Shutdown Berakhir, Tapi Dunia Diguncang Ketakutan Baru dari The Fed
Pelaku pasar perlu mencermati sejumlah sentimen yang akan berdampak terhadap rupiah hingga saham pada hari ini. Berakhirnya shutdown bisa menjadi kabar positif tetapi pesimisme pemangkasan suku bunga The Fed bisa menggoyang pasar.
Trump Teken RUU, Krisis Shutdown AS Akhirnya Tamat
Drama panjang penutupan pemerintah Amerika Serikat (AS) akhirnya berakhir. Presiden Donald Trump resmi menandatangani rancangan undang-undang (RUU) pendanaan yang mengakhiri shutdown terlama dalam sejarah Negeri Paman Sam pada Rabu malam waktu setempat.
Krisis ini berlangsung sejak 1 Oktober, membuat sebagian besar layanan publik lumpuh dan ratusan ribu pegawai federal tak menerima gaji. Dalam pidato sebelum penandatanganan, Trump menuding Partai Demokrat telah melakukan "pemerasan politik" selama kebuntuan 43 hari tersebut.
"Hari ini kami kirim pesan tegas: kami tidak akan tunduk pada pemerasan," ujar Trump di Ruang Oval Gedung Putih, disambut tepuk tangan dari anggota parlemen Partai Republik. Ia menambahkan bahwa Partai Republik tidak pernah menginginkan shutdown dan menegaskan agar hal serupa tak terulang lagi.
Sebelumnya, Senat AS telah menyetujui RUU pendanaan pada Senin malam. Undang-undang ini akan menjamin operasional pemerintahan hingga akhir Januari mendatang dan mengembalikan pembayaran gaji bagi seluruh pegawai federal yang terdampak.
Selain itu, paket pendanaan ini juga memastikan keberlanjutan program bantuan pangan Supplemental Nutrition Assistance Program (SNAP) yang menopang kebutuhan 42 juta warga AS. Sebelumnya, pemerintahan Trump sempat berencana memangkas tunjangan tersebut dengan alasan keterbatasan anggaran akibat shutdown.
Dalam kesepakatan itu, Senat juga akan menjadwalkan pemungutan suara terkait rencana pencabutan subsidi asuransi kesehatan Obamacare-program andalan Demokrat yang telah lama menjadi sasaran pembatalan Trump karena dianggap menguntungkan imigran.
Sebelum sampai di meja presiden, RUU ini telah lebih dulu disetujui oleh Dewan Perwakilan AS. Seperti diketahui, sistem legislatif AS menganut dua kamar, yakni DPR dan Senat, yang keduanya harus menyetujui undang-undang sebelum disahkan presiden.
Dengan penandatanganan ini, AS resmi keluar dari krisis politik dan fiskal yang sempat mengguncang perekonomian nasional, sekaligus menutup babak kelam dalam sejarah pemerintahan Trump.
Berakhirnya shutdown pemerintahan Amerika Serikat (AS) membawa angin segar bagi pasar global, termasuk Indonesia. Kembalinya aktivitas fiskal dan rilis data ekonomi di AS akan mengembalikan arah pasar, memengaruhi rupiah, ekspor, dan arus modal asing.
1. Nilai Tukar Rupiah
Selama penutupan pemerintah sejak 1 Oktober 2025, investor global beralih ke aset safe haven seperti dolar AS. Indeks Dolar (DXY) sempat naik 1,98%, membuat rupiah melemah sekitar 0,78%.
Kini, setelah shutdown berakhir, pasar menantikan rilis data ekonomi AS seperti inflasi dan tenaga kerja yang sempat tertunda. Jika data menunjukkan perlambatan, peluang The Fed memangkas suku bunga terbuka lebar skenario yang bisa menekan dolar dan memperkuat rupiah.
2. Dampak pada Perdagangan dan Investasi
AS adalah mitra dagang terbesar kedua Indonesia. Normalisasi ekonomi di sana berpotensi meningkatkan permintaan impor, terutama untuk produk unggulan RI seperti sepatu, alat listrik, karet, minyak sawit, dan panel surya. Hingga September 2025, ekspor Indonesia ke AS mencapai US$23,03 miliar, dan nilainya bisa naik seiring pemulihan konsumsi di AS.
Dari sisi investasi, AS juga termasuk lima besar negara asal PMA ke Indonesia dengan realisasi US$0,8 miliar di kuartal III-2025. Tahun lalu, total investasi AS mencapai US$3,7 miliar. Pulihnya stabilitas fiskal di AS bisa meningkatkan kembali keyakinan investor Amerika untuk menanam modal di sektor manufaktur, energi, dan teknologi di Indonesia.
3. Arus Modal ke Pasar Keuangan Indonesia
Meredanya ketidakpastian fiskal AS memberi kejelasan baru bagi pasar global. Dengan kondisi yang lebih stabil, investor institusional berpotensi mengalihkan dana ke aset berisiko di negara berkembang, termasuk Indonesia. Jika imbal hasil obligasi AS turun dan volatilitas global mereda, pasar saham dan obligasi RI bisa kembali kebanjiran modal asing.
Singkatnya, berakhirnya shutdown AS bukan hanya kabar baik bagi Washington, tapi juga membuka peluang penguatan rupiah, ekspor, dan investasi di tanah air.
China Industrial Production YoY & China Retail Sales YoY
Hari ini, dua data penting akan diisi oleh rilis data borongan dari China, yang pertama adalah Produksi Industri (Industrial Production) untuk Oktober.
