
Harga Jeblok ke Titik Nadir, Ramalan Kiamat Batu Bara Malah Terbelah

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga batu bara belum juga bangkit dan sudah terpuruk selama tiga hari beruntun.
Merujuk Refinitiv, harga batu bara pada perdagangan Rabu (8/10/2025) ditutup di posisi U$ 105,75 per ton atau melemah 0,61%.
Pelemahan ini memperpanjang tren negative harga batu bara dengan melemah 2,08% dalam tiga hari beruntun.
Harga batu bara terus melemah karena banyaknya kabar buruk.
Laporan terbaru lembaga riset independen Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) menunjukkan industri batu bara Australia menghadapi masa depan yang semakin suram di tengah merosotnya permintaan global dan pergeseran pola pasokan di pasar utama ekspor batu bara termalnya.
Dalam catatan terbaru IEEFA, permintaan batu bara termal dunia kini menghadapi tekanan besar.
Selama beberapa tahun terakhir, China menjadi pendorong utama permintaan global, disusul pertumbuhan pesat di kawasan Asia Tenggara. Kenaikan tersebut sebelumnya sempat menutupi penurunan konsumsi di pasar yang lebih matang seperti Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan.
Namun, penelitian IEEFA menyoroti adanya perubahan besar dalam bauran energi dan pasokan di negara-negara tersebut yang akan berdampak mendalam bagi eksportir batu bara Australia.
Amandine Denis-Ryan, CEO IEEFA Australia sekaligus penulis utama laporan ini, menjelaskan Transisi energi China mencapai titik balik penting di paruh pertama tahun ini di mana emisi listriknya turun 3%.
"Seiring lonjakan pembangkit tenaga surya yang mampu menutupi kenaikan permintaan listrik. Konsumsi batu bara total pun menurun, sementara penggunaan bahan bakar fosil di sektor lain mulai mencapai titik jenuh." Tutur Ryan dikutip dari website IEEFA.
Dia menambahkan bahwa tren serupa kini terlihat di seluruh kawasan, seiring energi terbarukan dan penyimpanan baterai menjadi jauh lebih kompetitif dibanding pembangkit listrik tenaga batu bara. Investasi di sektor gas dan nuklir juga meningkat, semakin menekan permintaan batu bara.
Meski China masih memiliki proyek besar pembangkit batu bara baru, tingkat utilisasinya justru menurun tajam yakni rata-rata hanya sekitar 50% pada 2024 dan diperkirakan akan turun separuh lagi pada 2050.
Di Asia Tenggara, pipeline proyek PLTU batu bara baru juga menyusut drastis karena banyak negara mulai beralih ke energi terbarukan dan gas. Saat ini, kapasitas energi terbarukan yang sedang dikembangkan mencapai 10 kali lipat dibanding proyek batu bara, sementara kapasitas gas tiga kali lebih besar dari batu bara.
Upaya industri batu bara untuk mempertahankan diri lewat teknologi carbon capture and storage (CCS) dinilai tidak realistis. Biaya yang tinggi dan tantangan teknis membuat CCS sulit diterapkan, bahkan lebih mahal dibanding membangun fasilitas energi terbarukan baru untuk menggantikan PLTU eksisting.
Di sisi lain, China juga meningkatkan fokus pada produksi batu bara domestik serta beralih ke pemasok yang lebih dekat seperti Indonesia dan Rusia.
Pada Juni 2025, kombinasi antara perlambatan permintaan dan lonjakan produksi dalam negeri membuat impor batu bara China anjlok ke level terendah sejak 2023. Asosiasi industri batu bara nasional china memperkirakan impor batu bara akan turun lebih dari 20% tahun ini dan lebih dari sepertiga pada 2030.
"Indonesia, sebagai pemasok utama batu bara termal untuk China dan Asia Tenggara, kini menguasai sebagian besar pertumbuhan impor batu bara di kedua pasar tersebut," kata Denis-Ryan.
Dia menambahkan setelah invasi ke Ukraina, impor batu bara Rusia ke China juga hampir tiga kali lipat.
Harapan bahwa tren ini bisa berbalik lewat pembangunan PLTU baru yang lebih efisien kemungkinan besar tidak akan terwujud. Faktor ekonomi justru mendorong penggunaan batu bara berkualitas lebih rendah seperti pasokan dari Indonesia dan produksi domestik Tiongkok.
