Surat Utang Jepang Dilego, Yield Tembus Level Tertinggi 17 Tahun
Jakarta, CNBC Indonesia - Imbal hasil obligasi pemerintah Jepang tengah mengalami kenaikan hingga menembus ke level tertingginya dalam lebih dari satu dekade setelah investor kembali melakukan aksi jual besar-besaran pada surat utang Negeri Sakura.
Surat Utang Pemerintah Jepang kembali ditekan oleh aksi jual (sell-off) investor. Yield obligasi tenor 10 tahun kini menembus level tertinggi sejak Juni 2008, atau titik tertingginya dalam 17 tahun terakhir.
Melansir data Refinitiv, imbal hasil obligasi pemerintah Jepang untuk tenor 10 tahun (JP10YT) berada di level 1,751% pada hari ini, Selasa (18/11/2025) pukul 10.00 WIB. Kenaikan yield ini menegaskan bahwa pasar kembali melepas kepemilikan JGB (Japanese Government Bonds) di tengah melemahnya prospek ekonomi Jepang dan meningkatnya kekhawatiran fiskal.
Tidak hanya tenor 10 tahun, obligasi pemerintah Jepang tenor 30 tahun juga kembali mencetak rekor tertingginya. Yield obligasi tenor panjang (JP30YT) kini berada di level 3,318%, menembus dan melampaui rekor tertinggi (all time high) yang sebelumnya tercipta pada 7 Oktober 2025.
Penyebab Investor Lepas Surat Utang Jepang
Yield yang melonjak tajam ini muncul seiring data terbaru yang menunjukkan bahwa ekonomi Jepang mengalami kontraksi pada kuartal III-2025, sekaligus menjadi penurunan pertama dalam enam kuartal. Tekanan ekspor akibat tarif Amerika Serikat (AS), penurunan investasi residensial, serta lemahnya permintaan domestik makin memperburuk sentimen investor terhadap aset utang Jepang.
Di sisi lain, kebijakan Bank of Japan (BoJ) yang mempertahankan suku bunga acuan di 0,5% pada pertemuan pertamanya sejak PM Sanae Takaichi menjabat, belum mampu menahan tekanan di pasar obligasi.
Pasar menilai kebutuhan stimulus yang besar serta rencana belanja pemerintah berpotensi menambah suplai obligasi, sehingga yield terdorong naik.
Ekonomi Jepang Terkontraksi
Aksi jual surat utang pemerintah Jepang meningkat tajam setelah data menunjukkan perekonomian Jepang terkontraksi 1,8% secara tahunan (yoy) dan turun 0,4% secara kuartalan (qoq) pada kuartal III-2025. Sekaligus menjadi kontraksi pertama dalam enam kuartal terakhir.
Meski angka tersebut lebih baik dari proyeksi kontraksi 2,5%, pasar menilai tren ini sebagai sinyal memudarnya momentum pertumbuhan Jepang.
Tekanan terbesar pada perekonomian Jepang datang dari sisi eksternal dan domestik. Dari sektor perdagangan luar negeri, ekspor Jepang anjlok 4,5% secara annualized, mencatat kontraksi selama empat bulan berturut-turut sejak Mei.
Tarif Amerika Serikat (AS) menjadi faktor utama yang menekan pengiriman barang Jepang, membuat aktivitas ekspor melemah sepanjang musim panas.
Meski pada September terjadi sedikit pemulihan setelah Washington menurunkan tarif dari 25% menjadi 15%, rebound tersebut tidak cukup mengimbangi tekanan berbulan-bulan yang telah merusak performa perdagangan eksternal.
Pelemahan ekspor ini memberikan kontribusi signifikan terhadap kontraksi ekonomi dan menjadi salah satu alasan investor mengurangi eksposur pada aset berisiko rendah seperti obligasi pemerintah Jepang.
Dari sisi domestik Jepang, investasi residensial merosot lebih dari 32% (yoy), menjadikannya salah satu penekan terbesar pertumbuhan kuartal III-2025. Secara kuartalan, investasi perumahan turun 9,4% dan mengurangi 0,3 poin persentase terhadap total PDB.
Penurunan tajam ini terjadi setelah diberlakukannya aturan efisiensi energi baru sejak April 2024, yang membuat banyak proyek properti tertunda atau dibatalkan. Lonjakan biaya pembangunan dan ketatnya standar energi membuat developer mengerem aktivitas konstruksi, sehingga sektor perumahan menjadi sumber pelemahan signifikan dalam ekonomi Jepang.
Meskipun konsumsi pemerintah dan rumah tangga masih tumbuh tipis, masing-masing 0,5% dan 0,1% (qoq). Dorongan tersebut tidak cukup untuk menahan dampak pelemahan ekspor dan anjloknya investasi residensial. Kombinasi tekanan eksternal dan domestik ini memperburuk persepsi investor terhadap prospek pertumbuhan Jepang.
Dalam kondisi seperti ini, investor cenderung melepas obligasi tenor panjang yang sensitif terhadap risiko jangka panjang, sehingga mendorong yield JGB terus meroket.
BoJ Tahan Suku Bunga di 0,5% di Tengah Kebutuhan Stimulus Besar
Faktor kedua adalah keputusan Bank of Japan (BoJ) yang mempertahankan suku bunga acuan di 0,5% pada pertemuan perdananya sejak PM Sanae Takaichi menjabat. Dalam kondisi ekonomi yang berada di bawah tekanan, pasar menilai sikap BoJ ini terlalu dovish.
Keputusan mempertahankan suku bunga berarti BoJ tidak memberikan kompensasi imbal hasil lebih tinggi kepada investor untuk menahan obligasi tenor panjang, padahal risiko fiskal meningkat.
Sementara itu, pemerintahan Takaichi tengah menyiapkan stimulus besar lebih dari 10 triliun yen yang mencakup subsidi energi, dukungan bagi UMKM, hingga investasi di sektor strategis seperti AI, semikonduktor, dan industri perkapalan. Pemerintah Jepang bahkan menyatakan siap meningkatkan belanja tanpa ragu untuk menghindari stagnasi ekonomi.
Ekspektasi bertambahnya pasokan obligasi baru membuat investor menuntut premi risiko lebih tinggi. Dengan suku bunga BoJ yang tidak berubah, imbal hasil surat utang pemerintah Jepang dinilai belum mencerminkan risiko tersebut sehingga investor melepas surat utang Jepang dan yield pun melonjak.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(evw/luc)