Rupiah Nyaris Tembus Rp16.800, Gubernur BI Kerahkan Jurus Ini

Elvan Widyatama, CNBC Indonesia
26 September 2025 09:31
Gubernur BI, Perry Warjiyo. (dok ISEI)
Foto: Gubernur BI, Perry Warjiyo. (dok ISEI)

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) kembali menegaskan komitmennya untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah yang dalam beberapa waktu terakhir tengah mengalami tekanan terhadap dolar Amerika Serikat (AS).

Melansir data Refinitiv, pada hari ini, Jumat (26/9/2025) per pukul 09.15 WIB rupiah berada di posisi Rp16.780/US$ atau melemah 0,27%. Level ini semakin dekat dengan angka psikologis Rp16.800/US$.

Pada awal pekan, rupiah sempat berada di level Rp16.574//US$ sebelum akhirnya terus mengalami pelemahan. Jika di total hingga saat ini rupiah telah kehilangan Rp206 perak terhadap dolar AS.

Gubernur BI Perry Warjiyo menekankan bahwa bank sentral telah dan akan terus menggunakan seluruh instrumen kebijakan yang dimiliki secara nyata untuk meredam gejolak di pasar.

"Bank Indonesia menggunakan seluruh instrumen yang ada secara bold, baik di pasar domestik melalui instrumen spot, DNDF, dan pembelian SBN di pasar sekunder, maupun di pasar luar negeri di Asia, Eropa, dan Amerika secara terus menerus, melalui intervensi NDF," ujar Perry dalam keterangan resmi, Jumat (26/9/2025).

Perry menambahkan, BI yakin langkah-langkah intervensi yang ditempuh akan mampu menjaga stabilitas rupiah sesuai dengan nilai fundamentalnya.

"Bank Indonesia yakin bahwa seluruh upaya yang dilakukan dapat menstabilkan nilai tukar rupiah, sesuai nilai fundamentalnya," katanya.

Selain itu, Perry juga mengajak seluruh pelaku pasar keuangan untuk bersama-sama mendukung terciptanya iklim perdagangan yang sehat dan kondusif.

"Bank Indonesia juga mengajak seluruh pelaku pasar untuk turut bersama-sama menjaga iklim pasar keuangan yang kondusif, sehingga stabilitas nilai tukar Rupiah dapat tercapai dengan baik," tuturnya.

Ekonom Mega Capital Sekuritas, Lionel Priyadi, mencatat bahwa BI sejauh ini sudah mengeluarkan sebagian besar cadangan devisanya untuk menopang rupiah.

"Sejauh ini BI sudah menggunakan 7 miliar dolar dari posisi cadangan devisa tertingginya untuk mempertahankan rupiah di 16.100-16.500. BI masih punya ruang sekitar 8 miliar dolar untuk intervensi yang kemungkinan sudah terpakai sebagian di bulan ini," ujarnya.

Pergerakan Rupiah Dalam Sebulan

Nilai tukar rupiah terus menghadapi tekanan bertubi-tubi sepanjang sebulan terakhir. Kombinasi faktor domestik dan global membuat mata uang Garuda sulit bangkit, meski sempat mendapat momentum penguatan sesaat.

Rupiah masih stabil di level Rp16.190/US$ pada 13 Agustus. Namun, tren pelemahan mulai terlihat setelah Bank Indonesia (BI) memangkas suku bunga acuan sebesar 25 basis poin pada 20 Agustus.

Pemangkasan tersebut memang ditujukan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, tetapi justru menambah tekanan terhadap rupiah di tengah sentimen global yang kurang kondusif.

Guncangan lebih besar terjadi pada akhir Agustus, ketika gelombang unjuk rasa menentang tunjangan DPR pecah di berbagai daerah. Aksi yang berlangsung sejak 25 Agustus memanas menjadi kerusuhan massal pada 29-30 Agustus, bahkan berujung pada penjarahan.

Ketidakpastian politik ini memberi tekanan hebat pada rupiah, yang pada 29 Agustus rupiah tercatat anjlok 0,90% dalam sehari.