"Dominasi batu bara dalam bauran energi Asia tampaknya telah mencapai puncaknya dan berpotensi menurun, sementara persaingan pasokan semakin ketat," ujar Denis-Ryan.
Pada akhirnya, perubahan lanskap energi di Asia mencerminkan masa depan kelam bagi eksportir batu bara termal laut seperti Australia.
India Masih Cinta Batu Bara
Namun, laporan lembaga riset India Ratings & Research mengabarkan hal sebaliknya.
India tampaknya mulai melambat dalam transisi energi bersihnya. Sejumlah negara bagian di negeri itu kini mencabut insentif untuk proyek energi terbarukan dan justru menandatangani kontrak jangka panjang untuk pembelian listrik dari pembangkit batu bara.
Negara bagian Uttar Pradesh dan Assam, dua wilayah berpenduduk padat di India, dilaporkan mengajukan penawaran untuk mengamankan hingga 7 GW kapasitas listrik dari PLTU batu bara yang akan beroperasi dalam beberapa tahun mendatang.
Lembaga pemeringkat India Ratings & Research mencatat, langkah ini menambah daftar kontrak baru lebih dari 17 GW kapasitas PLTU yang telah diteken sejak tahun lalu hingga Juli 2025.
Ini menjadi kontrak batu bara terbesar dalam beberapa tahun terakhir, bahkan sejak pandemi Covid19 yang sempat memperlambat aktivitas industri energi.
Analis energi menilai, lonjakan permintaan listrik India menjadi pendorong utama langkah mundur ini.
Ekonomi yang tumbuh pesat, peningkatan penggunaan pendingin udara, elektrifikasi industri, dan perluasan akses listrik membuat batu bara kembali menjadi tulang punggung pasokan daya nasional.
Keterlambatan pembangunan teknologi bersih seperti penyimpanan energi baterai (BESS) juga menjadi alasan utama pemerintah masih mengandalkan daya baseload dari PLTU batu bara untuk menjaga stabilitas jaringan listrik yang kini semakin dipenuhi energi terbarukan.
Pemerintah India memperkirakan kapasitas PLTU batu bara akan melonjak 46% dalam 10 tahun ke depan, dari 210 GW saat ini menjadi 307 GW pada 2035.
Target jangka menengahnya, India akan menambah 80 GW pembangkit baru sebelum 2032. Di sisi lain India juga berambisi menghasilkan 500 GW listrik dari energi bersih pada 2030 dua kali lipat dari kapasitas saat ini (251,4 GW).
Langkah kontradiktif ini menegaskan bahwa transisi energi India tidak akan berlangsung cepat, terutama karena kebutuhan daya nasional yang masih melonjak tajam.
Pada Agustus lalu, pemerintah negara bagian Madhya Pradesh mengumumkan kontrak senilai US$3,7 miliar untuk dua proyek PLTU batu bara baru.
Torrent Power, salah satu pemain besar di sektor kelistrikan India, akan membangun pembangkit ultra-supercritical dua unit berkapasitas 1,6 GW dengan investasi sekitar US$2,5 miliar.
Proyek ini akan beroperasi dalam 72 bulan dan menjual listrik eksklusif ke MP Power dengan harga tetap 5,829 rupee per kWh (sekitar US$0,066) selama 25 tahun.
Adani Power akan membangun PLTU 800 MW senilai US$1,2 miliar, serta mengembangkan proyek besar lainnya berkapasitas 2,4 GW di Pirpainti, Bihar dengan nilai US$3 miliar. Proyek tiga unit ini ditargetkan beroperasi penuh pada 2030.
Dengan tambahan kontrak dan proyek baru ini, India menegaskan bahwa batu bara belum akan tergantikan dalam waktu dekat, meskipun negara itu juga menjadi salah satu pemain besar dalam energi surya dunia.
Kebutuhan akan daya stabil (baseload power) dan pertumbuhan ekonomi yang cepat membuat transisi energi India berjalan lambat, menempatkan negara ini di jalur ganda - antara komitmen hijau dan realitas kebutuhan listrik nasional.
CNBC INDONESIA RESEARCH
[email protected]
