Newsletter

Badai Data di Depan Mata & Shutdown AS: RI Hadapi Pekan Menegangkan

Elvan Widyatama, CNBC Indonesia
06 October 2025 06:15
cover topik, fokus, as shutdown
Foto: Cover Topik/ Fokus AS Shutdown

Pekan kedua Oktober akan menjadi periode yang padat bagi pelaku pasar, baik di dalam maupun luar negeri. Sejumlah rilis ekonomi dari Bank Indonesia (BI), risalah rapat The Federal Reserve (The Fed), hingga penutupan pemerintahan Amerika Serikat yang masih berlanjut akan menjadi penentu arah pergerakan IHSG hingga rupiah sepanjang pekan ini.

Selain itu, pasar juga akan terus mencermati kondisi penutupan pemerintahan AS yang masih berlangsung dan belum memiliki kejelasan hingga kapan ini akan berakhir.

Berikut ini adalah rangkuman beberapa sentimen dan pengumuman penting yang diperkirakan akan mempengaruhi arah pergerakan pasar keuangan tanah air sepanjang pekan ini.

Cadangan Devisa RI September & Uang Primer (M0)

Bank Indonesia (BI) dijadwalkan merilis data cadangan devisa (cadev) September 2025 pada Selasa (7/10/2025).

Pada rilis periode Agustus 2025, posisi cadangan devisa Indonesia tercatat sebesar US$150,7 miliar, turun dari US$152,0 miliar pada Juli 2025. BI menjelaskan penurunan tersebut disebabkan oleh pembayaran utang luar negeri pemerintah dan kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah di tengah ketidakpastian pasar keuangan global yang masih tinggi.

"Perkembangan tersebut antara lain dipengaruhi oleh pembayaran utang luar negeri pemerintah dan kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah sebagai respons Bank Indonesia dalam menghadapi ketidakpastian pasar keuangan global yang tetap tinggi," tulis BI dalam siaran persnya.

Pelaku pasar juga akan menyoroti apakah cadangan devisa September masih mampu bertahan di atas US$140 miliar, yang bisa menjadi tolok ukur ketahanan eksternal Indonesia. Jika angka tetap tinggi, hal ini akan memperkuat persepsi bahwa BI memiliki ruang intervensi yang cukup luas untuk menjaga stabilitas rupiah.

Sebelumnya, posisi cadangan devisa Agustus disebut setara dengan pembiayaan 6,3 bulan impor atau 6,1 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, jauh di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor. Dengan buffer tersebut, BI menilai posisi cadangan devisa masih memadai untuk mendukung ketahanan eksternal dan menopang stabilitas makroekonomi nasional.

Masih di hari yang sama, BI juga akan mempublikasikan Uang Primer (M0) Adjusted September 2025 yakni indikator penting untuk memantau dinamika likuiditas dalam sistem keuangan. Lonjakan M0 dapat dibaca sebagai sinyal ekspansi moneter yang lebih longgar, positif bagi sektor riil, namun berpotensi menambah tekanan inflasi.

Kepercayaan Konsumen Indonesia September

Di hari Rabu (8/10/2025), BI juga akan merilis data kepercayaan konsumen Indonesia periode September 2025. Sebelumnya, kepercayaan konsumen Indonesia pada Agustus 2025 berada di level 117,2 atau turun 0,9 poin dari Juli 2025 yang masih sebesar 118,1.

Secara teknis, angka ini masih di atas level 100 atau masih berada di zona optimis. Namun, level kepercayaan konsumen pada Agustus 2025 sama dengan posisi September 2022, atau kembali ke level hampir tiga tahun lalu.

Indeks Keyakinan Konsumen merupakan indikator penting yang mencerminkan perasaan konsumen terhadap kondisi ekonomi saat ini sekaligus ekspektasi masa depan. Data ini juga kerap digunakan untuk memprediksi arah perkembangan konsumsi dan tabungan rumah tangga.

Sehingga, melemahnya IKK dapat berdampak langsung terhadap konsumsi domestik, yang selama ini menjadi tulang punggung pertumbuhan ekonomi Indonesia kontribusinya mencapai lebih dari 50% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

Penjualan Ritel Indonesia Agustus

Berlanjut pada rilis data lain pekan ini, pada Kamis (9/10/2025), BI juga akan merilis penjualan ritel atau eceran Indonesia periode Agustus 2025. Sebelumnya, penjualan eceran Indonesia (IPR) tumbuh 4,7% secara tahunan (yoy) pada Juli 2025, meningkat dibandingkan dengan pertumbuhan pada Juni 2025 yang sebesar 1,3% yoy.

Akselerasi ini menandakan adanya perbaikan permintaan domestik, terutama setelah periode tekanan inflasi dan pelemahan rupiah di paruh pertama tahun.

"Peningkatan IPR tersebut terutama didorong oleh kinerja penjualan Kelompok Suku Cadang dan Aksesori, Perlengkapan Rumah Tangga Lainnya, serta Subkelompok Alat Tulis," tulis Bank Indonesia dalam rilis resminya, Kamis (11/9/2025).

Secara bulanan (mtm), penjualan eceran pada Juli terkontraksi 4,1%, seiring berakhirnya periode libur sekolah dan cuti bersama Hari Besar Keagamaan Nasional (HBKN). Namun, BI memperkirakan aktivitas konsumsi akan kembali meningkat menjelang akhir kuartal III, terutama karena tren normalisasi mobilitas dan ekspektasi masyarakat terhadap stabilitas harga yang relatif terjaga.

Sebagai tambahan, Indonesia Sharia Economic Festival (ISEF) 2025 akan berlangsung pada 8-12 Oktober di Jakarta. Forum tahunan ini menjadi barometer perkembangan ekonomi syariah dan inklusi keuangan di Tanah Air.

Shutdown Pemerintah AS Masih Berlanjut

Pemerintah AS masih mengalami penutupan pemerintahan atau government shutdown yang telah terjadi sejak Rabu (1/10/2025) atau sudah lebih dari lima hari. Hal ini terjadi setelah Kongres gagal mencapai kesepakatan pendanaan untuk tahun fiskal 2026.

Kebuntuan antara Presiden AS Donald Trump dari Partai Republik dan kubu Demokrat di Senat membuat rancangan anggaran sementara tidak dapat disahkan tepat waktu.

Shutdown kali ini menjadi yang keempat sepanjang dua periode pemerintahan Trump, dan yang pertama sejak 2019 yang menjadi salah satu shutdown terpanjang dalam sejarah AS kala itu selama 35 hari. Saat ini, seluruh instansi federal non-esensial harus menghentikan operasi, sementara sekitar 750.000 pegawai negeri sipil terpaksa dirumahkan tanpa bayaran setiap harinya.

Shutdown ini berimbas pada "data blackout" ekonomi karena sebagian besar lembaga pemerintah, termasuk Departemen Tenaga Kerja (Labor Department), yang menunda publikasi laporan penting seperti Nonfarm Payrolls (NFP), inflasi PCE, hingga penjualan ritel. Akibatnya, Federal Reserve (The Fed) memiliki lebih sedikit data resmi untuk dijadikan pertimbangan dalam menentukan arah kebijakan suku bunga pada FOMC Oktober mendatang.

Situasi penutupan pemerintahan AS kali ini lebih kompleks karena terjadi di tengah perlambatan ekonomi global, inflasi yang belum stabil, dan proses transisi kebijakan moneter AS. Investor masih menilai shutdown bersifat sementara, namun perpanjangan hingga lebih dari dua pekan bisa mengganggu konsumsi dalam negeri AS.

"Shutdown memang bukan faktor pasar utama, tetapi bisa menambah risiko jangka pendek di saat The Fed, Kongres, dan investor sama-sama menimbang arah kebijakan yang rentan terhadap data ekonomi yang tertunda," tulis analis Wells Fargo Investment Institute, Jennifer Timmerman, dalam catatan risetnya.

The Fed, Risalah FOMC & Parade Pidato Pejabat

Pada Kamis (9/10/2025) dini hari waktu Indonesia, risalah rapat Federal Open Market Committee (FOMC) akan dirilis. Pasar menantikan sinyal kapan The Fed mulai memangkas suku bunga setelah penundaan data tenaga kerja akibat shutdown.

Sejumlah pejabat Fed seperti Kashkari, Bowman, Barr, hingga Chair Jerome Powell juga akan berbicara pekan depan. Nada hawkish sekecil apa pun bisa mengembalikan kekuatan dolar dan menekan rupiah, sementara sinyal dovish berpotensi memperpanjang reli pasar saham Indonesia.

Pada hari yang sama, Chairman The Fed Jerome Powell juga akan berbicara di dalam Community Bank Conference, Washington, D.C. (melalui video yang telah direkam sebelumnya).

AS Jobless Claims & Sentimen Konsumen

Sementara itu, data klaim pengangguran awal atau Initial Jobless Claims AS juga akan dirilis pada Kamis (9/10/2025).

Klaim Pengangguran awal AS diperkirakan naik ke 235 ribu, sedangkan Michigan Consumer Sentiment (10/10/2025) diproyeksikan stabil di 55 poin. Dengan absennya laporan NFP, dua data ini menjadi petunjuk utama arah ekonomi AS.

Jika pasar tenaga kerja menunjukkan pelemahan, ekspektasi pemangkasan bunga akan menguat mendorong arus modal masuk ke negara berkembang, termasuk Indonesia.
Pidato ini diharapkan mengisyaratkan sinyal suku bunga ke depan.

Arah Baru dari Jerman dan OPEC

Dari Eropa, produksi industri Jerman (8/10) dan neraca dagang (9/10) menjadi sorotan. Pelemahan berkelanjutan akan memperkuat kekhawatiran perlambatan global. Di sisi lain, pidato Presiden ECB Christine Lagarde juga dinanti sebagai sinyal kebijakan moneter kawasan.

Untuk pasar energi, data stok minyak mentah AS (9/10) serta laporan bulanan OPEC (13/10) akan menentukan arah harga minyak global. Jika pasokan mengetat dan produksi OPEC tetap rendah, harga minyak bisa kembali naik positif bagi ekspor RI namun sensitif bagi inflasi.

IHSG yang menembus 8.100 dan rupiah yang memimpin penguatan Asia memang mencerminkan optimisme pasar. Namun volatilitas global dan rilis domestik beruntun bisa menjadi "tes stres" berikutnya.

(evw/evw)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular