Newsletter

Fed Ingatkan Harga Saham Sudah Terlalu "Panas", Rupiah Buat Cemas

Emanuella Bungasmara Ega Tirta, CNBC Indonesia
24 September 2025 06:14
Menteri Keuangan (Menkeu), Purbaya Yudhi Sadewa dan Ketua Badan Anggaran DPR RI Said Abdullah dalam Rapat Paripurna DPR  RI, ke-5 Masa Persidangan 1 Tahun Sidang 2025-2026 di Gedung DPR/MPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (23/9/2025).
Foto: Menteri Keuangan (Menkeu), Purbaya Yudhi Sadewa dan Ketua Badan Anggaran DPR RI Said Abdullah dalam Rapat Paripurna DPR RI, ke-5 Masa Persidangan 1 Tahun Sidang 2025-2026 di Gedung DPR/MPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (23/9/2025). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Pasar keuangan domestik kemarin dipenuhi agenda yang menegaskan arah kebijakan fiskal dan kerja sama perdagangan Indonesia ke depan.

Sementara dari global, pasar masih mencerna sinyal moneter dari The Federal Reserve serta rilis data aktivitas bisnis Amerika Serikat yang mulai kehilangan momentum.

Pengesahan Undang-undang APBN Tahun Anggaran 2026

Dari Senayan, Rapat Paripurna DPR ke-5 akhirnya mengesahkan Undang-Undang APBN Tahun Anggaran 2026.

Dengan ketukan palu Ketua DPR Puan Maharani, postur fiskal untuk tahun depan resmi ditetapkan: belanja Rp3.842,73 triliun, pendapatan Rp3.153,58 triliun, dengan defisit 2,68% PDB atau Rp689,15 triliun. Keseimbangan primer ditargetkan surplus Rp89,71 triliun. Postur ini lebih ekspansif dari tahun berjalan, menandakan pemerintah tetap mengandalkan APBN sebagai jangkar utama pertumbuhan.

Ketua Badan Anggaran DPR, Said Abdullah, menegaskan APBN 2026 harus berfungsi sebagai "senjata fiskal" menghadapi tantangan global, sekaligus instrumen revitalisasi industri nasional, UMKM, hingga logistik dan pariwisata. Bagi pelaku pasar, keputusan ini memberi sinyal jelas bahwa pemerintah tidak akan menahan diri di tengah ketidakpastian eksternal, melainkan memilih memperkuat daya dorong fiskal.

Materi Postur RAPBN TA 2026. (Tangkapan Layar Youtube/TVR Parlemen)

Foto: Materi Postur RAPBN TA 2026. (Tangkapan Layar Youtube/TVR Parlemen)
Materi Postur RAPBN TA 2026. (Tangkapan Layar Youtube/TVR Parlemen)

Kesepakatan IEU- CEPA

Katalis domestik lain datang dari Bali. Setelah hampir satu dekade negosiasi, Indonesia dan Uni Eropa akhirnya menandatangani penyelesaian substansial perundingan Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA).

Penandatanganan dilakukan langsung oleh Menko Perekonomian Airlangga Hartarto dan Komisioner Perdagangan dan Keamanan Ekonomi Komisi Eropa, Maroš Šefčovič. Perjanjian ini dipandang sebagai "game changer" karena membuka pasar Eropa lebih luas bagi produk padat karya RI seperti tekstil, alas kaki, dan furnitur, sekaligus memfasilitasi masuknya produk otomotif dan pangan dari Eropa ke Indonesia.

Targetnya, IEU-CEPA bisa berlaku efektif pada 1 Januari 2027, memberi horizon yang lebih panjang bagi investor untuk menghitung potensi arus perdagangan baru. Industri domestik yang selama ini bergantung pasar tradisional kini melihat peluang diversifikasi yang nyata.

Uang Beredar (M2) Agustus 2025

Dari sisi moneter, Bank Indonesia merilis data uang beredar (M2) Agustus yang tumbuh 7,6% yoy, naik dari 6,6% pada Juli. Posisi M2 kini mencapai Rp9.657,1 triliun, dengan M1 tumbuh 10,5% yoy dan uang kuasi 5,6% yoy.

