Puluhan Juta Pekerja RI Gak Dibayar, Jumlahya Melonjak Sejak Pandemi

Emanuella Bungasmara Ega Tirta, CNBC Indonesia
12 September 2025 17:20
Pekerja menggiling kedelai pada salah satu pabrik tahu di Jakarta, Senin (27/11/2023). Pabrik tahu milik Haji Imroni tetap melakukan produksi seperti biasa meski harga kacang kedelai di pasaran telah menembus Rp 17.300/Kg dari yang sebelumnya Rp 13.000/Kg. (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)
Foto: Pekerja menggiling kedelai pada salah satu pabrik tahu di Jakarta, Senin (27/11/2023). Pabrik tahu milik Haji Imroni tetap melakukan produksi seperti biasa meski harga kacang kedelai di pasaran telah menembus Rp 17.300/Kg dari yang sebelumnya Rp 13.000/Kg. (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)

Jakarta, CNBC Indonesia- Fenomena pekerja mandiri di Indonesia terus menanjak sejak Pandemi Covid-19.

Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan jumlah penduduk berumur 15 tahun ke atas yang berstatus berusaha sendiri melonjak dari 25,5 juta orang pada 2019 menjadi puncaknya 32,2 juta orang pada Agustus 2023. Namun, memasuki Januari 2025, angkanya justru terkoreksi menjadi 29,9 juta orang.

Sebaliknya, tren pekerja keluarga tak dibayar terus merangkak naik. Dari hanya 14,5 juta orang pada 2019 atau sebelum pandemi Covid-19, jumlahnya kini menembus 20,1 juta orang pada Februari 2025. Artinya, ada lonjakan jumlah pekerja yang bekerja di keluarga tidak dibayar melonjak sejak pandemi.

Artinya, semakin banyak rumah tangga yang bertumpu pada kerja tanpa imbalan formal, menandakan kerentanan ekonomi yang masih tinggi.

Jika dilihat lebih dekat, angka-angka ini menggambarkan realitas ekonomi keluarga Indonesia. Ketika lapangan kerja formal sulit diakses, pilihan berusaha sendiri atau mengandalkan anggota keluarga bekerja tanpa upah menjadi solusi pragmatis. Namun, pola ini justru membuat jaring pengaman ekonomi rumah tangga rapuh.

Lebih jauh, persoalan pendapatan masih menjadi sorotan utama. Badan Pusat Statistik (BPS) Februari 2025 mencatat, rata-rata pekerja berusaha sendiri hanya membawa pulang Rp 1,8 juta-2,2 juta per bulan.

Kelompok usia produktif (25-54 tahun) memang meraih pendapatan tertinggi, sekitar Rp 2,19 juta, tapi tetap jauh dari standar kebutuhan hidup layak di perkotaan.

Kondisi ini memperlihatkan paradoks bahwa jumlah pekerja mandiri dan pekerja keluarga tak dibayar terus meningkat, tetapi daya beli mereka justru terbatas. Sektor ini memang menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar, namun belum mampu mengangkat kesejahteraan secara signifikan.

Pemerintah sudah menyalurkan berbagai program dukungan, mulai dari Kredit Usaha Rakyat (KUR) hingga pelatihan kewirausahaan.

Namun dampaknya masih parsial. Tanpa dorongan lebih agresif dalam hal akses modal, teknologi, dan pasar, pekerja mandiri hanya akan bertahan hidup tanpa bisa berkembang.

Pada akhirnya, keberlanjutan ekonomi rakyat kecil sangat ditentukan oleh sejauh mana strategi industrialisasi dan UMKM bisa berjalan berdampingan. Jika tidak, angka pekerja mandiri yang besar hanya akan mencerminkan kerapuhan, bukan kekuatan ekonomi nasional.

CNBC Indonesia Research

(emb/emb)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation