MARKET DATA

Rupiah Terpuruk: Deretan Saham Ini Bisa Gagal Window Dressing

Susi Setiawati,  CNBC Indonesia
26 November 2025 08:20
rupiah dollar
Foto: rupiah dollar

Jakarta, CNBC Indonesia - Perjalanan rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) di sepanjang tahun ini cukup mengkhawatirkan. Hal ini menimbulkan risiko dan potensi kerugian bagi perusahaan-perusahaan yang sangat bergantung pada impor. Kondisi ini tidak hanya mencerminkan tantangan makroekonomi, tetapi juga menuntut manajemen risiko yang lebih cermat dari korporasi yang mempunyai eksposur valas tinggi.

Pergerakan rupiah terhadap dolar AS di sepanjang tahun ini tercatat hingga 4%. Pada perdagangan Selasa (25/11/2025), rupiah masih menguat 0,21% di level Rp16.655/US$1. Sepanjang tahun ini, rupiah sudah melemah 3,51% terhadap dolar AS.

Perusahaan dengan dominasi aktivitas impor, terutama yang mengimpor bahan baku, komponen, atau barang jadi akan menghadapi sejumlah risiko nyata akibat depresiasi rupiah. Karena bahan baku dan komponen impor dinilai dalam dolar AS, pelemahan rupiah membuat biaya impor meningkat dalam rupiah. Hal ini menaikkan biaya produksi secara keseluruhan, yang pada gilirannya dapat menekan margin keuntungan, terutama jika perusahaan belum berhasil meneruskan kenaikan biaya ke konsumen.

Perubahan nilai tukar yang tajam atau tidak stabil dapat memperumit penentuan harga dan kontrak impor. Emiten dengan beban impor besar mungkin harus menyediakan lebih banyak modal kerja dalam bentuk rupiah untuk menutup kewajiban valas, yang dapat membebani kas dan likuiditas perusahaan.

Seperti diungkap oleh pelaku industri, volatilitas nilai tukar turut menciptakan ketidakpastian dalam penetapan harga dan kebutuhan modal kerja.

Selain biaya operasional, perusahaan yang memiliki utang dalam dolar AS juga akan tertekan lebih keras ketika rupiah melemah. Nilai kewajiban utang dalam rupiah menjadi lebih besar, yang bisa meningkatkan beban bunga dan cicilan, terutama jika proporsi utang berdenominasi dolar cukup besar.

Pelemahan rupiah dapat berdampak pada inflasi impor, terutama untuk perusahaan yang mengimpor barang-barang modal, suku cadang, atau mesin. Biaya angkutan dan pengiriman internasional yang berdenominasi dolar juga bisa meningkat, memperparah beban biaya.

Saat nilai tukar bergejolak, perusahaan sulit melakukan perencanaan jangka panjang terkait penetapan harga. Jika perusahaan memilih untuk menjaga margin dan tidak menaikkan harga jual agar tetap kompetitif, mereka menghadapi risiko margin yang menipis. Sebaliknya, menaikkan harga bisa mengurangi daya saing.

CNBC Indonesia Research telah mencatat deretan saham yang akan mengalami lonjakan beban efek pelemahan rupiah yang akan berimbas buruk pada hasil kinerja kuartal IV 2025.

1. KLBF

PT Kalbe Farma (KLBF) merupakan salah satu perusahaan farmasi terbesar di Indonesia dengan portofolio bisnis yang luas, mulai dari obat resep (prescription pharmaceutical), produk kesehatan (consumer health/OTC), nutrisi (nutritional) seperti susu bubuk, nutrisi khusus, snack sehat, hingga distribusi dan logistic. Kalbe juga punya jaringan distribusi sangat kuat untuk menjangkau banyak outlet.

Sayangnya Kalbe Farma tergolong sangat bergantung pada impor bahan baku obat. Sekitar 90-95% bahan baku obat (BBO) yang digunakan oleh Kalbe masih diimpor dari luar negeri, terutama dari negara seperti China, India, Eropa, dan Selandia Baru. Karena tingginya impor tersebut, Kalbe aktif mendorong substitusi impor melalui reformulasi dan produksi lokal bahan baku.