Kenaikan ini banyak ditopang lonjakan aktiva luar negeri bersih hingga 10,7% yoy, sementara penyaluran kredit masih tumbuh 6,6% yoy. Lonjakan likuiditas menunjukkan transmisi pelonggaran moneter BI sepanjang 2025 mulai nyata, meski dampaknya ke konsumsi dan investasi belum sepenuhnya dirasakan. Bagi pasar, data ini menegaskan ruang stabilisasi rupiah tetap ada, dengan catatan BI konsisten menjaga keseimbangan antara menjaga nilai tukar dan mendukung pertumbuhan.

Powell Ingatkan Harga Saham

Ketua Federal Reserve AS Jerome Powell mengatakan bahwa bank sentral berada dalam "situasi yang menantang" dengan risiko inflasi yang bisa lebih cepat dari perkiraan, di saat yang sama pertumbuhan lapangan kerja yang lemah menimbulkan kekhawatiran tentang kesehatan pasar tenaga kerja.

Powell mengatakan tersebut di acara  the Greater Providence Chamber of Commerce 2025 Economic Outlook Luncheon, Selasa waktu AS.

Dalam pernyataan yang disiapkan untuk Kamar Dagang Greater Providence di Rhode Island, Powell tidak banyak memberi indikasi kapan The Fed mungkin akan kembali memangkas suku bunga, dengan menekankan bahwa ada risiko baik jika pemangkasan dilakukan terlalu cepat-yang bisa memicu lonjakan inflasi baru-maupun jika dilakukan terlalu lambat-yang bisa menyebabkan tingkat pengangguran naik tanpa perlu.

Powell juga mencatat bahwa harga aset, kategori yang biasanya mencakup saham dan instrumen berisiko lainnya, berada pada level yang tinggi.

Dalam pidatonya di Providence, Rhode Island, Powell ditanya sejauh mana ia dan para koleganya memberi perhatian pada harga pasar dan apakah mereka memiliki toleransi lebih besar terhadap valuasi yang tinggi.

"Kami memang melihat kondisi keuangan secara keseluruhan, dan kami bertanya pada diri sendiri apakah kebijakan kami memengaruhi kondisi keuangan dengan cara yang sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.Tetapi benar, dengan banyak ukuran, misalnya harga ekuitas, saat ini memang cukup tinggi."" kata Powell dikutip dari Reuters.

Menjelang pertemuan kebijakan pekan lalu, saham dan aset lainnya sempat reli kuat seiring keyakinan yang meningkat bahwa Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) akan menurunkan suku bunga acuan pinjaman overnight. Saham terus menguat dan mencetak rekor baru pada berbagai indeks utama setelah keputusan pada Rabu untuk memangkas suku bunga sebesar seperempat poin persentase.

"Pasar mendengarkan kami, mengikuti, dan membuat perkiraan tentang ke mana arah suku bunga. Lalu mereka menetapkan harga berdasarkan perkiraan itu," kata Powell saat membahas suku bunga hipotek.

Meskipun Powell menyoroti tingginya valuasi ekuitas, ia menegaskan bahwa saat ini bukanlah masa dengan risiko stabilitas keuangan yang meningkat.

Rilis PMI Amerika Serikat

PMI Komposit flash turun ke 53,6, terendah tiga bulan, dengan manufaktur melemah ke 52,0 dari 53,0, dan jasa melandai ke 53,9 dari 54,5.

Menunjukkan lemahnya permintaan domestik, kenaikan tarif impor yang menekan biaya, serta kenaikan persediaan barang jadi terbesar sepanjang sejarah survei akibat penjualan yang lebih lambat dari perkiraan. Meski demikian, optimisme bisnis tidak hilang sepenuhnya karena ekspektasi bahwa penurunan suku bunga bisa mengimbangi tekanan tarif dan ketidakpastian kebijakan.

(emb/emb)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular