MARKET DATA

Jutaan Ton Sampah Bikin Daerah Pusing! Siapa Penyumbang Terbesar?

Elvan Widyatama,  CNBC Indonesia
19 November 2025 18:10
Menteri Koordinator Bidang Pangan Indonesia, Zulkifli Hasan memberi sambutan acara Waste to Energy Investment Forum 2025 dengan tema “Economic Gains, Environmental Wins” di Gedung Menara Bank Mega, Jakarta, (19/11/2025). (CNBC Indonesia/Tri Susilo)
Foto: Menteri Koordinator Bidang Pangan Indonesia, Zulkifli Hasan memberi sambutan acara Waste to Energy Investment Forum 2025 dengan tema “Economic Gains, Environmental Wins” di Gedung Menara Bank Mega, Jakarta, (19/11/2025). (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pengelolaan sampah masih menjadi isu yang penting. Pemerintah kini mendorong sejumlah alternatif untuk mengelola sampah, termasuk dengan mengubahnya menjadi energi berkelanjutan.

Isu ini dibahas dalam acara Waste to Energy Investment Forum 2025 yang bertemakan "Economic Gains, Environment Wins" yang digelar di Auditorium Bank Mega, Jakarta, Rabu (19/11/2025).

Forum yang mempertemukan pemerintah pusat, daerah, akademisi, dan industri ini menyoroti diperlukannya pengembangan waste to energy (WTE) atau energi terbarukan berbasis sampah namun tetap tujuan utamanya adalah menangani masalah 'darurat sampah'.

Hal ini terjadi seiring dengan beratnya beban pengelolaan sampah di daerah, terutama di wilayah perkotaan yang volume sampahnya terus meningkat setiap tahun.

Meski tantangan tersebut terus menumpuk di lapangan, pemerintah pusat menegaskan bahwa upaya penanganan sampah sebenarnya telah lama menjadi agenda nasional. Namun realisasinya masih jauh dari harapan.

Dalam forum tersebut, Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan mengingatkan bahwa gagasan pengembangan waste to energy bukan hal baru.

Program ini telah dicanangkan sejak sekitar 11 tahun lalu, namun mandek dan tidak berjalan sesuai harapan. Menurutnya, proses perizinan dan alur birokrasi yang rumit, ruwet, dan berputar-putar membuat pembangunan fasilitas WTE tak kunjung terealisasi secara masif.

Mandeknya proyek WTE selama lebih dari satu dekade inilah yang mendorong pemerintah menerbitkan Perpres No. 109 Tahun 2025 tentang Penanganan Sampah Perkotaan Melalui Pengolahan Sampah Menjadi Energi Terbarukan.

Regulasi baru ini bertujuan menyederhanakan proses, mempercepat investasi, dan memberikan kepastian bagi pemerintah daerah dalam memilih teknologi pengolahan sampah yang paling sesuai. Zulhas menegaskan bahwa percepatan mutlak diperlukan karena persoalan sampah telah berkembang menjadi tekanan serius bagi daerah.

Tantangan Besar Pengelolaan Sampah Daerah

Berdasarkan data capaian pengelolaan sampah dari Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) 2024 menggambarkan kondisi yang cukup mengkhawatirkan. Dari total 37,31 juta ton timbulan sampah di 342 kabupaten/kota se Indonesia, hanya sekitar 32,2% atau 12 juta ton sampah yang berhasil dikelola.

Sementara sisanya, 67,8% sampah atau setara dengan 25,29 juta ton per tahun masih tidak terkelola yang sebagian besar hanya berakhir di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) dengan sistem open dumping.

Sedangkan, tingkat pengurangan sampah juga masih sangat rendah, yang mana angkanya baru mencapai 1,33%. Hal ini menunjukkan bahwa pemilahan, daur ulang, dan pengurangan dari sumbernya belum berjalan secara optimal.

Dari data tersebut terlihat jelas bahwa mayoritas sampah di Indonesia masih tidak terkelola. Volume open dumping mencapai 9,7 juta ton per tahunnya atau jauh lebih besar daripada TPA sanitary landfill. Kondisi ini menjelaskan mengapa pemerintah daerah cukup kewalahan dalam menghadapi timbulan sampah yang terus meningkat.

Komposisi Sumber Sampah Berubah

Terjadi perubahan yang cukup signifikan dari komposisi sumber sampah.