Untuk itu, Kalbe tidak hanya mengandalkan produksi bahan jadi (obat), tetapi juga mengembangkan kapasitas manufaktur API (bahan aktif) melalui kerja sama, misalnya JV dengan Livzon, agar bisa mengurangi ketergantungan impor di jangka panjang.

Di sisi biopharma, Kalbe sudah punya fasilitas lokal misalnya bioreactor, dan mengembangkan produk biologi secara lokal, untuk mengurangi impor bahan baku biologi.

2. KAEF

PT Kimia Farma Tbk (KAEF), perusahaan farmasi milik negara (BUMN) di Indonesia yang bergerak di bidang kimia, farmasi, biologi, kesehatan, dan apotek. Produk KAEF sangat beragam, mulai dari obat generik, produk etikal, obat herbal (fitofarmaka), kosmetik, over‐the-counter (OTC), antiretroviral, narkotika, kontrasepsi, dan bahan baku obat (BBO).

Kimia Farma menyebut bahwa meskipun sudah memproduksi BBO secara lokal, masih ada sebagian besar bahan baku obat, sekitar 95% yang masih diimpor. Hal ini menunjukkan bahwa untuk banyak API dan BBO, Kimia Farma (dan sektor farmasi Indonesia secara umum) masih bergantung pada impor.

KAEF menjalin kerja sama impor dan pengembangan BBO dengan perusahaan farmasi dari China. Salah satu kerja sama adalah dengan Sinopharm (China) untuk pengembangan obat dan BBO. Dengan Sinopharm mereka juga menjajaki "traditional Chinese medicine" (TCM) sebagai bagian dari portofolio BBO.

3. INAF

PT Indofarma Tbk (INAF) merupakan perusahaan farmasi BUMN yang bergerak di produksi obat, alat kesehatan, herbal, serta ekstrak. Selain produksi, Indofarma memiliki anak usaha distribusi yakni PT Indofarma Global Medika (IGM) menangani distribusi obat, alkes, dan perdagangan farmasi.

Salah satu isu utama adalah bahwa hampir 90% bahan baku obat (Active Pharmaceutical Ingredients/API dan penolong) yang digunakan oleh industri farmasi Indonesia masih berasal dari impor. Indofarma sendiri menyatakan bahwa sebagian besar bahan bakunya diimpor.

Impor bahan baku obat juga bersumber kuat dari Cina dan India. Ini mencerminkan struktur industri hulu farmasi di Indonesia yang masih lemah dalam produksi API sendiri.

4. AUTO

PT Astra Otoparts Tbk (AUTO) yang bergerak di dua segmen utama yakni manufacturing (pembuatan komponen) dan trading atau distribusi suku cadang. Di sisi manufaktur, mereka memproduksi komponen untuk roda empat (mobil) seperti engine parts, body & chassis, electronic & electrical, drive & train transmission. Dan roda dua (motor) seperti electrical parts, engine parts, body & chassis.

Sayangnya beberapa komponen atau material AUTO masih bergantung impor seperti beberapa komponen semikonduktor sangat penting untuk bagian elektronik otomotif, yakni gallium dan germanium.

Selain itu, karena AUTO baru mulai produksi komponen EV seperti battery box, hose cooling, inverter, dan sebagainya, ada kemungkinan sebagian komponen terutama material khusus (misalnya insulasi, material baterai) masih diimpor, atau belum sepenuhnya diproduksi lokal.

5. DRMA

PT Dharma Polimetal Tbk (DRMA), emiten di industri komponen otomotif. Segmen komponen meliputi 2-wheel (motor), 4-wheel (mobil), dan segmen lainnya. Untuk segmen 2W (motor): body frame, muffler, rim roda, swing arm, step, dan fastener. Untuk segmen 4W (mobil): komponen structural seperti cross-member, steering hanger, suspension member, hood lock; dan fastener. Sementara komponen kelistrikan melalui anak usaha yakni Dharma Electrindo Manufacturing), DRMA membuat wiring harness (main harness, instrument panel harness, door harness, battery harness), kabel sensor, dan lainnya.

DRMA masih mengimpor bahan baku tertentu, terutama logam seperti baja dan aluminium. Sehingga fluktuasi nilai tukar (rupiah-dolar), impor bahan baku ini menjadi tantangan biaya.