Data ini mencerminkan kesehatan sektor manufaktur dan pabrik di China. Pada periode September, data ini tampil sangat kuat di 6,5% YoY, jauh melampaui konsensus 5,0%. Namun, konsensus pasar untuk Oktober memperkirakan adanya moderasi atau perlambatan ke level 5,6% YoY.
Produksi Industri adalah potret sisi supply (penawaran) dari ekonomi China. Data yang kuat di September menunjukkan bahwa stimulus yang digelontorkan Beijing ke sektor manufaktur mulai berjalan. Bagi Indonesia, data ini sangat vital.
Jika Produksi Industri Oktober berhasil mengalahkan ekspektasi (misalnya, tetap di atas 6,0%), ini adalah kabar baik. Ini berarti permintaan dari pabrik-pabrik China terhadap bahan baku mentah akan tetap kencang. Ini adalah katalis positif langsung bagi emiten-emiten komoditas andalan Indonesia di IHSG, seperti batu bara, nikel, dan logam dasar lainnya. Namun, jika data ini meleset dari perkiraan, harga komoditas berisiko terkoreksi.
Data kedua dari China adalah Penjualan Ritel (Retail Sales), yang akan dirilis bersamaan. Ini adalah kebalikan dari Produksi Industri; data ini mengukur sisi demand (permintaan) alias konsumsi domestik masyarakat China.
Sementara produksi industrinya kuat, penjualan ritel September tumbuh sangat loyo di 3,0% YoY, menandai pertumbuhan terlemah sejak November 2024. Ini menunjukkan konsumen China masih menahan belanja dan lebih memilih menabung.
Inilah tantangan ekonomi China saat ini yaitu ketidakseimbangan antara supply yang kuat dan demand yang lemah. Pelaku pasar akan mengamati apakah konsumen China mulai membaik di bulan Oktober.
Pemangkasan Suku Bunga The Fed Menjauh?
Chairman The Federal Reserve (The Fed) Jerome Powell pada rapat bulan lalu mengatakan bahwa pemangkasan suku bunga Desember belum menjadi sesuatu yang pasti.
Pernyataan terbaru dari para koleganya menunjukkan banyak keraguan tentang apakah bank sentral sebaiknya melakukan pelonggaran kebijakan untuk ketiga kalinya secara berturut-turut pada rapat berikutya di 9-10 Desember.
Akibatnya, pasar telah menyesuaikan kembali ekspektasinya. Beberapa hari lalu, para trader masih mematok probabilitas setidaknya 2 banding 1 untuk terjadinya pemangkasan 25 basis poin. Namun kini peluang itu berubah menjadi 50:50, menurut data pasar berjangka yang dihitung oleh CME Group dalam alat FedWatch.
"Perkembangan ini sedikit mengikis keyakinan kami bahwa The Fed akan memangkas suku bunga di [Desember] tanpa memberi kami keyakinan lebih bahwa menunda ke (Januari) adalah pilihan yang lebih baik," kata Krishna Guha, kepala kebijakan global dan strategi bank sentral di Evercore ISI, dalam sebuah catatan, dikutip dari CNBC International.
"Ini membuat kami masih melihat pemangkasan di [Desember] lebih mungkin terjadi, namun hanya 55-60 persen." Imbuhnya,
Probabilitas implisit terjadinya pemangkasan berada di 49,3%. Probalitas ini merujuk pada alat CME yang menggunakan harga kontrak futures fed funds 30 hari untuk menginterpolasi probabilitas perubahan suku bunga. Harga futures menunjuk pada suku bunga 3,775% pada akhir 2025, dibandingkan level saat ini 3,87%.
Sebulan lalu, pasar menempatkan peluang pemangkasan sebesar 95%.
Foto: Fed Watch ToolProyeksi baru fed cut rate dari The Fed Watch Tool |
Minimnya data menjadi salah satu alasan pesimisme. Shutdown membuat rilis data tertunda dan pejabat The Fed khawatir akan menentukan arah kebijakan yang salah.
Keraguan tersebut muncul melalui pernyataan yang sangat blak-blakan dari Presiden Fed Boston, Susan Collins.
Selama ini Collins selalu menggunakan bahasa yang sangat hati-hati dalam menyampaikan pandangannya. Namun pidatonya kali ini menunjukkan dengan jelas kegelisahannya terkait inflasi dan pentingnya Fed mempertahankan kebijakan saat in, setidaknya untuk sementara hingga ada kejelasan ekonomi yang lebih baik.
"Berdasarkan proyeksi dasar saya, kemungkinan besar akan tepat untuk mempertahankan suku bunga pada level saat ini untuk beberapa waktu guna menyeimbangkan risiko inflasi dan ketenagakerjaan dalam kondisi yang sangat tidak pasti ini," kata Collins.
Bagian penting dari argumennya adalah bahwa perekonomian secara umum masih tampak solid meski terjadi perlambatan perekrutan. Menurut Collins, pemangkasan tambahan berisiko mendorong inflasi naik lagi di saat dampak tarif impor masih belum jelas.
"Level suku bunga saat ini, menurut saya, membuat kebijakan berada pada posisi yang baik untuk menghadapi berbagai kemungkinan hasil dan menyeimbangkan risiko di kedua sisi mandat kami," ujarnya, merujuk pada mandat ganda Fed untuk memaksimalkan lapangan kerja dan menjaga stabilitas harga.
Foto: Fed Watch Tool