Jika pada 2018 sampah rumah tangga masih menjadi penyumbang dominan dengan porsi lebih dari 81%, maka pada 2024 kondisinya berubah drastis. Data SIPSN menunjukkan bahwa proporsi sampah dari rumah tangga turun menjadi hanya 46,8%.

Penurunan tajam ini menandakan bahwa timbulan sampah kini semakin banyak berasal dari aktivitas komersial dan fasilitas publik.

Kontribusi dari pasar naik signifikan hingga mencapai 14,76%, disusul kawasan komersial sebesar 14,04%, perniagaan 13,54%, serta fasilitas publik 3,6%.

Pergeseran ini mengonfirmasi bahwa sumber timbulan sampah tidak lagi terpusat pada rumah tangga, melainkan telah melebar ke berbagai sektor ekonomi seperti pasar tradisional, pusat perniagaan, pusat kuliner, perkantoran, hingga kawasan bisnis dan ruang publik.

Dengan sumber sampah yang semakin beragam, strategi daerah dalam menangani sampah harus berkembang dari sistem konvensional menuju skema pengelolaan yang lebih modern, adaptif, dan responsif terhadap pola aktivitas ekonomi masyarakat yang terus berkembang.

Arah Pengembangan Sampah Daerah ke Waste to Energy

Melihat skala persoalan dan keterbatasan infrastruktur, pemerintah pusat dan daerah mulai memangdang WTE sebagai salah satu solusi jangka panjang yang realistis untuk menangani masalah sampah sekaligus memanfaatkannya menjadi energi. Namun impelmentasinya tidak sesederhana membangun insinerator atau PLTSa.

Ada sejumlah prasyarat teknis dan struktural yang harus dipenuhi daerah sebelum bisa menjalankan proyek WTE secara berkelanjutan.

Direktur Perlindungan dan Pengelolaan Mutu Udara KLHK, Edward Nixon Pakpahan, menekankan bahwa syarat paling mendasar dari proyek WTE adalah kontinuitas pasokan sampah.

"Yang paling penting kontinuitas suplai minimal 1.000 ton per hari. Kalau tidak ada jaminan, proses selanjutnya pasti bermasalah," jelas Edward.

Karena itu, tidak semua daerah bisa membangun PLTSA secara mandiri. Beberapa kota harus digabung dalam satu skema aglomerasi agar volume sampah mencukupi dan biaya operasional bisa ditekan. Situasi ini menuntut kerja sama antardaerah serta skema pendanaan yang jauh lebih integratif dibanding pola yang berjalan selama ini.

Tantangan berikutnya berasal dari karakteristik sampah Indonesia yang sangat dominan organik dan memiliki kadar air tinggi, sehingga tidak efisien jika langsung masuk ke proses termal tanpa pre-treatment. Hal ini disampaikan oleh Wakil Dekan FTMD ITB, Pandji Prawisudha.

"Kalau 50% dari 1.000 ton itu air, berarti yang kita bawa dan proses itu air, bukan bahan bakar," tegas Pandji.

Ia mengingatkan bahwa proyek WTE yang tidak mempertimbangkan variasi komposisi sampah di lapangan berpotensi gagal mencapai target produksi listrik. Banyak proyek di luar negeri, kata Pandji, akhirnya tidak optimal karena asumsinya berbeda dengan kondisi sampah aktual.

Edward kembali menegaskan bahwa orientasi utama WTE bukanlah pada listrik yang dihasilkan, tetapi pada pengurangan timbulan sampah.

"Prioritasnya sampah beres dulu. Energi itu bonus. Jangan sampai PLTSA hanya dikejar profit tapi sampahnya tidak selesai," ujar Edward.

Di Indonesia, pendekatan ini sangat relevan karena beban timbulan sampah jauh lebih besar dibanding kapasitas infrastruktur pengolahan, sementara ruang TPA semakin menipis.

Dengan terbitnya Perpres 109/2025, pemerintah berharap birokrasi yang selama ini memperlambat proses dapat dipangkas, sehingga daerah memiliki jalur lebih cepat untuk mengembangkan WTE sebagai bagian dari solusi pengelolaan sampah jangka panjang.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(evw/evw)
Tags


Related Articles

Most Popular
Recommendation