
Gen Z Mulai Menyalakan Revolusi Dunia, Nepal Jadi Korban Pertama

Jakarta, CNBC Indonesia- Gelombang protes besar mengguncang Nepal. Protes ini "dibakar" oleh generasi Z atau kerap dikenal dengan Gen Z.
Aksi yang dikenal sebagai "Gen Z Protests" ini bermula dari kebijakan pemerintah yang melarang akses ke puluhan platform media sosial. Kebijakan tersebut dianggap mengancam ruang hidup digital generasi muda sekaligus memutus sumber ekonomi kreator konten.
Namun, kemarahan anak muda Nepal cepat melebar menjadi tuntutan antikorupsi dan penolakan nepotisme, setelah muncul tren di media sosial yang menyorot gaya hidup mewah anak pejabat atau yang disebut "nepo kids" atau "nepo babies".
Dari jalanan Kathmandu, protes ini menelan korban jiwa, memaksa pejabat tinggi mundur, hingga mendorong pemerintah mencabut pembatasan internet. Dilansir dari The Guardian, generasi muda Nepal menyebut aksi ini sebagai "revolusi mereka sendiri", tanda bahwa giliran mereka kini tiba untuk bicara lantang.
Dalam lima tahun terakhir, deretan demonstrasi besar di berbagai belahan dunia memperlihatkan wajah serupa, Gen Z berada di garis depan.
Di Iran, protes atas kematian Mahsa Amini pada 2022 dengan cepat berubah menjadi gelombang menuntut kebebasan perempuan, dengan mahasiswa dan perempuan muda sebagai motor utama.
Di Amerika Serikat, Black Lives Matter (2020) mendapat tenaga tambahan dari remaja dan mahasiswa Gen Z, yang memanfaatkan TikTok dan Twitter untuk mengorganisir massa.
Sementara itu, di Hong Kong, gerakan menolak RUU ekstradisi pada 2019-2020 juga bertumpu pada energi pelajar dan mahasiswa muda. Aksi serupa terlihat dalam gerakan iklim global Fridays for Future, di mana Greta Thunberg dan jutaan anak muda mendorong politisi dunia bertindak lebih tegas melawan krisis iklim.
Berbeda konteks, namun polanya sama, generasi muda mampu mengubah isu yang tampak kecil menjadi gelombang besar dengan kecepatan luar biasa.
Teknologi digital menjadi bahan bakar utama. Aplikasi pesan instan, video pendek, hingga hashtag global menjadikan koordinasi jauh lebih cepat daripada era protes sebelumnya. Kasus Nepal bahkan memperlihatkan bahwa upaya pemerintah mematikan media sosial justru memperkuat solidaritas anak muda.
Di sisi lain, akar kemarahan Gen Z sering kali berpangkal pada masalah struktural pengangguran tinggi, korupsi, hingga ketidakadilan sosial. Mereka menilai generasi lama gagal memperbaiki keadaan, bahkan kerap terjebak dalam lingkaran nepotisme dan politik dinasti.
Karena itulah, tuntutan yang muncul biasanya lebih radikal, perubahan rezim, kebijakan inklusif, atau revolusi sosial. Seperti yang ditulis Financial Times, di Nepal, kemarahan anak muda bukan hanya pada satu kebijakan, tetapi pada sistem yang mereka anggap telah merampas masa depan mereka.
![]() Asap mengepul dari kompleks Parlemen menyusul kebakaran yang terjadi selama protes terhadap tewasnya 19 orang pada hari Senin setelah protes antikorupsi yang dipicu oleh larangan media sosial, yang kemudian dicabut, selama jam malam di Kathmandu, Nepal, 9 September 2025. (REUTERS/Adnan Abidi) |
Tidak kalah penting, Gen Z mahir memainkan dua arena sekaligus dunia maya dan jalanan.
Di Hong Kong, mereka mempraktikkan "be water", bergerak cair untuk menghindari represi polisi. Di Iran, mereka mengandalkan VPN dan media sosial diaspora untuk menjaga narasi tetap hidup meski internet diblokir.
Di Amerika, Gen Z memadukan aksi jalanan dengan kampanye daring yang menekan korporasi dan politisi. Strategi ganda inilah yang membuat gerakan mereka sulit dipadamkan.
Bagi pemerintah di berbagai negara, gelombang protes yang dipelopori Gen Z menjadi peringatan keras. Kebijakan digital yang gegabah dapat memantik api besar, sementara ketidakadilan ekonomi dan politik hanya mempercepat mobilisasi.
CNBC Indonesia Research
(emb)