6. IMAS

PT Indomobil Sukses Internasional Tbk (IMAS) merupakan grup otomotif terintegrasi besar di Indonesia. Merek dan distribusi IMAS adalah pemegang lisensi ("license holder") banyak merek otomotif internasional, dan menjadi distributor/reseller kendaraan-kendaraan roda 2 dan roda 4. Perakitan atau manufacturing, melakukan perakitan kendaraan (assembly) melalui anak usaha seperti National Assemblers. IMAS juga memiliki distribusi suku cadang ("spare parts") melalui merek "IndoParts".

Selain itu, IMAS menyediakan pembiayaan kendaraan bermotor (leasing / kredit mobil) sebagai bagian dari portofolio bisnisnya. Selain otomotif, mereka juga punya segmen logistik, energy, penyewaan mobil, dan bisnis pendukung lain.

Perusahaan otomotif seperti IMAS biasanya mengimpor berbagai komponen, terutama saat perakitan lokal belum bisa menutupi semua kebutuhan komponen berteknologi tinggi.

Beberapa komponen atau produk yang diperkirakan atau diketahui masih diimpor oleh IMAS, mulai dari kendaraan CBU (Completely Built-Up), suku cadang & spare parts, komponen EV atau kendaraan istrik, hingga komponen kendaraan premium.

7. SAMF

PT Saraswanti Anugerah Makmur Tbk (SAMF) merupakan produsen pupuk NPK premium. Khususnya, mereka fokus pada pupuk non-subsidi, yang berarti bukan pupuk yang mendapat subsidi pemerintah, melainkan pupuk komersial. Target pasar utama mereka adalah perkebunan kelapa sawit.

Meskipun SAMF adalah perusahaan lokal, mereka mengimpor sejumlah bahan baku pupuk. Sekitar 40% bahan baku pupuk SAMF berasal dari impor. Karena proporsi impor ini, SAMF sangat memperhatikan keamanan pasokan bahan baku sebagai bagian dari strategi bisnis.

8. INKP

PT Indah Kiat Pulp & Paper Tbk (INKP), merupakan produsen terpadu (vertically integrated) dalam industri pulp dan kertas: mulai dari pengolahan kayu menjadi pulp hingga berbagai jenis kertas, hingga tisu.

Meski Indah Kiat sangat besar dan terintegrasi, ada beberapa komponen dalam operasionalnya yang masih mengandalkan impor. Indah Kiat menggunakan dua jenis pulp sebagai bahan dasar kertas seperti LBKP (serat pendek) dan NBKP (serat panjang). NBKP (Nadelholz Bleached Kraft Pulp) disebut di makalah sebagai diimpor dari negara seperti Selandia Baru, Argentina, dan Amerika Serikat. Hal ini berarti untuk jenis pulp tertentu (serat panjang) mereka tergantung pada impor.

9. TKIM

PT Pabrik Kertas Tjiwi Kimia Tbk (TKIM) merupakan bagian dari Asia Pulp & Paper (APP) yakni Grup Sinar Mas. TKIM memiliki bisnis yang cukup beragam, tidak hanya kertas. Sayangnya masih terdapat komponen impor dalam bisnis TKIM, yaitu bahan atau komponen yang diimpor dari luar negeri yang penting bagi operasionalnya.

Dalam laporan keberlanjutan TKIM, disebut bahwa bahan baku terdiri dari pulp dam daur ulang serta sejumlah kecil serat impor yang semakin meningkat. Artinya, meskipun sebagian besar bahan baku pulp bisa dari lokal atau daur ulang, ada porsi dari serat impor (import fiber) yang digunakan. Ini bisa menjadi risiko jika harga dan pasokan impor berubah.

Komponen kimia tertentu juga diimpor tergantung spesifikasi, misalnya pemutih, filler, zat tambahan coating) Dalam laporan kerja praktek pabrik TKIM disebut ada penggunaan Calcium carbonate (CaCO₃) sebagai bahan filler, dan bahan kimia lain seperti AKD (Alkyl Ketene Dimer) untuk sizing kertas, defoamer, antifoam, dyes, OBA (Optical Brightening Agents).

Karena ketergantungan impor pulp dan bahan kimia, TKIM rentan terhadap fluktuasi harga global, misalnya pulp global, kimia industri dan risiko supply chain. Kenaikan harga bahan baku impor, misalnya kraft pulp, bisa meningkatkan COGS dan menekan margin.


Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(saw/saw)


Most Popular