turun, tapi persaingan kualitas naik. Saat industri global menuntut kontinuitas pasokan, standardisasi ekstraksi, sertifikasi kesehatan, dan jaminan keamanan residu, sebagian eksportir Indonesia masih bermain di level "daun kering kiloan". Sementara kompetitor baru, termasuk Vietnam, Sri Lanka, dan Thailand masuk dengan format ekstrak standar laboratorium.

Itu sebabnya ekspor merosot bukan karena herbal kita lemah, tapi karena pasar yang naik kelas. Indonesia punya modal terbaik, tradisi penggunaan saga paling panjang, ketersediaan alam, bahkan preferensi masyarakat yang mendukung industrialisasi herbal.

Tetapi modal itu belum berubah menjadi keunggulan dagang. Selama saga diekspor sebagai komoditas mentah, nilainya kecil dan mudah digeser pasar lain.

CNBC Indonesia Research

(emb/wur)


Most Popular