
Mari Tepuk Tangan! 3 Faktor Ini Buat Rupiah Perkasa di Tengah Demo

Jakarta, CNBC Indonesia - Mata uang rupiah menguat terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan hari ini, Senin (1/9/2025).
Dilansir dari Refinitiv, nilai tukar rupiah ditutup menguat sebesar 0,45% di posisi Rp16.410/US$, hal ini melanjutkan penguatan yang telah terjadi sejak pembukaan perdagangan dimana rupiah dibuka di Rp16.450/US$ atau mengalami apresiasi sebesar 0,21%.
Rupiah perkasa meskipun Indonesia masih diwarnai dengan aksi demo di sejumlah wilayah Indonesia.
Penguatan rupiah hari ini dapat dikatakan sebagai pembalikan, setelah pada perdagangan terakhir pekan lalu, Jumat (29/8/2025), rupiah mengalami tekanan akibat dari kondisi dalam negeri yang tidak kondusif karena adanya aksi demonstrasi besar-besaran yang berlangsung dari hari Senin (25/8/2025) hingga berlanjut sampai Akhir pekan lalu.
Rupiah mengalami koreksi tajam hingga ditutup melemah 0,89% level Rp16.485/US$, hal ini sekaligus menandai pelemahan harian rupiah terdalam dalam kurun waktu empat bulan terakhir.
Namun, rupiah menguat hari ini tentu saja dipengaruhi oleh faktor baik itu dari intervensi Bank Indonesia (BI) dalam menjaga stabilitas rupiah hingga faktor eksternal dari melemahanya indeks dolar AS (DXY).
1. Intervensi Bank Indonesia
Salah satu faktor kunci penguatan rupiah hari ini adalah langkah intervensi Bank Indonesia (BI) di pasar keuangan.
BI menegaskan akan terus berada di pasar untuk menjaga stabilitas nilai tukar dan kecukupan likuiditas rupiah. Pernyataan ini ditegaskan setelah aksi demonstrasi yang mewarnai sejumlah wilayah di Tanah Air sejak minggu lalu.
Kepala Departemen Pengelolaan Moneter dan Aset Sekuritas BI Erwin Gunawan Hutapea mengungkapkan BI berada di pasar untuk memastikan rupiah bergerak sesuai nilai fundamentalnya dengan mekanisme pasar yang berjalan dengan baik.
"Bank Indonesia terus memperkuat langkah-langkah stabilisasi, termasuk intervensi NDF di pasar off-shore dan intervensi di pasar domestik melalui transaksi spot, DNDF, dan SBN di pasar sekunder," ujar Erwin kepada CNBC Indonesia, Senin (1/9/2025).
Tak hanya itu, Erwin mengungkapkan BI juga menjaga kecukupan likuiditas dengan membuka akses likuiditas kepada perbankan melalui transaksi repo, transaksi FX swap dan pembelian SBN di pasar sekunder, serta lending/financing facility.
2. Pelemahan Dolar AS
Selain invervensi BI terhadap stabilitas rupiah, faktor eksternal juga turut memberi dorongan bagi penguatan rupiah.
Melansir dari Refinitiv, indeks dolar AS (DXY) pada Senin (1/9/2025) pukul 15.10 WIB terpantau melemah 0,12% ke level 97,65. Pelemahan ini memperpanjang tren negatif dolar yang telah berlangsung selama dua hari beruntun sejak Kamis (28/8/2025).
Sentimen utama pelemahan dolar berasal dari sikap wait and see investor terhadap serangkaian data ketenagakerjaan Amerika Serikat yang akan dirilis pekan ini. Puncaknya adalah laporan non-farm payrolls Agustus yang akan diumumkan Jumat mendatang, yang dinilai krusial dalam menentukan besaran pemangkasan suku bunga Federal Reserve (The Fed) pada FOMC 16-17 September.
"Pasar akan sangat memperhatikan rilis data tersebut untuk menilai kondisi pasar tenaga kerja. Jika data menunjukkan pelemahan, maka ekspektasi pemangkasan suku bunga akan meningkat, dan ini akan memberi petunjuk apakah pemangkasan hanya 25 basis poin atau bahkan bisa lebih besar 50 basis poin," ujar Carol Kong, currency strategist di Commonwealth Bank of Australia, dikutip dari Reuters.
Menurut CME FedWatch Tool, pasar saat ini memperkirakan peluang sebesar 87,6% bahwa The Fed akan memangkas suku bunga 25 basis poin bulan ini. Perkiraan ini semakin dipengaruhi oleh data tenaga kerja yang akan dirilis sepanjang pekan.
![]() Target Rated Probabilities for 17 Sep 2025 Fed Meeting |
Selain ekspektasi suku bunga, dolar juga tertekan oleh kekhawatiran terkait independensi The Fed setelah Presiden AS Donald Trump berupaya memecat Gubernur Lisa Cook. Sidang atas upaya tersebut masih berlangsung tanpa putusan akhir. Ketidakpastian juga muncul dari kebijakan tarif, setelah pengadilan banding menyatakan sebagian besar tarif era Trump ilegal. Meski begitu, pemerintahan Trump tetap mencari cara untuk mempertahankan kebijakan tersebut.
3. Surplus Neraca Perdagangan Turut Menjadi Penopang Rupiah
Selain intervensi Bank Indonesia dan pelemahan dolar AS, faktor fundamental juga memberi dorongan positif bagi rupiah hari ini.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekspor Indonesia pada Juli 2025 mencapai US$24,75 miliar atau naik 9,86% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Sementara itu, impor tercatat US$20,57 miliar, turun 5,96% secara tahunan. Dengan demikian, neraca perdagangan Juli membukukan surplus US$4,18 miliar.
Secara kumulatif, neraca perdagangan Indonesia sepanjang Januari-Juli 2025 mencatat surplus besar US$23,65 miliar. Surplus ini ditopang oleh sektor nonmigas yang menghasilkan US$34,06 miliar, meski sektor migas masih defisit US$10,41 miliar.
Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS, Pudji Ismartini, menuturkan bahwa Amerika Serikat, India, dan Filipina menjadi penyumbang surplus terbesar. Surplus perdagangan dengan AS mencapai US$10,49 miliar, disusul India US$8,09 miliar dan Filipina US$5,11 miliar.
"Kinerja ekspor nonmigas menjadi pendorong utama, sehingga neraca perdagangan tetap mampu mencatatkan surplus yang solid," ujar Pudji dalam konferensi pers, Senin (1/9/2025).
Kinerja ekspor yang masih tangguh, terutama ke AS, memberi sinyal positif bagi pasar. Meski Negeri Paman Sam memberlakukan tarif impor 19% sejak Agustus 2025, pemerintah optimistis ekspor Indonesia tetap akan tumbuh.
Dengan surplus neraca perdagangan yang konsisten, pasar menilai ketahanan eksternal Indonesia tetap kuat. Kondisi ini menambah keyakinan investor bahwa rupiah masih memiliki fundamental yang sehat, meskipun dihadapkan pada volatilitas global maupun ketidakpastian politik dalam negeri.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(evw/evw)