Kondisi semakin sulit setelah Presiden melakukan reshuffle kabinet pada 8 September 2025.

Perubahan besar terjadi dengan digantinya Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Pergantian tersebut menimbulkan pertanyaan bagi investor mengenai arah kebijakan fiskal, sehingga kembali memperberat tekanan terhadap rupiah.

Bank Indonesia kembali menurunkan suku bunga pada 17 September, namun kebijakan itu bukannya memberi angin segar, melainkan menambah tekanan. Investor asing memandang langkah BI berisiko melemahkan daya tarik imbal hasil aset rupiah di tengah ketidakpastian global.

Keesokan harinya, The Federal Reserve juga memangkas suku bunga pada 18 September. Namun alih-alih membantu, keputusan itu gagal memberikan dorongan positif bagi rupiah. Dolar AS tetap perkasa karena pasar melihat ruang pemangkasan suku bunga The Fed selanjutnya tidak akan terlalu agresif.

Sentimen negatif kian bertambah setelah Ketua The Fed Jerome Powell menyampaikan pidato di Rhode Island pada Selasa (23/9/2025).

Ia menegaskan bahwa meskipun suku bunga dipangkas, potensi langkah lebih agresif akan dibatasi oleh risiko inflasi yang masih membayangi. Pernyataan ini langsung membuat dolar menguat, sementara rupiah semakin tertekan hingga menyentuh titik lemahnya dalam periode sebulan terakhir.

Alasan Pelemahan Rupiah

Menurut Ekonom UOB Kayhian, Surya Wijaksana, pelemahan rupiah tidak lepas dari derasnya arus keluar modal asing atau capital outflow serta kondisi pasar keuangan domestik yang kurang kondusif.

"Kalau kita lihat, capital outflow terus terjadi. CDS naik dari 70 ke 81. Memang DXY masih di kisaran 97-98, tetapi faktor internal cukup besar. Saat ini porsi bond holding lebih banyak di bank domestik. Iklim investasi tampaknya juga belum kondusif karena banyak perubahan kebijakan, ditambah spread suku bunga dengan AS yang makin kecil. Mungkin juga ada outflow dari investor lokal," jelas Surya.

Senada dengan Surya, Rully Wisnubroto, Ekonom Senior Mirae Asset Sekuritas Indonesia, menilai tekanan juga muncul dari faktor kebijakan fiskal.

"Saat ini memang sentimen dipengaruhi oleh kekhawatiran akan kebijakan fiskal yang ditempuh Menkeu baru yang terlalu agresif dan kurang memperhatikan kehati-hatian, terlihat dari CDS 5Y Indonesia yang terus naik," katanya.

Sebagai catatan, CDS merupakan instrumen derivatif yang mencerminkan biaya perlindungan terhadap risiko gagal bayar utang suatu negara atau korporasi.

Semakin tinggi level CDS, maka semakin mahal biaya asuransi risiko tersebut yang berarti investor melihat risiko Indonesia meningkat. Naiknya CDS membuat investor asing cenderung mengurangi eksposur di pasar domestik sehingga dapat memberi tekanan terhadap rupiah.

Dari sisi teknikal, Researcher Mega Capital Sekuritas, Revo Gilang melihat bahwa pelemahan rupiah bisa berlanjut dalam jangka pendek.

"Dengan stochastic indicator yang mengarah ke atas, ada potensi pelemahan ke area Rp16.782 hingga Rp16.824/US$ dalam jangka pendek, bertepatan dengan imbalance dan dekat dengan area classic resistance level Rp16.884/US$," tulis Revo Gilang dalam MCS Research, Kamis (25/9/2025).

Lebih lanjut, Revo menambahkan bahwa apabila rupiah terus melanjutkan depresiasi, target pelemahan berikutnya berada di kisaran Rp17.149 hingga Rp17.214/US$ berdasarkan clustering fibonacci external retracement dengan pendekatan weekly time frame. Namun, proyeksi ini disebut valid selama rupiah tidak mampu menembus level support Rp16.370/US$.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(evw/evw)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation