
Karena 1 Kalimat Trump, Rp33.000 T Raib dari Wall Street dalam 24 Jam

Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa saham Amerika Serikat (AS) Wall Street ambruk pada akhir pekan ini hingga membuat ribuan triliun menguap dalam 24 jam. Saham jeblok karena cuitan Presiden AS Donald Trump.
Menurut Bespoke Investment Group, sekitar US$2 triliun atau sekitar Rp 33.090 triliun (US$1= Rp 16.545) nilai pasar saham AS lenyap pada perdagangan Jumat (10/10/2025) setelah Trump mengunggah tuitan "panas" dan mengancam China.
Pada pukul 10:57 Jumat pagi waktu AS Timur (ET), Trump menulis di platform Truth Social bahwa China semakin bermusuhan"dengan dunia, terutama terkait penguasaannya atas logam tanah jarang (rare earths). Dia menuduh China "menyandera dunia" karena "monopoli"-nya atas sumber daya penting tersebut.
Bagian yang paling membuat pasar saham bereaksi dalam unggahan Trump sepanjang 500 kata itu adalah kalimat adalah:
"Salah satu kebijakan yang sedang kami hitung saat ini adalah peningkatan besar tarif terhadap produk China yang masuk ke Amerika Serikat." Ujarnya.
Dan hanya itu yang dibutuhkan untuk mengguncang pasar. Satu unggahan tersebut langsung membuat pasar saham AS kalang kabut.
Indeks S&P 500 anjlok 2,71% menjadi 6.552,51. Indeks Nasdaq jatuh 3,56% menjadi penutupan terburuk sejak April, padahal sempat mencetak rekor tertinggi sebelum unggahan Trump.
Indeks Dow Jones Industrial Average jeblok 879 poin (1,9%) terburuk sejak Mei.
![]() saham |
Pada Jumat pagi, indeks S&P 500 padahal hanya berjarak beberapa poin dari rekor tertingginya yang baru. Namun, hanya satu unggahan media sosial dari Presiden Donald Trump langsung menghapus nilai pasar senilai US$2 triliun.
Anjloknya pasar mengingatkan dunia akan peristiwa "kelam" di Liberation Daya pada 3 April 2025 saat Trump mengumumkan kebijakan tarifnya.
Pada 4 April 2025, indeks S&P 500 anjlok 5,97%, Indeks Nasdaq merosot 5,8% dan Dow Jone jebok 5,5%.
Hitungan Reuters menunjukkan indeks S&P pada 4 April mencatat kerugian sebesar US$5 triliun .
Apa yang terjadi akhir pekan ini dan 4 April 2025 menunjukkan betapa besar pengaruh kebijakan perdagangan satu orang yakni presiden terhadap nasib ekonomi global.
Mengapa Saham Turun Begitu Tajam?
Negosiasi perdagangan antara pemerintahan Trump dan China berjalan jauh lebih lambat dibandingkan dengan negara lain. Namun, pelaku pasar menilai hubungan kedua negara tetap menuju perbaikan, terlebih Trump dan Xi Jinping dijadwalkan bertemu dalam KTT APEC akhir bulan ini.
Dalam perkembangan terbaru, Presiden AS Donald Trump mengumumkan kenaikan tarif 100% untuk barang-barang impor dari China yang masuk ke negaranya mulai 1 November 2025. Langkah ini diambil sebagai respons atas China yang memperketat ekspor logam tanah jarang (LTJ).
China memproduksi lebih dari 90% logam tanah jarang dan magnet tanah jarang olahan dunia. Banyak di antaranya merupakan material vital dalam berbagai produk, mulai dari kendaraan listrik hingga mesin pesawat terbang dan radar militer.
Pasar jatuh karena selama ini telah terbiasa dengan tarif sekitar 40% terhadap produk China, dengan asumsi ekonomi AS cukup kuat untuk menahannya. Selain itu, pengecualian tarif untuk produk tertentu seperti iPhone milik Apple cukup luas sehingga meredam dampak ekonomi.
Namun jika Trump benar-benar melaksanakan ancamannya, investor khawatir beban terhadap ekonomi AS akan terlalu besar, karena AS masih bergantung pada komponen impor untuk memproduksi mobil, panel surya, dan lainnya.
Risiko yang lebih besar yakni tindakan balasan dari China, yang bisa memicu perang dagang besar-besaran.
Apa Pemicu Ancaman Trump?
Pada Kamis malam, China memperketat lagi kendalinya atas pasar logam tanah jarang, di mana negara itu menguasai sekitar 70% pasokan global. Beijing menyatakan pihak luar harus memperoleh izin ekspor untuk hampir semua produk yang menggunakan logam tersebut, dan penggunaan untuk keperluan militer akan ditolak. Setiap permohonan akan dievaluasi kasus per kasus.
Logam tanah jarang penting untuk pembuatan semikonduktor, kendaraan listrik, dan bahan rudal canggih. Trump selama ini berupaya memperkuat pasokan domestik dengan mendukung bahkan berinvestasi langsung di perusahaan tambang AS dan Kanada yang menambang logam tersebut.
Kebijakan China ini bisa membuat pembuat chip tertekan. Saham Nvidia turun 5% karena masih menunggu izin untuk menjual chip AI versi terbatas ke China. Saham AMD jatuh hampir 8% padahal sebelumnya memimpin reli pasar.
Saham Apple juga jatuh 3% smeentara Tesla anjlok 5%.
Penurunan tidak hanya terjadi pada perusahaan yang terlibat langsung dalam perdagangan dengan China di mana 424 dari 500 saham di S&P 500 berakhir di zona merah. Investor institusional terpaksa memangkas risiko di seluruh sektor untuk menutup kerugian dan menambah likuiditas.
Saham Bank of America dan Wells Fargo turun lebih dari 2%. Hanya sedikit saham yang bertahan, seperti Walmart dan beberapa saham tembakau/nicotine, karena sifatnya yang defensif.
Apakah Penurunan Ini Akan Berlanjut?
Hari Senin besok (12/10/2025) bisa menjadi hari berat lainnya. Setelah penutupan bursa, Trump kembali menulis bahwa ia akan memberlakukan tarif 100% terhadap China, "di atas tarif apa pun yang sedang mereka bayarkan."
Ia juga menambahkan bahwa AS akan menerapkan kontrol ekspor terhadap semua perangkat lunak kritis, yang bisa sangat merugikan pemimpin pasar AI seperti Nvidia. Tarif baru itu akan berlaku awal bulan depan, bertepatan dengan waktu KTT APEC sehingga pertemuan Trump dan Xi kemungkinan batal.
Namun sebagian investor memilih menunggu, mengingat ancaman tarif di bulan April juga akhirnya dilunakkan melalui negosiasi dan pengecualian, yang justru mendorong reli besar ke rekor baru.
"Kabar baiknya, ini mungkin hanya taktik negosiasi lain dari pemerintahan yang bisa menghasilkan hasil positif jangka panjang. Kejatuhan mendadak seperti ini justru bisa jadi peluang beli," kata Jay Woods, Chief Market Strategist di Freedom Capital Markets, kepada CNBC International.
Penurunan Jumat hanya membawa S&P 500 ke level terendah dalam sebulan. Indeks acuan itu masih naik lebih dari 11% sepanjang tahun, didorong euforia perdagangan saham bertema AI yang tampaknya tak terbendung meski ada ancaman tarif, konflik global, dan penutupan pemerintahan AS.
Namun, ada kekhawatiran efek domino di Wall Street yakni kebangkrutan pemasok suku cadang mobil First Brands mengguncang bank-bank seperti Jefferies Financial Group, yang memiliki eksposur tinggi terhadap kredit swasta. Saham Jefferies turun 4% pada Jumat dan anjlok lagi 6% di perdagangan setelah jam tutup.
CNBC INDONESIA RESEARCH
[email protected]
