
Teh Matcha Kehilangan Jiwa: Jadi Korban Tren TikTok & Orang FOMO

Jakarta, CNBC Indonesia- Selama empat abad, Jepang membangun tradisi matcha di atas empat prinsip Zen wa, kei, sei, jaku yang berarti harmoni, hormat, kemurnian, dan ketenangan. Namun seperti dilaporkan The New York Times, hanya butuh beberapa tahun bagi dunia modern untuk menggantikan nilai-nilai itu dengan kebalikannya: ketidakharmonisan, eksploitasi, dan penipuan.
Dari upacara teh di Kyoto, matcha kini berubah menjadi simbol gaya hidup digital diaduk dalam smoothies, dituangkan ke gelas Starbucks, hingga dipromosikan di TikTok dengan tagar "#matchacore".
Fenomena global ini melesat jauh melampaui ekspektasi. The New York Times mencatat, retail sales matcha di Amerika Serikat melonjak 86% dalam tiga tahun terakhir, sementara Jepang kini mengekspor lebih dari setengah produksi matchanya terutama ke AS, Eropa Timur, dan Timur Tengah.
Di sisi lain, CNBC Indonesia menambahkan bahwa nilai ekspor teh hijau Jepang sudah mencapai ¥36,4 miliar (US$247 juta), atau naik empat kali lipat dibanding satu dekade lalu. Sekitar 44% di antaranya adalah matcha, menjadikannya komoditas hijau paling bernilai setelah wasabi dan rumput laut.
![]() Matcha. (Dok. Pixabay) |
Namun, di balik popularitas itu, industri matcha tengah retak dari dalam. Perang terbuka antara produsen tradisional Jepang seperti Marukyu Koyamaen perusahaan keluarga sejak 1704 dengan pedagang global yang menjual produk tiruan di Amazon dan Facebook Marketplace.
Banyak di antaranya memasarkan teh hijau biasa yang digiling kasar sebagai "matcha premium". "Jika pelanggan mengira itu produk kami, itu bencana," kata Motoya Koyama, keturunan pendiri Marukyu. Pemalsuan itu kini meluas ke berbagai label palsu seperti "barista grade" dan "imperial grade", istilah yang bahkan tidak dikenal di Jepang.
Penyimpangan tak hanya terjadi di pasar daring. Di kafe-kafe besar dunia, tradisi chado digantikan kepraktisan instan. The New York Times mencatat banyak barista di New York yang kini menggunakan konsentrat siap pakai dijuluki batcha atau menambahkan rasa "banana bread" demi memenuhi selera konsumen muda.
Para purist Jepang menanggapinya dengan gelisah. "Menggunakan matcha kelas tinggi untuk latte sama seperti membuat sangria dari Burgundy," kata Zach Mangan, pendiri Kettl di Brooklyn.
Matcha, yang seharusnya diaduk lembut dengan chasen (pengocok bambu), kini dikocok di blender berkecepatan tinggi.
Di sisi ekonomi, permintaan global meningkat jauh melampaui kapasitas produksi. Menurut Global Japanese Tea Association, harga daun tencha di lelang Kyoto melonjak 170% menjadi ¥8.235/kg pada musim semi 2025.
CNBC mencatat, angka ini dua kali lipat dari tahun lalu dan memecahkan rekor 2016. Namun Jepang tak mampu mengejar permintaan, karena panen terbaik (first flush) hanya dilakukan sekali setahun dan hasilnya terbatas. Proses rumit dari pembayangan daun hingga penggilingan batu hanya menghasilkan 40 gram per jam. Cuaca ekstrem, dari embun beku hingga gelombang panas, memangkas produksi hingga 30%.
Krisis pasokan ini kini menjadi "normal baru". FAO memperingatkan harga teh global naik 15% di atas rata-rata jangka panjang, sementara Pemerintah Kyoto mengakui target ekspor 15.000 ton per tahun hingga 2030 sulit tercapai.
Produsen besar seperti Ito En telah membentuk divisi khusus matcha dan menaikkan harga produk hingga 100%. Meski demikian, banyak petani enggan menanam tencha karena modalnya besar dan tren matcha dianggap terlalu musiman. Pemerintah Jepang tengah mempertimbangkan subsidi agar petani mau memperluas lahan, sementara sebagian pelaku industri mendorong edukasi agar konsumen tak menuntut semua produk berbasis bubuk premium.
Sementara itu, di Barat, matcha menjadi simbol budaya populer. Starbucks melaporkan lonjakan penjualan 40% pada awal 2025 dan meluncurkan seri matcha protein drinks.
Blank Street Coffee bahkan mengganti namanya menjadi "Blank Street" karena separuh bisnisnya kini berbasis matcha. Fast Company menyebut tren visual hijau terang ini sebagai "full-on matchacore", di mana latte, es krim, dan tiramisu matcha membanjiri kota-kota besar seperti New York, London, hingga Sydney. Di sisi lain, banyak barista mengeluh menderita "matcha lung" istilah bercanda untuk paparan debu bubuk teh hijau di udara yang terlalu sering mereka hirup.
Namun di tengah hiruk-pikuk pasar, sebagian pihak berusaha mengembalikan makna matcha ke akarnya.
Di Brooklyn, Kettl akan membuka Kettl Matcha Sen Mon Ten, toko yang menggabungkan edukasi, ritual, dan perdagangan. Para petani dari Jepang akan datang untuk menjelaskan proses produksi, seolah menghadirkan kembali keheningan Kyoto di tengah kebisingan Manhattan. "Ini produk artisan seperti wine," ujar Mangan.
"Tapi kini kami harus menjelaskan kenapa rasa dan waktu tidak bisa dipercepat." Upaya seperti ini menjadi "counterprogramming" melawan banjir konten TikTok yang menyulap matcha menjadi sekadar tren.
Matcha pernah disajikan dengan ketenangan kini ia dikonsumsi dengan kecepatan. Para guru teh di Jepang mengeluh sulit menggelar upacara chado karena kekurangan bahan berkualitas, sementara di New York dan London, ribuan gelas matcha dijual per jam dengan topping krim dan sirup. "matcha telah menjadi korban dari popularitasnya sendiri."
CNBC Indonesia Research
