Kembali Perkasa, Rupiah Langsung Pimpin Asia Tendang Dolar

Elvan Widyatama, CNBC Indonesia
10 September 2025 09:51
Ilustrasi Mata Uang Asing (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)
Foto: Ilustrasi Mata Uang Asing (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Mata uang Asia pada perdagangan hari ini, Rabu (10/9/2025) terpantau cukup beragam terhadap dolar Amerika Serikat (AS).

Melansir dari Refinitiv, pada pukul 09.20 WIB, mata uang garuda menjadi yang terkuat di kawasan Asia terhadap dolar AS, sebaliknya peso Filipina terpantau menjadi mata uang dengan depresiasi terbesar.

Rupiah mengalami penguatan sebesar 0,21% di posisi Rp16.435/US$ hingga menjadikan kenaikan terbesar dibandingkan mata uang Asia lainnya. Penguatan rupiah diikuti oleh won Korea yang terapresiasi 0,10% di level KRW 1387,66/US$, serta diurutan ketiga ditempati oleh rupee India dengan penguatan 0,06% di posisi 88,167/US$.

Namun demikian, banyak mata uang Asia lainnya yang justru mengalami pelemahan.

Peso Filipina tercatat melemah 0,25% di level PHP 57,132/US$ sekaligus menjadi mata uang dengan pelemahan terbesar di Asia, disusul oleh mata uang tetangga yakni ringgit Malaysia yang tengah tertekan 0,21% di posisi MYR 4,211/US$.

Baht Thailand dan yuan China terpantau turut tertekan terhadap dolar AS, dengan pelemahan masing-masing sebesar 0,13% dan 0,07%.

Adapun penyebab melemah beberapa mata uang Asia, dipengaruhi oleh indeks dolar AS yang kembali menguat setelah dua hari beruntun tertekan. Pada perdagangan kemarin, Selasa  (10/9/2025) DXY ditutup menguat 0,34% di level 97,78.

Penguatan greenback terjadi setelah investor melakukan konsolidasi posisi menjelang rilis data inflasi penting yakni indeks harga produsen (Producer Price Index/PPI) pada hari ini, Rabu (10/9/2025) dan indeks harga konsumen (CPI) pada Kamis (11/9/2025).

Kedua data ini dinilai krusial untuk melihat sejauh mana dampak kebijakan tarif terhadap harga di ekonomi terbesar dunia tersebut.

Dolar AS sempat mengalami tekanan setelah rilis revisi data tenaga kerja pemerintah yang menunjukkan jumlah pekerjaan periode April 2024-Maret 2025 lebih rendah hampir satu juta dari estimasi awal.

Hal ini menandakan kondisi pasar tenaga kerja AS tidak sekuat perkiraan sebelumnya. Namun, koreksi tersebut cepat mereda karena fokus pasar kembali tertuju pada data inflasi yang akan menjadi penentu arah kebijakan moneter The Fed.

CNBC INDONESIA RESEARCH 

[email protected]

(evw/evw)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation