Harga Sulfur Dunia Melonjak 80%, Smelter Indonesia Jadi Korban

Emanuella Bungasmara Ega Tirta, CNBC Indonesia
08 September 2025 13:40
Sulfur. (Dok. Freepik)
Foto: Sulfur. (Dok. Freepik)

Jakarta, CNBC Indonesia- Harga sulfur dunia kembali jadi sorotan. Melansir dari Trading Economics, per 5 September 2025, komoditas ini diperdagangkan di level CNY 2.664,33/ton atau sekitar Rp 43,6 juta/ton. Harganya naik 4,17% dalam sebulan, 67% sepanjang tahun ini dan melesat hampir 82% dibanding tahun lalu.

Kenaikan ini bukan sekadar angka di layar perdagangan, melainkan pukulan serius bagi industri smelter nikel Indonesia yang sangat bergantung pada sulfur sebagai bahan baku utama.

Industri pengolahan nikel berbasis high-pressure acid leaching (HPAL) di Indonesia tengah menghadapi tekanan biaya yang tak kecil. Teknik HPAL memungkinkan ekstraksi nikel dari bijih kadar rendah menggunakan asam, namun kuncinya adalah ketersediaan sulfur.

Pergerakan Harga SulfurFoto: Trading Economics
Pergerakan Harga Sulfur

Lonjakan harga sulfur yang lebih dari tiga kali lipat sepanjang setahun terakhir telah menggerus margin keuntungan pabrik yang sebelumnya dikenal sebagai salah satu produsen berbiaya terendah di dunia.

Dampak langsung terasa pada biaya produksi mixed-hydroxide precipitate (MHP), produk antara nikel yang banyak diburu produsen baterai mobil listrik. Untuk menghasilkan 1 ton MHP, dibutuhkan sekitar 12 ton sulfur.

Dengan harga sulfur yang melambung, pabrik HPAL kini harus merogoh lebih dari US$2.500 tambahan per ton MHP dibandingkan tahun lalu. Alhasil, rata-rata ongkos produksi MHP melonjak ke kisaran US$11.000 per ton, mempersempit ruang keuntungan.

Smelter nikel HPAL PT Trimegah Bangun Persada Tbk (NCKL) atau Harita Nickel di Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara. (Dok. PT Trimegah Bangun Persada Tbk (NCKL) atau Harita Nickel)Foto: Smelter nikel HPAL PT Trimegah Bangun Persada Tbk (NCKL) atau Harita Nickel di Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara. (Dok. PT Trimegah Bangun Persada Tbk (NCKL) atau Harita Nickel)
Smelter nikel HPAL PT Trimegah Bangun Persada Tbk (NCKL) atau Harita Nickel di Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara. (Dok. PT Trimegah Bangun Persada Tbk (NCKL) atau Harita Nickel)

 

Ironisnya, lonjakan biaya ini hadir di tengah situasi harga nikel global yang justru merosot. Pasar nikel dunia sedang kelebihan pasokan setelah ledakan produksi di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir.

Harga nikel di London bahkan sempat jatuh ke level terendah sejak 2020. Kombinasi antara harga jual yang melemah dan biaya input yang melonjak menjadi tantangan ganda bagi smelter nasional.

Melansir dari Fortune, sejumlah pemain besar di industri ini, seperti PT Trimegah Bangun Persada (Harita Nickel) dan mitranya dari China Lygend Resources & Technology Co., sudah mulai merasakan tekanan.

Di sisi lain, proyek baru dari Nickel Industries Ltd. dan PT Harum Energy di Weda Bay masih terus berjalan, menandakan ekspansi tetap berlangsung meski margin semakin tipis.

Indonesia sendiri kini menjadi salah satu importir sulfur terbesar di dunia. Bahan kimia ini, yang sebelumnya lebih banyak digunakan untuk pupuk, kini sebagian besar disedot oleh industri HPAL. Pasokan global banyak datang dari Timur Tengah dan Kanada, di mana raksasa energi seperti Saudi Aramco memulihkan sulfur dari pengolahan minyak dan gas.

Meski demikian, analis menilai Indonesia masih kompetitif. Angela Durrant dari CRU Group menekankan bahwa aset HPAL Indonesia tetap berada di kuartil pertama biaya global. Artinya, meskipun tekanan biaya meningkat, pabrik-pabrik ini tetap relatif efisien dibandingkan pesaing.

Produksi MHP bahkan diproyeksi melonjak menjadi 619.000 ton pada 2026, naik lebih dari sepertiga dari level 2025.

Dengan kata lain, lonjakan harga sulfur memang menggerus margin, namun belum cukup untuk menghentikan ekspansi. Sampai kapan smelter di Indonesia bisa bertahan dalam badai biaya ini, terlebih jika harga nikel global belum juga bangkit?

CNBC Indonesia Research

(emb/emb)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation